Sejumlah Usulan LBH Jakarta dalam Penanganan Covid-19
Berita

Sejumlah Usulan LBH Jakarta dalam Penanganan Covid-19

Karena kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 menimbulkan dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Pemerintah terus berupaya menangani penyebaran pandemi Covid-19 dengan menerbitkan sejumlah kebijakan. Salah satunya terbitnya PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Penerapan PP PSBB ini pertama kali diberlakukan di DKI Jakarta dan diikuti provinsi dan kabupatan/kota lain di Indonesia.     

 

Pengacara publik LBH Jakarta Rasyid Ridha mengatakan terlepas atau efektif atau tidaknya PP PSBB ini sebagai bagian pelaksanaan UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Akan tetapi, kebijakan penanganan Covid-19 ini menimbulkan persoalan hukum. Sebab, PP PSBB ini berbeda dengan mandat UU No.6 Tahun 2018 yang mengatur kebijakan kekarantinaan ada 4 jenis yaitu karantina rumah, rumah sakit (RS), wilayah, dan PSBB.

 

“Peraturan pelaksana yang diterbitkan pemerintah seharusnya mencakup keempat jenis karantina itu, bukan hanya PSBB,” ujar Rasyid Ridha dalam diskusi secara daring di Jakarta, Selasa (28/4/2020). (Baca Juga: Begini Mekanisme Pengajuan dan Penetapan PSBB Suatu Wilayah)

 

Menurutnya, pemerintah hanya memilih PSBB karena tidak ingin menanggung pemenuhan hak kebutuhan pokok warga negara dan hewan ternak sebagaimana yang diwajibkan UU No.6 Tahun 2018 kepada pemerintah. Sebab, kewajiban pemenuhan hak tersebut ada dalam skema tindakan karantina wilayah, rumah, ataupun RS. Akibatnya, masyarakat terdampak Covid-19 pendapatannya berkurang atau tidak memiliki penghasilan sama sekali, sehingga sulit memenuhi kebutuhan hidup setiap hari.

 

Misalnya, kalangan pedagang dan pengemudi transportasi daring (online) yang mengadu ke LBH Jakarta menyebut usahanya sepi, sehingga terjerat pinjaman daring. Begitu pula kalangan buruh yang mengalami pemotongan upah, dirumahkan dan tidak mendapat upah, dan pemutusan hubungan kerja (PHK).

 

Rasyid menghitung sampai 20 April 2020 ada 82 pengaduan yang diterima LBH Jakarta. Dari 82 pengaduan itu paling banyak terkait masalah pinjaman daring (27 kasus) dan ketenagakerjaan/perburuhan (13 kasus). Menurut Rasyid, kasus yang terjadi di lapangan bisa jadi lebih banyak daripada pengaduan yang masuk ke LBH Jakarta.

 

Melansir data Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Provinsi DKI Jakarta, korban PHK karena terdampak Covid-19 jumlahnya mencapai 30 ribu kasus. Bagi LBH Jakarta, kebijakan PSBB yang tidak diiringi pemenuhan hak dasar warga negara secara konsekuen akan merugikan warga dan negara itu sendiri.

 

“Pemerintah pusat dan daerah perlu mengambil kebijakan yang lebih sistemik dan konsekuen dalam menangani pandemi Covid-19 sekaligus melaksanakan kewajiban untuk memenuhi hak asasi warga negara,” pintanya.  

 

Rasyid menyebut LBH Jakarta sedikitnya mengusulkan 12 poin kepada pemerintah. Pertama, pemerintah pusat segera mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang aturan pelaksana kebijakan karantina rumah, RS, dan wilayah untuk memaksimalkan pencegahan penyebaran Covid-19.

 

Kedua, pemerintah pusat dan daerah harus mempercepat kebijakan sinkronisasi data penduduk, kemudian memenuhi hak dasar warga negara secara penuh demi mempertahankan daya tahan ekonomi dan kehidupan warga. Langkah yang dapat dilakukan seperti menerapkan kebijakan Universal Basic Income (UBI), khususnya bagi kelompok rentan. Ketiga, melakukan inventarisasi daftar pemenuhan hak-hak dasar warga yang wajib dipenuhi oleh pemerintah, dan tidak hanya terbatas pada bantuan sosial berupa sembako.

 

Keempat, batalkan proyek-proyek yang tidak produktif seperti pemindahan ibukota negara, impor senjata, program kartu prakerja, dan lainnya. Lebih baik anggarannya dialihkan untuk menangani pandemi Covid-19 dan pemenuhan hak-hak dasar warga. Kelima, menyiapkan skema ketersediaan dan ketahanan pangan baik di tingkat hulu ranah produksi dan tingkat hilir dengan menjamin stabilitas harga kebutuhan pangan agar warga dapat mempertahankan hidupnya secara layak.

 

Keenam, maksimalkan penerapan PSBB dengan strategi preventif (pencegahan) dan menghentikan langkah represif sehubungan persoalan wabah pandemi virus Covid-19 di Indonesia. Ketujuh, menambah RS rujukan dan RS darurat khusus penanganan Covid-19 untuk menjaga stabilitas healthcare system di Indonesia maupun Jabodetabek.

 

Delapan, DPR perlu terlibat dalam upaya penanganan pandemi Covid-19 dengan melaksanakan fungsi pengawasan dan menghentikan pembahasan RUU kontroversial seperti KUHP, RUU Cipta Kerja, dan Ibu Kota Negara. Sembilan, memperbaharui informasi terkait evaluasi kebijakan secara berkala dan terbuka kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban publik dan transparansi tata kelola penanganan pandemi virus Covid-19. (Baca Juga: Perusahaan Masih ‘Bandel’ Saat PSBB, Begini Sanksinya!)

 

Sepuluh, pemerintah harus terbuka terhadap kritik dan saran dari masyarakat sipil, akademisi, peneliti, agar dapat merekonstruksi kebijakan penanganan pandemi Covid-19 secara tepat dan akurat. Sebelas, pemerintah pusat dan daerah perlu membentuk satuan tim khusus mengantisipasi timbulnya dampak turunan Covid-19. Duabelas, membuka ruang partisipasi aktif masyarakat dari berbagai elemen dalam penanganan Covid 19 melalui pendidikan dan penyuluhan atau kegiatan lainnya untuk mendukung kelancaran pelaksanaan upaya penanggulangan wabah.

 

Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan dari puluhan pengaduan yang diterima LBH Jakarta itu menunjukan kebijakan yang diterbitkan pemerintah dalam menangani Covid-19 menimbulkan dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat. Kebijakan yang diterbitkan itu tidak tegas melindungi hak buruh. Misalnya, Menteri Ketenagakerjaan hanya menerbitkan Surat Edaran No.M/3/HK.04/III/2020 tentang Pedoman Perlindungan Buruh dan Keberlangsungan Usaha Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19.  

 

Seperti diketahui, Surat Edaran tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan pelaksanaannya diserahkan pada masing-masing perusahaan. “Ini artinya tidak ada perlindungan negara terhadap buruh. Akibatnya banyak terjadi PHK dan hak-hak normatif buruh tidak dipenuhi,” tegasnya.

 

Arif juga mengkritik pendekatan represif dalam pelaksanaan PSBB. Merujuk UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, pendekatan yang dilakukan seharusnya pencegahan dan partisipasi warga. Dalam ranah bantuan hukum, LBH Jakarta mengalami kesulitan ketika mendampingi kliennya di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Misalnya, dalam hal menghadirkan saksi dan ahli, pandemi Covid-19 kerap dijadikan alasan aparat sehingga pemenuhan hak-hak tersangka dan terdakwa seperti mandat KUHAP sulit dilakukan. “Jangan sampai karena alasan Covid-19 hak-hak tersangka tidak dipenuhi seperti hak atas kesehatan, peradilan jujur dan adil,” katanya.

Tags:

Berita Terkait