Sejumlah Usulan Korps Adhiyaksa terhadap Revisi UU Kejaksaan
Berita

Sejumlah Usulan Korps Adhiyaksa terhadap Revisi UU Kejaksaan

Sejumlah usulan yang disampaikan Wakil Jaksa Agung menjadi bahan untuk melakukan harmonisasi atas RUU Kejaksaan sebelum dibahas lebih lanjut.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: SGP/Hol
Gedung DPR. Foto: SGP/Hol

Badan Legislasi DPR terus menyerap masukan dari sejumlah pemangku kepentingan dalam merevisi UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan sebagai pihak pengguna atau pelaksana UU turut memberi masukan atau usulan yang disampaikan kepada Baleg. Setidaknya terdapat empat usulan penting yang menjadi kebutuhan untuk memperkuat kewenangan dan kelembagaan Kejaksaan.   

Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi mengatakan kewenangan jaksa di bidang penuntutan semestinya diperluas sepanjang guna kepentingan penegakan hukum. Dalam penegakan hukum pidana, penuntutan menjadi poros, sentral dan bagian terpenting dalam sistem peradilan pidana. Selain itu, penguatan kedudukan dan kelembagaan Kejaksaan menjadi kebutuhan hukum yang mesti disegerakan.

“Untuk itu, kedudukan lembaga penuntutan harus mempunyai landasan konstitusional yang kuat. Konstitusi semestinya menjamin kekuasaan negara di bidang penuntutan dilaksanakan secara merdeka dan bebas dari pengaruh pihak manapun,” ujar Setia Untung Arimuladi dalam rapat dengar pendapat umum dengan Baleg di komplek Gedung Parlemen, Selasa (2/9/2020). (Baca Juga: DPR Usulkan Delapan Materi Penyempurnaan UU Kejaksaan)

Dalam mendukung revisi terhadap UU 16/2004, Kejaksaan menyampaikan sejumlah usulan dengan harapan dapat diakomodir dalam revisi UU Kejaksaan. Pertama, penyesuaian standar perlindungan terhadap jaksa dan keluarganya. Perlindungan ini disesuaikan dengan perlindungan profesi jaksa yang diatur dalam United Nationals Guideline on the Role of Prosecutore dan International Association of Prosecutore(IAP). Apalagi Indonesia telah bergabung dengan IAP sejak 2006 silam.

Kedua, pengaturan penyelenggaraan kesehatan yustisial Kejaksaan dalam mendukung tugas dan fungsinya. Ketiga, penguatan kewenangan jaksa selaku eksekutor. Misalnya, dalam hal pengelolaan aset yang bersifat end to end, jaksa memiliki otoritas terhadap aset yang disita sejak tahap penyelidikan, hingga eksekusi. “Posisi jaksa perlu diperkuat selaku satu-satunya eksekutor dalam pelaksanaan putusan pidana.”

Keempat, pengaturan kewenangan penyadapan dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusui, serta pencarian buron dan aset perlu diperjelas. Dia menerangkan kewenangan penyadapan oleh Kejaksaan telah diatur secara implisit dalam peraturan perundang-undangan. Seperti Pasal 31 ayat (3) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE); Pasal 18 ayat (3) UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari KKN; Pasal 26 UU No.17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat itu membandingkan kewenangan penyadapan yang dimiliki Kejaksaan Belanda. Menurutnya, Kejaksaan Belanda memiliki organisasi National Office (Landelijk Parket) dan National Office for Serious Fraud, Environment Crime and Asset Confiscation (Functional Parket) yang berwenang menyidik kejahatan serius.

Dia memberi gambaran bahwa praktik penyadapan di negara kincir angin itu ditujukan untuk kepentingan intelijen, keamanan nasional, dan pertahanan negara. Karena itu, revisi UU 16/2004 perlu pengaturan penegasan yang jelas terkait rumusan pasal kewenangan penyadapan oleh jaksa. “Sebagai pengendali/dominis litis perkara hal tersebut bertujuan untuk menguatkan kejaksaan,” katanya.

Selain empat poin itu, Untung mengusulkan perlu pula penegasan kewenangan Jaksa Agung yang memiliki posisi penting dalam sistem peradilan pidana. Selama ini fungsi atau kewenangan utama Jaksa Agung yang melekat sejak lama sebagai penyidik, penuntut umum, dan eksekutor tertinggi yang disebut sebagai prosecutor/parket general.

“Jaksa Agung sebagai advocat general yang memiiliki kewenangan mengajukan pendapat teknis hukum dalam perkara ke Mahkamah Agung dalam permohonan kasasi. Dan Jaksa Agung sebagai solicitor general yang memiliiki kewenangan selaku jaksa pengacara negara tertinggi,” ujarnya.

Anggota Baleg DPR Taufik Basari mengatakan tugas Baleg mengharmonisasi materi muatan RUU Kejaksaan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Tak hanya melihat amar putusan, namun juga melihat pertimbangan hukum putusan MK. Begitu pula dengan rangkaian putusan MK sejenis yang objeknya sama.

Terkait ketertiban umum, kata Taufik, perlu masukan dari berbagai elemen masyarakat soal kewenangan Kejaksaan dalam upaya restorative justice. Upaya penindakan hukum oleh Kejaksaan menjadi jalan terakhir (ultimum remedium). Sementara soal penyadapan, dia mengingatkan salah satu putusan MK mengamanatkan pembuatan UU khusus tentang penyadapan. Sementara Kejaksaan dalam praktik menyadap sebaiknya nanti mengacu pada KUHAP.

“Kita mau mengatur penyadapan, tapi tidak melanggar HAM, maka harus ada aturan yang rigid dan clear tentang bagaimana penyadapan itu dilakukan,” katanya.

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menilai berbagai usulan Kejaksaan ini nantinya dituangkan dalam draf yang sebelumnya didalami oleh Pantia Kerja (Panja). Selanjutnya, materi muatan RUU Kejaksaan menjadi kewenangan komisi pengusul (Komisi III, red) saat membahasnya. “Terkait materi muatan yang disampaikan Wakil Jaksa Agung menjadi bahan untuk melakukan harmonisasi.”

Tags:

Berita Terkait