Sejumlah Usulan Komnas Perempuan dalam RUU PKS
Berita

Sejumlah Usulan Komnas Perempuan dalam RUU PKS

Mulai kekerasan berbasis gender di ruang siber, pidana tambahan, rehabilitasi bagi pelaku, hingga korban kekerasan seksual tak dapat dituntut pidana maupun digugat perdata.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sempat terhenti pada 2020 lalu. Kini, RUU ini kembal masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2021. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengusulkan sejumlah materi muatan agar bisa masuk dalam RUU PKS. Salah satunya, pengaturan penghapusan kekerasan seksual di ruang siber selain kejahatan seksual berbasis gender konvensional yang terus meningkat.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah mengatakan perlunya pengaturan khusus tentang kekerasan seksual berbasis gender di ruang siber yang jumlahnya cukup banyak melalui naskah akademik dan RUU PKS yang disusun Komnas Perempuan. Dia menilai naskah akademik versi Tahun 2017, ternyata belum mengatur tentang kekerasan berbasis gender di ruang siber.

“Komnas Perempuan mendorong pengaturan norma tersebut dalam naskah akademik dan draf RUU PKS sebagai RUU sandingan,” ujar Siti Aminah dalam rapat dengar pendapat umum dengan Baleg DPR, Senin (29/3/2021) kemarin.

Dalam kurun satu tahun terakhir, pengaduan masyarakat terkait kekerasan seksual di ruang siber meningkat. Kekerasan seksual berbasis gender siber merupakan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan menggunakan teknologi informasi ataupun transaksi elektronik. Tak hanya terbatas mendistribusikan atau mentransmisikan, tetapi juga membuat dapat diaksesnya informasi elektronik ataupun dokumen elektronik.

Komnas Perempuan juga mendorong adanya pengaturan tambahan pidana tambahan 1/3 hukuman bila setiap tindak pidana yang disertai dengan kekerasan berbasis gender di ruang siber. “Kami mengusulkan sistem pemidanaan di RUU PKS ini menggunakan double track system, dimana ada pidana tambahan dan ada tindakan yang dilakukan bersamaan,” ujarnya

Dia menilai usulan tersebut telah disesuakan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Buku I yang memuat adanya pidana pokok dan tambahan. Kemudian, adanya tindakan berupa rehabilitasi yang diberikan bagi pelaku pidana yakni dalam bentuk konseling sebagai upaya mengubah perilaku.

Hal penting lain, kata Siti Aminah, perempuan korban kekerasan seksual tak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata sebagaimana termuat dalam Pasal 21 draf RUU PKS yang diusulkannya. Maklum, selama ini perempuan korban kekerasan seksual enggan melaporkan kasus yang dialaminya. Selain sulitnya pembuktian, juga kerap mendapat ancaman lapor balik dengan pidana atau gugatan perdata dari pelaku yang diduga melakukan pidana tersebut.

Menurutnya, RUU PKS harus memuat 6 elemen kunci penghapusan kekerasan seksual yakni pencegahan, 9 bentuk tindak pidana kekerasan seksual, hukum acara, sanksi pidana, hak korban, dan pemantauan. “Enam elemen ini harus keseluruhan. Karena kalau kurang satu saja, penangananya tidak komprehensif,” kata dia.

Baginya, 6 elemen kunci itu belum terinformasikan dengan baik di masyarakat. Akibatnya masing-masing pihak membaca dan memaknai kekerasan seksual kerap berbeda-beda. Melalui penyempurnaan naskah akademik dan draf RUU usulan Komnas Perempuan dan jaringan masyarakat sipil, serta menyandingkan dengan draf RUU PKS 2016, harapannya draf RUU PKS semakina baik.

Tak hanya itu, Komnas Perempuan mengusulkan soal peran serta masyarakat dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan mulai keterlibatan sejak tahap pencegahan, perlindungan, pemulihan, pengawasan.

Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya menilai usulan Komnas Perempuan sangat membantu dalam penyempurnaan draf RUU PKS sekaligus pengayaan materi bagi Baleg DPR. Dia menyadari era digital menjadikan perumusan sebuah RUU harus menyesuaikan dengan kondisi kekinian termasuk bentuk kejahatan yang tercipta seiring perkembangan teknologi informasi.

“Komnas Perempuan memberi hal baru tentang kekerasan seksual dalam konteks kejahatan siber,” ujarnya.

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu menilai temuan Komnas Perempuan terkait kekerasan berbasis gender di ruang siber perlu didukung untuk masuk dalam RUU PKS. Apalagi, di era digital saat ini ada sekitar 197 juta warga Indonesia menggunakan telepon genggam berbasis android dan internet. Masukan Komnas Perempuan menjadi elemen penting sebagai masukan dalam naskah akademik dan draf RUU.”

Anggota Baleg DPR Christina Aryani menambahkan prinsipnya mendukung berbagai usulan Komnas Perempuan. Salah satunya, pengaturan korban kekerasan seksual tak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Faktanya masih terjadi, korban kekerasan seksual tak berani melapor ke kepolisian. “Ini harus ada ketentuan supaya korban tak bisa dilaporkan pidana dan perdata,” ujarnya.

Soal kekerasan berbasis gender siber, Aryani mengakui angkanya memang terus meningkat. Sayangnya masyarakat belum terlampau peduli dengan kekerasan berbasis gender di ruang siber. Menurutnya, pengaturan norma tersebut perlu dituangkan dalam RUU PKS. “Saya setuju dan untuk segera melakukan pembahasan RUU ini,” pungkas politisi Partai Golkar itu.

Seperti diketahui, RUU tentang PKS sempat masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020.  Bahkan sempat pula dibahas di Komisi VIII DPR. Namun saat evaluasi Prolegnas Prioritas tahunan, RUU PKS sempat dikeluarkan bersama sejumlah RUU lainnya. Namun kini, RUU PKS kembali masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021 dengan nomor urut 16 yang menjadi usulan inisiatif DPR.

Tags:

Berita Terkait