Sejumlah Rekomendasi dalam Perumusan Substansi RUU KUHP
Utama

Sejumlah Rekomendasi dalam Perumusan Substansi RUU KUHP

Usulan ini hasil Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP yang diselenggarakan 4 kampus yakni Pusat Studi Kebijakan Kriminal Universitas Padjadjaran, Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) “Pengayoman” Universitas Parahyangan, dan Bidang Studi Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi pembahasan RUU
Ilustrasi pembahasan RUU

Materi muatan RUU KUHP terus mendapat perhatian masyarakat terutama dari kalangan organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Hari ini, sedikitnya 4 kampus menyerahkan hasil Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP yang tertuang dalam bentuk makalah akademis atau prosiding kepada Kementerian Hukum dan HAM (Tim Perumus RUU KUHP). Prosiding ini diharapkan dapat berkontribusi dalam perbaikan dan penyempurnaan RUU KUHP.

Ketua Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi, mengatakan Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP digelar 27-29 Mei 2021 lalu. Salah satu tujuannya untuk memetakan masukan dari kalangan masyarakat sipil terhadap draf RUU KUHP tahun 2019. Salah satu usulan yang disampaikan yakni bagaimana menempatkan RUU KUHP sebagai rekodifikasi hukum pidana.

Fachrizal melanjutkan hal ini berkaitan juga dengan revisi terhadap UU No.12 Tahun 2011 jo UU No.15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Setidaknya, ada 4 hal yang perlu diperhatikan dalam rekodifikasi hukum pidana. Pertama, bagaimana menentukan kriteria untuk merumuskan delik pidana yang ada di luar KUHP. Kedua, mengatur jenis dan ancaman pemidanaan. Ketiga, revisi KUHP dapat dilakukan melalui UU lain. Keempat, kompilasi dan publikasi terhadap UU yang telah diubah.

“Ketika RUU KUHP nanti disahkan, bukan berarti ke depan tidak bisa dibenahi (direvisi, red), perubahan materi KUHP bisa dilakukan lewat UU lain secara parsial, tapi harus diatur pedomannya (terlebih dahulu, red),” kata Fachrizal dalam kegiatan penyerahan Prosiding hasil Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2021 kepada Kementerian Hukum dan HAM/Tim Perumus KUHP secara daring, Selasa (22/6/2021). (Baca Juga: 10 Hal Penting dalam RUU KUHP)

Dia mengingatkan saat pembuat UU ingin merumuskan tindak pidana baru (dalam UU lain, red), KUHP harus menjadi pedoman. Tindak pidana baru itu harus dibandingkan dengan delik pidana yang ada dalam KUHP. Dengan begitu, diharapkan KUHP yang nanti disahkan bisa menghindari persoalan yang kerap dijumpai dalam sistem peradilan pidana yakni kriminalisasi yang berlebihan (over kriminalisasi).

Wamenkumham, Prof Edward Omar Sharif Hiariej, mengapresiasi inisiatif yang dilakukan sejumlah lembaga melalui Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP. Menurutnya, semua masukan sangat berarti demi pembaruan hukum pidana Indonesia. Tim internal pemerintah yang didalamnya ada para ahli hukum telah melakukan perubahan terhadap drafRUU KUHP yang menuai polemik di masyarkat pada tahun 2019.

“Perubahan itu sesuai dengan masukan yang disampaikan kalangan masyarakat sipil,” ujarnya.

Pria yang akrab disapa Prof Eddy itu menyebutkan perubahan terhadap draf RUU KUHP tahun 2019 itu meliputi sebagian pasal yang dihapus karena dianggap overkriminalisasi, seperti pemidanaan terhadap dokter gigi. Sebagian lain dilakukan formulasi ulang seperti pasal tentang aborsi dan perkosaan. Untuk pasal lain yang menuai polemik tetap dipertahankan dan telah disosialisasi alasannya kepada publik.

Pengajar STIH Indonesia Jentera, Anugerah Rizki Akbari, mengatakan materi yang diatur dalam KUHP sangat luas dan berdampak terhadap seluruh lapisan masyarakat. Banyak ketentuan KUHP yang patut dicermati. Mengingat KUHP merupakan kodifikasi hukum pidana, maka ke depan pemerintah dan DPR ketika merumuskan tindak pidana baru harus berpedoman pada KUHP.

“Kemudian mencermati implikasi KUHP karena banyak persoalan pidana yang jawabannya melalui revisi KUHAP,” kata dia.

Prosiding ini memuat hasil dari 1 panel utama dan 4 panel tematik yang digelar dalam Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2021. 4 panel utama itu bertema Uji Implementasi Rancangan KUHP terhadap Peraturan Perundang-undangan dan Hukum Acara Pidana; Pidana dan Pemidanaan; Rancangan KUHP dan HAM; serta Tindakan Pidana Korporasi.

Dalam Prosiding itu juga termaktub 6 rekomendasi untuk pemerintah. Pertama, pemerintah harus memahami dan mengimplementasikan politik hukum penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM yang telah tercantum dalam konstitusi dan putusan MK. Kedua, hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat tidak perlu dipertentangkan oleh negara, tapi diintegrasikan dalam tata hukum yang baru.

Ketiga, dalam pembaruan KUHP, pembentuk RUU KUHP tidak bisa menggunakan pendekatan dari aspek legal formal saja, tapi juga pendekatan filsafat, sosial, ekonomi/bisnis, kriminologi, viktimologi, psikologi/psikiatrik, kesehatan masyarakat, pemasyarakatan dan sebagainya. Keempat, pembahasan RUU KUHP harus bersifat inklusif dan melibatkan kalangan yang lebih luas, khususnya kelompok masyarakat yang rentan dan paling terdampak dari pemberlakuan RUU KUHP tersebut.

Kelima, kajian dan evaluasi terhadap penormaan asas pidana, pedoman pemidanaan, dan alternatif pemidanaan yang sesuai dengan tujuan pemidanaan untuk memperkuat konsep keadilan restoratif dan pemasyarakatan adalah hal yang mutlak dan penting untuk dilakukan. Keenam, menyiapkan hal-hal teknis maupun peraturan pelaksana RUU KUHP, termasuk melakukan revisi terhadap UU No.12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan mempertimbangkan ulang hal-hal yang tidak logis untuk dijalankan agar rekodifikasi KUHP yang telah dilakukan tidak sia-sia.

Tags:

Berita Terkait