Sejumlah Potensi Kerawanan Pemilu 2024
Terbaru

Sejumlah Potensi Kerawanan Pemilu 2024

Seperti potensi praktik jual-beli suara mulai tingkat desa hingga kabupaten. TNI-Polri dalam mengawal pelaksanaan pemilu selain penting menjalin sinergisitas antar lembaga juga harus menjunjung tinggi netralitas.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kiri ke kanan. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, Menkopolhukam Moh Mahfud MD, dan Kapolri Jenderal Polisi Lisyto Sigit Prabowo. Foto: Tangkapan layar youtube
Kiri ke kanan. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, Menkopolhukam Moh Mahfud MD, dan Kapolri Jenderal Polisi Lisyto Sigit Prabowo. Foto: Tangkapan layar youtube

Dalam rangka mendukung kelancaran penyelenggaraan pesta demokrasi 2024 mendatang, pemerintah telah melakukan berbagai hal antara lain melakukan koordinasi dengan berbagai lembaga. Salah satunya rapat koordinasi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) M Mahfud MD, dengan TNI-Polri yang diselenggarakan di Jakarta, Senin (29/5/2023).

Dalam kesempatan itu Mahfud mengingatkan berbagai potensi kerawanan yang terjadi dalam pemilu. Misalnya, dalam proses penghitungan suara, ada potensi jual beli suara di tingkat, desa, kecamatan, dan kabupaten/kota. Pengalaman itu didapat ketika Mahfud menjadi hakim konstitusi dan menyidangkan perkara sengketa pemilu.

Secara umum Mahfud menilai pemilu yang berlangsung selama ini sama seperti orde baru yakni diwarnai kecurangan. Bedanya kecurangan yang terjadi di era orde baru sifatnya vertikal. Yakni pelakunya adalah pemerintah, misalnya lembaga pemilu melalui kementerian dalam negeri kemudian ABRI, birokrasi, dan Golkar menentukan pemilu. Sementara di era reformasi kecurangan bersifat horizontal. Seperti antar partai politik saling melakukan kecurangan.

Tak jarang perkara kecurangan itu sampai berlabuh ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mahfud mengingatkan sekalipun kecurangan itu terbukti di MK tapi tidak menggugurkan hasil pemilu. Misalnya ada calon yang menang pemilu dengan 5 juta suara, lalu lawannya kalah karena hanya memiliki 4 juta suara.

Baca juga:

Calon yang kalah kemudian menggugat karena pemenang diduga melakukan kecurangan. Walau di persidangan terbukti calon yang menang itu melakukan kecurangan. Misalnya terhadap 200 ribu suara, tapi hasil pemilu tidak berubah karena suara dari calon yang kalah tidak signifikan jumlahnya atau di bawah 5 juta suara.

“Walau kecurangan pemilu terbukti di persidangan MK tapi tetap tidak bisa mengubah hasil pemilu,” ujar Mahfud.

Meski demikian bila kecurangan terdapat ada unsur pidanannya, Mahfud menegaskan aparat penegak hukum bisa menindaklanjuti. Oleh karena itu sempat ada calon Gubernur yang menang pemilihan kepala daerah tapi terbukti di persidangan MK melakukan kecurangan dan ada indikasi korupsi kemudian dilantik sebagai Gubernur.

“Tapi kemudian dicopot karena terbukti korupsi,” imbuhnya.

Kerawanan lainnya dalam pemilu mulai dari tahap pertama yakni pendaftaran peserta pemilu seperti partai politik. Keributan muncul ketika ada partai politik yang dinilai tidak memenuhi syarat tapi diloloskan KPU. Begitu juga sebaliknya ada partai politik yang dinilai memenuhi syarat tapi tak lolos.

Mantan Ketua MK itu menekankan kepada TNI-Polri dalam mengawal pelaksanaan pemilu selain penting menjalin sinergisitas antar lembaga juga harus menjunjung tinggi netralitas. Hal itu mempengaruhi kualitas demokrasi di Indonesia yang ditentukan oleh 3 indikator. Pertama, rakyat bisa menggunakan haknya dengan bebas. Kedua, prosedur pelaksanaan pemilu dilakukan secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, proses penghitungan suara harus dikawal serius dari tingkat bawah sampai atas.

Terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, menyorot adanya dua peraturan KPU yang dinilai memberikan angin segar kepada mantan terpidana korupsi untuk mendaftar sebagai caleg pada pemilu 2024. Yakni Peraturan KPU No.10 Tahun 2023 Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Kemudian Peraturan KPU No.11 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU No.10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD. Intinya, kedua aturan itu membolehkan mantan terpidana korupsi yang telah menjalani pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk maju sebagai caleg tanpa melewati masa jeda 5 tahun.

Kurnia menilai kedua Peraturan KPU itu bertentangan dengan Putusan MK No.87/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No 12/PUU-XXI/2023. Putusan MK tersebut memandatkan jeda 5 tahun bagi mantan Syarat itu berlaku bagi semua mantan terpidana korupsi dan tidak ada pengecualian termasuk yang sudah menjalani pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.

“Dalam 2 putusan MK itu jelas mewajibkan mantan terpidana korupsi untuk melewati masa jeda waktu terlebih dahulu selama lima tahun sebelum mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif, tanpa ada pengecualian apapun, termasuk pencabutan hak politik,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait