Sejumlah Penyebab Aksi Korporasi Berimplikasi Korupsi di BUMN
Utama

Sejumlah Penyebab Aksi Korporasi Berimplikasi Korupsi di BUMN

Mulai konflik kepentingan hingga perbedaan penilaian aset.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
 Direktur Antikorupsi Badan Usaha KPK Aminudin saat menjadi narasumber dalam acara MIND ID Group Legal Consolidation 2024 di Bali, (7/8/2024). Foto: MIND ID
Direktur Antikorupsi Badan Usaha KPK Aminudin saat menjadi narasumber dalam acara MIND ID Group Legal Consolidation 2024 di Bali, (7/8/2024). Foto: MIND ID

Upaya pencegahan tindak pidana korupsi menjadi bagian tak terpisahkan dari tugas dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terutama di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sektor pertambangan di perusahaan BUMN misalnya, menjadi sektor yang perlu diperkuat pola pencegahan guna menutup celah terjadinya tindak pidana korupsi dalam setiap aksi korporasinya.

Direktur Antikorupsi Badan Usaha KPK Aminudin mengatakan aksi korporasi merupakan langkah strategis yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam upaya meningkatkan kinerja, efisiensi, dan daya saing. Tindakan ini bisa berupa merger, akuisisi, divestasi, restrukturisasi, atau langkah-langkah finansial lainnya untuk mencapai tujuan bisnis yang lebih besar.

Namun, tak jarang dalam aksi korporasi malah berujung menimbulkan kerugian keuangan negara  yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Untuk itu, dalam aksi korporasi yang menimbulkan korupsi perlu diperjelas batasannya. Menurutnya, dalam aksi korporasi yang berimplikasi korupsi dapat disebabkan karena 6 hal.

Pertama, konflik kepentingan. Dalam menjalankan aksi korporasi sepanjang tidak adanya konflik kepentingan tak jadi soal.  Masalahnya, terjadinya kerugian keuangan negara dalam perusahaan BUMN akibat adanya konflik kepentingan. Nah, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk korupsi.

Endingnya cepat atau lambat akan terendus aparat penegak hukum,” ujar Aminudin dalam acara diskusi bertajuk "Peningkatan Pemahaman dan Kapabilitas dalam Deteksi & Pencegahan Dini Korupsi di Lingkungan Grup MIND ID’" di Bali, Rabu (7/8/2024).

Baca Juga:

Menurutnya, deteksi dini dapat dilakukan dengan penguatan penerapan kode etik yang jelas dan komprehensif. Tentunya kode etik yang mengatur larangan konflik kepentingan serta disosialisasikan secara berkala kepada seluruh pegawai. Kemudian kebijakan pengungkapan harta secara berkala bagi pejabat BUMN. Selanjutnya, mekanisme pelaporan. 

Ketersediaan saluran pelaporan yang aman dan mudah diakses bagi pegawai serta masyarakat terkait adanya dugaan konflik kepentingan. Tak hanya itu, adanya audit independen. Menurutnya keberadaan audit independen secara berkala terhadap berbagai yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Ada pula pemantauan media terkait perusahaan dan pejabat BUMN agar dapat mengidentifikasi potensi konflik kepentingan. Selanjutnya rotasi jabatan. Pola tersebut dilakukan secara berkala agar dapat mencegah terjadinya monopoli kekuasaan dan mengurangi risiko konflik kepentingan.

Kedua, transparansi yang rendah. Menurutnya keterbukaan dalam pembuatan kebijakan dan tidak  setengah kamar menjadi keharusan. Selain itu keberadaan satuan pengawas internal yang menjadi ‘mata dan telinga’ direksi mesti diisi oleh orang-orang independen agar dapat mendeteksi permasalahan.

Menurutnya deteksi dini pencegahan lainnya terhadap transparansi yang rendah dengan membuat mekanisme pelaporan melalui Whistleblowing System serta layanan Hotline. Kemudian adanya analisis transaksi melalui due diligence. Selanjutnya analisis data menggunakan  data analitik untuk mengidentifikasi pola transaksi yang mencurigakan.

Ada pula benchmarking. Yakni dengan membandingkan harga dan kondisi transaksi dengan transaksi serupa di pasar. Selain itu, adanya audit reguler di bidang keuangan, kinerja, dan kepatuhan. Selanjutnya pantauan media melalui monitoring pemberitaan dan analisis sentimen publik terhadap perusahaan. Serta evaluasi berkala terhadap pejabat yang memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan.

Ketiga, kelemahan sistem pengendalian internal. Dalam upaya mengatasi hal tersebut, deteksi dini yang dapat dilakukan melalui self assessment terhadap sistem pengendalian internal secara berkala. Kemudian audit internal dan eksternal yang dilakukan secara rutin. Khusus audit eksternal mengundang auditor eksternal untuk melakukan audit independen.  

“Kemudian menyediakan saluran pelaporan yang aman bagi pegawai untuk melaporkan dugaan penyimpangan. Serta pemantauan kinerja terhadap kinerja kunci (key performance indicators) secara berkala,” ujarnya.

Keempat, tekanan politik. Menurutnya upaya yang dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan lingkungan politik. Seperti melakukan analisis kebijakan. Misalnya kebijakan penempatan pengurus parpol pendukung pemerintah dalam jabatan strategis di BUMN. Kemudian monitoring terhadap berita dan informasi terkait dengan perusahaan dan lingkungan politik.

Kemudian networking yakni dengan cara membangun jaringan ke berbagai pihak yang memiliki informasi mengenai dinamika politik. Evaluasi risiko pun menjadi upaya pencegahan. Yakni dengan mengidentifikasi risiko terhadap proyek atau keputusan bisnis yang berpotensi menghadapi tekanan politik. Serta analisis dampak terhadap tekanan politik kepada perusahaan.

Kelima, kompleksitas transparansi. Menurutnya langkah yang dapat dilakukan dengan melakukan pemetaan transaksi untuk menggambarkan hubungan antara berbagai pihak dan aset yang terlibat. Serta mengidentifikasi titik-titik kritis dalam transaksi yang berpotensi menimbulkan risiko.

Selanjutnya analisis risiko untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan transaksi dan menentukan tingkat dampak dan kemungkinan terjadinya risiko. Ada pula due diligence terhadap latar belakang pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi dan memeriksa legalitas dokumen dan perjanjian. Pemantauan terhadap pelaksanaan transaksi secara berkala dan membandingkan hasil yang terealisasi dengan rencana yang telah ditetapkan.

Keenam, perbedaan penilaian aset. Menurutnya data valid dan berintegritas yang digunakan oleh penilai sebagai instrumen dalam menilai aset. Dengan demikian data yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan. Setidaknya pemilihan penilai yang independen memiliki kompetensi yang memadai untuk melakukan penilaian.

Kemudian verifikasi data yang digunakan sebagai dasar penilaian aset. Selanjutnya melakukan perbandingan penilaian sebelumnya. Tujuannya untuk melihat adanya perubahan yang signifikan. Tak hanya itu, melakukan analisis sensitivitas untuk melihat bagaimana perubahan asumsi dapat mempengaruhi nilai aset.

“Karenanya pilih appraisal yang berintegritas, bonafit, dan independen,” ujarnya.

Sementara, Direktur Pertimbangan Hukum pada Jaksa Agung Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), Sila Haholongan mengingatkan dalam upaya pencegahan korupsi dalam korporasi ada kewajiban mewujudkan good corporate governance yang tertuang dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Seperti menjalankan pengurusan untuk kepentingan perseroan dan sesuai maksud dan tujuan perseroan.

Kemudian menjalankan pengurusan dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Selanjutnya, menjalankan pengurusan perseroan dengan penuh kehati-hatian. Selain itu tidak memiliki benturan kepentingan dalam pengurusan, serta telah mengambil tindakan atau pencegahan agar tidak timbul kerugian atau berlanjutnya kerugian perseroan.

Tags:

Berita Terkait