Sejumlah Masukan untuk Aplikasi Risiko Bisnis dan HAM
Berita

Sejumlah Masukan untuk Aplikasi Risiko Bisnis dan HAM

Aplikasi berbasis website ini menganalisa risiko terjadinya pelanggaran HAM dalam kegiatan bisnis yang dijalankan perusahaan. Aplikasi ini tidak memberikan penilaian, tapi gerakan moral sebagai ajang sosialisasi dan edukasi tentang prinsip bisnis dan HAM.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi HAM. Hol
Ilustrasi HAM. Hol

Pemerintah terus mendorong pelaksanaan panduan bisnis dan HAM yang diterbitkan Dewan HAM PBB dalam dokumen The United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs). Sampai saat ini Pemerintah masih menyusun peraturan mengenai Strategi Nasional Pedoman Bisnis dan HAM. Tapi, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM membuat aplikasi berbasis daring yang intinya menganalisa risiko bisnis dan HAM yang berpotensi terjadi dalam kegiatan bisnis perusahaan.

Direktur Kerja Sama HAM Kementerian Hukum dan HAM, Bambang Iriana Djajaatmadja, mengatakan aplikasi berbasis website yang diberi nama “Prisma” ini dibangun Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) bersama organisasi masyarakat sipil dan melalui konsultasi dengan berbagai perusahaan. Aplikasi ini diharapkan dapat membantu perusahaan mengetahui dampak dan risiko yang berpotensi muncul dalam rantai bisnis. Bambang menyebut negara lain yang sudah memiliki rencana aksi nasional (RAN) Bisnis dan HAM serta aplikasi serupa mengenai analisa risiko bisnis dan HAM yakni Belanda.

“Aplikasi Prisma yang sedang kita bangun ini untuk menganaisa risiko terjadinya pelanggaran HAM dalam kegiatan bisnis perusahaan,” kata Bambang Iriana Djajaatmadja dalam diskusi daring bertema “Pandangan atas Pengembangan Penilaian Risiko Bisnis dan HAM sebagai Implementasi UNGPs” yang diselenggarakan Kemenkumham, Senin (5/10/2020). (Baca Juga: Pemerintah Bakal Terbitkan Peraturan Mengenai Strategi Bisnis dan HAM)

Bambang menjelaskan Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani UNGPs tahun 2011. Dokumen itu memuat 3 pilar penting. Pertama, kewajiban pemerintah melindungi HAM. Kedua, perusahaan bertanggung jawab menghormati HAM. Ketiga, korban perlu mendapatkan akses pemulihan.

Dia mencatat tidak sedikit pengaduan yang diterima Kemenkumham dan Komnas HAM berkaitan dengan kegiatan bisnis yang dilakukan perusahaan. Dari ribuan kasus pengaduan yang diterima Komnas HAM setiap tahun paling banyak kedua yakni melibatkan perusahaan atau korporasi. Sejumlah hal yang diadukan itu, antara lain soal pertanahan, hak masyarakat hukum adat, deforestasi, penggusuran paksa, dan ketenagakerjaan.

Peneliti Djokosoetono Research Center (DRC) FHUI, Patricia Rinwigati, mengatakan ada beberapa peraturan yang mengamanatkan perusahaan untuk melaksanakan HAM. Misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menerbitkan sejumlah Peraturan Menteri yang bersinggungan dengan HAM, seperti Permen No.35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM di Industri Perikanan; Permen No.42 Tahun 2016 tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan; dan Permen No.2 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi HAM di Industri Perikanan.

“Tapi sampai saat ini belum diketahui bagaimana pelaksanaannya apakah sudah berjalan atau masih dalam tahap persiapan,” kata Patricia dalam kesempatan yang sama.

Ada juga regulasi yang diterbitkan kementerian dan lembaga negara lain yang intinya menyinggung HAM. Mengacu hal tersebut, Patricia menilai regulasi yang terkait dengan bisnis dan HAM terpencar di sejumlah sektor. Karena itu, aplikasi Prisma ini juga berfungsi sebagai ajang edukasi dan sosialisasi tentang bisnis dan HAM.

“Aplikasi Prisma sifatnya self assessment dan sukarela agar kalangan bisnis bisa mengerti, mampu mengidentifikasi risiko dan meminimalisir atau mencegahnya. Ini seperti due diligence,” ujarnya.

Patricia menyebut target awal pengguna aplikasi ini yakni perusahaan pelat merah. Ini sesuai dengan rekomendasi PBB dimana negara harus memberi contoh. Aplikasi ini juga memiliki sistem penilaian berdasarkan laporan yang diberikan perusahaan.

Sebagai gerakan moral

Ketua Komite Tetap Social Responsibility Kadin, Siddharta Moersjid, menilai perusahaan yang menggunakan aplikasi ini akan sangat terbantu, tapi lebih baik dalam penggunaan aplikasi ini bisa dilakukan secara anonim. Siddharta mengingatkan ada instrumen lain yang sejalan dengan UNGPs yakni ISO 26000 tentang panduan dan standardisasi untuk tanggung jawab sosial. Standar ISO 26000 ini memuat 7 isu yaitu pengembangan masyarakat, konsumen, praktik kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, HAM, dan organisasi pemerintahan.

Mengingat tidak sedikit instrumen yang berkaitan dengan bisnis dan HAM, Siddharta mengusulkan agar pengembangan aplikasi Prisma ini juga melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Tujuannya agar beragam instrumen itu tidak terpencar ke berbagai sektor, sehingga bisa diterapkan untuk seluruh kegiatan bisnis. “ISO 26000 itu sejalan dengan UNGPs, tujuannya pembangunan berkelanjutan,” paparnya.

Direktur Eksekutif Apindo, Danang Girindrawardana, menjelaskan banyak regulasi yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan laporan, misalnya di bidang ketenagakerjaan. Dia melihat aplikasi Prisma juga melakukan hal yang sama yakni meminta perusahaan memberikan laporan. Dia berharap instrumen ini harus dilaksanakan sebagai gerakan moral, bukan penilaian terhadap perusahaan.

“Jika ini nanti menjadi penilaian berpotensi menimbulkan konflik, seperti konflik antara RSPO dan Indonesia,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait