Sejumlah Masukan LeIP terhadap RUU Hukum Acara Perdata
Utama

Sejumlah Masukan LeIP terhadap RUU Hukum Acara Perdata

Mulai soal pengaturan eksekusi putusan perdata, hingga class action dan citizen lawsuit.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Direktur Eksekutif LeIP, Liza Farihah dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Panja RUU HAP di ruang Komisi III, Kamis (7/4/2022). Foto: RES
Direktur Eksekutif LeIP, Liza Farihah dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Panja RUU HAP di ruang Komisi III, Kamis (7/4/2022). Foto: RES

Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata (RUU HAP) memasuki tahap menyerap aspirasi/masukan dari berbagai pemangku kepentingan. Salah satunya, Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Peradilan (LeIP) yang memberikan sejumlah masukan dalam rangka penguatan substansi atau materi muatan draf RUU HAP. Antara lain soal pengaturan pelaksanaan eksekusi putusan perdata dan gugatan citizen lawsuit dan class action. 

Direktur Eksekutif LeIP, Liza Farihah menilai dalam pelaksanaan eksekusi putusan perdata kerap menemukan banyak persoalan. Setidaknya riset yang telah dilakukan banyak menemukan persoalan di lapangan terkait pelaksanaan eksekusi putusan perdata. Dia mengusulkan dalam penjudulan bab dan narasi dalam RUU HAP agar langsung menyebutkan “Bab Eksekusi Putusan” buka "Bab Pelaksanaan Putusan Pengadilan”. Sebab dua frasa tersebut memiliki perbedaan. 

“Yang satu memohonkan adanya upaya paksa kepada pengadilan sebagai perwakilan dari negara. Sedangkan pelaksanaan putusan dalam arti putusan tersebut ditunggu untuk dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah,” ujar Liza Farihah dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Panja RUU HAP di ruang Komisi III, Kamis (7/4/2022).

Menurutnya, banyak hal yang belum diatur terkait prosedur eksekusi putusan perdata. Seperti soal prosedur administratif eksekusi dan pelaksanaan eksekusi. Alhasil, banyak temuan permasalahan di lapangan saat pelaksanaan eksekusi putusan perdata. Memang ada dua tahap besar dalam pelaksanaan eksekusi perdata. Pertama, tahap prosedur administratif. Liza dalam paparannya mengusulkan adanya fase yang diatur yakni pengajuan permohonan. Kemudian, pembayaran panjar eksekusi.

Baca Juga:

Liza menilai banyak ditemukan persoalan akibat sebab minimnya pengaturan serta belum adanya panduan yang jelas dari Mahkamah Agung bagi Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA). Alhasil, terdapat 4 jenis pembayaran panjar eksekusi. Akibatnya, adanya ketidakseragaman biaya panjar eksekusi. Menurutnya, berdasarkan diskusi dengan MA dan Ketua Pengadilan, adanya usulan ke depan eksekusi tidak lagi menggunakan pembayaran panjar eksekusi.

Tapi menggunakan fix cost alias biaya-biaya tetap yang harus dibayarkan. Fase selanjutnya, penelaahan permohonan. Nantinya Ketua PN dibantu staf eksekusi atau panitera menelaah permohonan eksekusi. Kemudian pemanggilan termohon, annmaning, dan penetapan eksekusi perlu diatur dengan jelas dan gamblang.

“Agar memiliki kekuatan hukum yang kuat. Sehingga ketika pihak pengadilan untuk blokir rekening menjadi kuat dengan surat penetapan pengadilan,” ujarnya.

Kedua, tahap pelaksanaan eksekusi. Dalam paparannya, LeIP mengusulkan diaturnya pelaksanaan eksekusi berdasarkan jenis-jenis eksekusi yang ada selama ini. Seperti eksekusi pembayaran sejumlah uang, eksekusi rill, dan eksekusi melakukan perbuatan tertentu. Masukannya lainnya, adanya penguatan sumber daya manusia dalam pelaksanaan eksekusi perdata.

Bagi Liza, isu eksekusi putusan perdata ada 3 akar permasalahan. Pertama, minimnya regulasi tentang eksekusi perdata di Indonesia. Saat ini hanya diatur dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan Surat Edaran Badan Peradilan Umum (SE Badilum). Tapi, itupun belum memberikan panduan mekanisme yang jelas bagi ketua pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi.

Kedua, kurangnya dukungan dari cabang kekuasaan lain seperti eksekutif dan legislatif dalam membantu pengadilan melakukan eksekusi secara efektif dan efisien. Ketiga, dalam mengeksekusi putusan perdata tumpuannya berada pada juru sita sebagai garda terdepan. Praktiknya, juru sita minimal berlatar belakang pendidikan SMA. Alhasil, pengadilan meminta juru sita mengeksekusi berupa pengosongan lahan misalnya. Tapi kompetensinya terbatas dan tidak memiliki kemampuan bernegosiasi, serta tidak memahami cara penelusuran aset.

“Jadi kami mendorong selain pengaturan juru sita, kami mendorong ke MA perlu adanya bimbingan teknis (Bimteks) atau pelatihan khusus peningkatan juru sita eksekusi perdata,” ujarnya.

Peneliti LeIP Alfeus Jebabun menambahkan alasan fokus pada persoalan eksekusi putusan perdata lantaran lembaganya telah melakukan kajian mendalam. Salah satu usulan lainnya agar RUU HAP perlu adanya unifikasi antara HIR dan Rechtreglement voor de Buitengewesten (RGB). Selain itu mengkodifikasi dari hukum acara perdata yang tersebar di berbagai macam peraturan perundang-undangan menjadi satu kitab.

Dia juga mengusulkan perlu dimasukkannya class action (gugatan perwakilan) dan Citizen Lawsuit. Menurutnya, banyak perkara citizen lawsuit ataupun class action, tapi tak banyak pasal yang menjelaskan dalam draf RUU HAP. Karenanya perlu pengaturan kriteria syarat citizen lawsuit dan class action. Seperti prosedur pemberitahuan/notifikasi serta mekanisme pemeriksaan. Sementara class action dalam draf RUU HAP belum diaturnya prosedur dalam menentukan keanggotaan kelompok hingga putusan.

Begitu pula perlunya pengaturan prosedur pemeriksaan class action mulai keabsahan kelompok sampai putusan. Pengaturan soal bukti elektronik pun menjadi bagian penting dalam draf RUU HAP yang perlu diatur. Terutama prosedur berperkara melalui e-court yang telah diatur Peraturan MA (Perma). Selain itu, redefinisi mediasi karena mediasi berbeda halnya dengan perdamaian

Sementara dalam Pasal 185-195 draf RUU menggabungkan kasasi biasa dengan kasasi demi kepentingan hukum. Menurutnya, kasasi demi kepentingan hukum adalah upaya hukum luar biasa. Dengan begitu, letak pengaturan dan prosedurnya mesti dipisahkan dengan kasasi biasa. Begitu pula upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali (PK).

Menurutnya, perlu membedakan cara berpikir antara PK dalam perkara pidana dengan perdata. Dia berpandangan kasasi perdata agak susah mengatur PK hanya sekali. Pasal 198 yat (3) draf RUU mengatur PK hanya boleh sekali. Baginya pengaturan tersebut menjadi tidak jelas. “Siapa yang berhak mengajukan PK, mengingat para pihak dalam perkara perdata bisa banyak. Jadi perlu diatur ulang Pasal 198 ayat (3) ini,” ujarnya.

Menanggapi masukan LeIP, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU HAP, Adies Kadir menegaskan salah satu fokus Panja terkait dengan masalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, tapi tak dapat dilakukan dieksekusi. Selain itu, banyaknya laporan masyarakat yang masuk ke Komisi III terkait dengan PK yang bisa lebih dari satu kali.

“Nanti ada perlawanan lagi dan tidak selesai-selesai. Ada sampai puluhan tahun cuma menang di atas kertas (karena eksekusinya tidak jalan, red),” ujar Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Golkar itu.

Anggota Panja RUU HAP, Arsul Sani menambahkan politik hukum yang diletakkan pemerintah adalah hukum acara perdata bersifat kodifikasi terbuka yakni membiarkan berlakunya UU di luar HIR dan RBG yang memuat hukum acara perdata. Seperti UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kemudian dalam draf RUU telah menyebut tentang class action dan citizen lawsuit. Tapi nampaknya memang belum diatur secara detail, sehingga perlu diatur secara detail.  

“Masukan LeIP sangat berharga,” kata politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.

Tags:

Berita Terkait