Namun, anggota Komisi VI dari Fraksi PPP, Lukman Hakim Saefudin meragukan pembahasan atas RUU tersebut dapat diselesaikan DPR pada 2004. "Saya pribadi risau betul apakah revisi ini bisa kita tuntaskan pada masa persidangan periode Dewan kali ini. Karena nanti 10 Maret kita memasuki reses, lalu kembali lagi April sampai sekitar Juli, lalu ada reses lagi," jelasnya.
Senada dengan Lukman, Wakil Ketua Komisi VI Chadijah HM Saleh juga pesimis RUU Perubahan UU No.17/1999 bisa menjadi karya terakhir Komisi VI DPR periode sekarang. Sebagai jalan alternatif, ia mengatakan bahwa Komisi VI akan mengimbau Menteri Agama agar tahun depan tidak usah bermimpi untuk menambah kuota haji. "Tapi, cukup mengelola secara baik kuota yang 205 ribu itu," kata Chadijah.
Menyadari akan kecilnya kemungkinan penyelesaian revisi UU No.17/1999 secara cepat, anggota Koalisi yang lain, Zaim Uchrowi, meminta agar DPR mendesak Depag untuk memberi kepastian kuota bagi para jamaah yang gagal berangkat haji. Prioritas kuota tersebut, tambahnya, meliputi baik 5000 ribu jamaah yang telah mengantungi Surat Pendaftaran Pergi Haji (SPPH) maupun bagi 30 ribu jamaah yang belum memegang SPPH.
Zaim juga meminta agar Komisi VI mendesak Depag untuk memberikan kepastian jumlah kuota antara Depag dan penyelenggara haji swasta di waktu mendatang. Menurutnya, tidak masalah apabila Depag ingin mengelola penyelenggaraan haji seratus persen, akan tetapi jelas bagi masyarakat.
Depag tidak berhak
Menurut Koalisi, selama ini seluruh biaya perjalanan haji ditanggung oleh jamaah haji. Tahun ini pemerintah Indonesia, dalam hal ini Depag, diberi jatah oleh Organisasi Konferensi Negara-negara Islam (OKI) sebanyak 205 ribu jamaah. Sebanyak 94% dari kuota itu dipegang oleh pemerintah, sedangkan sisanya, 6%, diserahkan kepada biro perjalanan swasta.
Koalisi menilai bahwa berdasarkan prinsip good governance, Depag sebenarnya tidak berhak mengelola semua kegiatan masyarakat yang sepenuhnya dibiayai dana masyarakat. Apalagi, berdasarkan UU No.17/1999, dana masyarakat untuk kegiatan haji langsung mengalir ke rekening Menteri Agama. Oleh karena itu, pihak Koalisi memandang penyelewengan penyelenggaraan haji akan terus berlangsung selama undang-undangnya belum direvisi.
Dalam pertemuan dengan Koalisi, Komisi VI menyepakati bahwa sebelum melakukan pembahasan revisi UU No.17/1999 lebih jauh, mereka kembali akan mendesak pemerintah untuk menggelar lokakarya nasional yang sudah tertunda dua tahun lamanya. Menurut Anwar, lokakarya tersebut belum juga terlaksana lantaran Depag terus-menerus menyatakan belum siap.
"Saya kira di dalam teori korupsi ketika terjadi sentralisasi kekuasaan di tangan seseorang yang sangat berkuasa itu mudah terjadi penyimpangan. Karena itu maka sebenarnya kalau kita mau membenahi masalah penanganan haji ini barangkali kita memang harus mulai dari sini, merevisi UU No.17 Tahun 1999," kata Teten Masduki salah satu elemen Koalisi ketika bertemu dengan Komisi VI DPR, pada Selasa (27/01).
Teten yang juga Koordinator Badan Pekerja ICW mengatakan, revisi terhadap UU No.17/1999 penting dilakukan untuk menghentikan conflict of interest dari Departemen Agama sebagai regulator dan penyelenggara ibadah haji.
"Saya kira yang paling penting bagaimana menempatkan Depag. Apakah mau menempatkan Depag seperti sekarang menjadi travel biro, atau sebenarnya mau menempatkan Depag sebagai regulator, pengawas atau sebagai juga yang menjamin perlindungan terhadap jemaah," cetus Teten.
Revisi belum pasti
Mengenai revisi UU No.17/1999, Wakil Ketua Komisi VI Anwar Arifin mengatakan bahwa sebanyak 40 orang anggota Dewan telah menandatangani RUU usul inisiatif mengenai perubahan terhadap UU Penyelenggaraan Ibadah Haji tersebut. Ia juga mengatakan bahwa RUU tersebut dijadwalkan akan mendapatkan tanggapan dari fraksi-fraksi pada 16 Februari.