Sejumlah Isu Penting dalam Perubahan KUHAP
Terbaru

Sejumlah Isu Penting dalam Perubahan KUHAP

Mulai pemulihhan korban tindak pidana, diferensiasi fungsional, hingga hukum acara koneksitas.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Koordinator Tim Peneliti Audit KUHAP Anugerah Rizki Akbari dalam diskusi bertema 'Launching dan Roadshow Pembahasan Studi Audit KUHAP: Studi Evaluasi terhadap Keberlakuan Hukum Acara Pidana Indonesia', Selasa (20/12/2022). Foto: RFQ
Koordinator Tim Peneliti Audit KUHAP Anugerah Rizki Akbari dalam diskusi bertema 'Launching dan Roadshow Pembahasan Studi Audit KUHAP: Studi Evaluasi terhadap Keberlakuan Hukum Acara Pidana Indonesia', Selasa (20/12/2022). Foto: RFQ

Usia Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selama 41 tahun sebagai hukum formil. KUHAP pun telah berulang kali diuji ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya tak sedikit yang dikabulkan MK, sehingga banyak norma yang mengalami perubahan. Karenanya, mengaudit KUHAP menjadi penting sebagai bahan perubahan KUHAP di masa mendatang.

Koordinator Tim Peneliti Audit KUHAP, Anugerah Rizki Akbari mengatakan riset dan audit KUHAP sudah berlangsung sejak 2020. Ada sejumlah isu penting sebagai bahan perubahan hukum acara pidana ini. Pertama, pemulihan korban tindak pidana. Berdasarkan hasil evaluasi, hukum acara pidana hanya berorientasi terhadap pelaku tindak pidana. Karenanya, penyidikan hanya mencari pelaku tindak pidana, sehingga korban tindak pidana tidak menjadi prioritas.

Sekalipun telah dibatasi, KUHAP memberi mekanisme pemulihan yang dibebankan kepada pelaku kejahatan. Korban diperkenankan melakukan gugatan ganti kerugian, tapi konteks pemulihannya sebatas berkaitan biaya-biaya yang timbul akibat pemulihan dari tindak pidana. “Ke depan, KUHAP perlu merekonstruksi ulang korban dilibatkan dalam penegakan hukum tindak pidana,” ujarnya dalam sebuah seminar di Jakarta, Selasa (20/12/2022).

Baca Juga:

Kedua, differensiasi fungsional. Menurutnya, dalam keterpaduan sistem peradilan pidana, konsep differensiasi fungsioinal yang dirancang untuk mempertegas independen dan menyelesaikan tumpang tindih kewenangan penanganan perkara malah menimbulkan banyak persoalan. Seperti hilangnya rungsi pengendalian perkara sedari awal tahap penyidikan (dominus litis) yang dimiliki Kejaksaan yang berujung berkurangnya kualitas penegakan hukum.

Tak hanya itu, prapenuntutan yang menjadi jembatan koordinasi penyidik dengan penuntut umum malah tidak berjalan efektif, bahkan cenderung membahayakan keutuhan penanganan perkara. Setidaknya terdapat puluhan ribu kasus menggantung dalam proses bolak-balik perkara dan malah menimbulkan ketidakpastian hukum. Karenanya, Rancangan KUHAP (RKUHAP) perlu mengevaluasi proses yang saat ini berjalan serta mengidentifikasi model koordinasi yang lebih baik dalam mengefektifkan keterpaduan penegakan hukum.

Ketiga, pemenuhan hak tersangka/terdakwa. Menurutnya dalam KUHAP menjamin hak tersangka/terdakwa. Tapi ternyata, dalam praktiknya tak dapat diakses secara optimal. Persoalan utama terkait ketidaksetaraan posisi negara dengan tersangka/terdakwa dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia. Menurutnya, berdasarkan hasil penelitian, menemukan fakta KUHAP tak membuka akses yang semestinya bagi tersangka/terdakwa agar dapat dipergunakan hak-hak proseduralnya saat menjalani proses hukum.

Di lain sisi, hukum acara pidana tak menyediakan mekanisme komplain ketika hak tersangka/terdakwa tak dapat diakses yang bersangkutan. Ironisnya, praperadilan yang diharapkan mengoreksi kekeliruan yang dilakukan penegak hukum dalam pelaksaan upaya paksa khususnya, malah banyak berkutat dalam pemeriksaan yang bersifat administratif tanpa mau masuk ke ranah materil yang dapat memperkuat perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa.

“Lebih ironisnya lagi, tidak ada konsekuensi yuridis apapun yang diletakkan terhadap sistem penanganan perkara seandainya penegak hukum melanggar hak-hak tersangka/terdakwa tersebut,” ujarnya.

Dosen Hukum pada Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia (Fisip UI) melanjutkan keempat lemahnya mekanisme akuntabilitas dalam penegakan hukum. Menurutnya, praperadilan yang semua diharapkan menjadi forum pengujian memiliki kelemahan fundamental dan berpengaruh terhadap tergerusnya perlindungan hak dan kebebasan individu dalam sistem peradilan pidana.

Sebab disain pengujian yang bersifat post-factum membuat forum praperadilan tidak mampu mencegah kesewenang-wenangan yang boleh jadi dilakukan penyidik pada tahap pra-persidangan. Selain itu, pemeriksaan yang hanya berkutat pada aspek administratif malah menjauhkan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan upaya paksa yang seharusnya dijalankan oleh praperadilan.  Bahkan, hakim cenderung hanya memeriksa terpenuhinya persyaratan formil tanpa mendalami lebih jauh perihal kebutuhan dan justifikasi (materiil) dilakukannya upaya paksa terhadap tersangka/terdakwa.

“Selain hal-hal tersebut, ketidakjelasan pengaturan hukum acara praperadilan juga berpengaruh terhadap keterjangkauan dan keluasan teknis pemeriksaan perkara yang ditangani,” kata dia.

Kelima, pengaturan sistem pembuktiaan. Menurutnya, disain yang bertumpu pada pendekatan inquisitorial, KUHAP seolah memberikan kepercayaan lebih kepada penegak hukum untuk memperoleh bukti dengan cara-cara yang dianggap tepat dalam situasi dan kondisi yang dihadapi. Malahan, standar dan mekanisme kontrol yang dirumuskan KUHAP berkaitan dengan pengumpulan maupun pengujian relevansi bukti tidak diatur secara lengkap.

Memang KUHAP memberikan batasan definisi ‘bukti permulaan yang cukup’ dan ‘bukti yang cukup’ yang dijadikan dasar untuk melakukan tindakan-tindakan pro justitia. Akibatnya, ruang diskresi yang diciptakan terlalu besar untuk menjalankan kewenangan yang beririsan erat dengan terlanggarnya hak-hak maupun kebebasan individu yang terlibat dalam proses tersebut.  Sementara kesempatan yang diberikan KUHAP bagi tersangka/terdakwa maupun penasihat hukum dalam melakukan pengujian terhadap perolehan relevansi bukti masih amat terbatas.

Keenam, pengaturan upaya paksa. Menurutnya, ketidakjelasan standar atau persyaratan pelaksaan upaya paksa terbukti menimbulkan banyak persoalan dalam praktik. Ujungnya, penggerusan hak asasi dan kebebasan fundamental warga negara. Misalnya selain merumuskan perlunya izin ketua pengadilan, praktis tidak ada syarat apapun yang dibebankan KUHAP kepada penyidik untuk mencari justifikasi penggeledahan rumah.

Tanpa meletakkan kewajiban untuk membuktikan adanya probable cause bahwa di suatu tempat akan diperoleh bukti tertentu, penggeledahan rumah akan terus dilakukan dengan tingkat subyektivitas penegak hukum yang sedemikian tingginya. Menariknya, lingkup upaya paksa yang diatur limitatif oleh KUHAP, malah diperluas melalui penambahan kewenangan penegakan hukum dalam berbagai UU.

Ketujuh, ketidaksetaraan posisi negara dan warga negara. Ketidaksetaraan posisi negara dan warga negara dalam sistem peradilan pidana terlihat begitu terbatasnya KUHAP mengatur hak-hak pembelaan yang dimiliki tersangka/terdakwa. Kendati tidak diberikan kewajiban untuk membuktikan hal-hal yang dituduhkan kepadanya, pelaku seharusnya diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya.

“Namun, pada kenyataannya, hakim yang akan menentukan diterima atau tidaknya bukti-bukti yang diajukan terdakwa dan/atau penasihat hukumnya,” kata dia.

Menurutnya, akibat tidak diatur secara khusus alokasi pembelaan yang diberikan bagi terdakwa acapkali jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kesempatan yang diberikan kepada penuntut umum dalam membuktikan dakwaannya. Selain itu, belum adanya kewajiban yang dilletakan ke penuntut umum saat memanggil saksi yang dihadirkan oleh terdakwa. Nah dalam praktiknya, penasihat hukum terdakwa yang harus mencari dan meyakinkan saksi a de charge untuk hadir dan memberikan keterangan di persidangan.

“Sekalipun demikian, terdakwa dan/atau penasihat hukum masih harus memohon kepada majelis hakim agar diperbolehkan mendengar kesaksian pihak-pihak tersebut.”

Kedelapan, hukum acara koneksitas. Menurutnya dalam KUHAP pengaturan koneksitas pun perlu ditinjau ulanng. Sebab, mekanisme yang dirancang dalam menjembatani pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama antara militer maupun sipil tersebut sudah lama ditinggalkan dalam praktik. Sekalipun memiliki karakteristik penyertaan, praktik peradilan justru menunjukkan pelaku sipil akan ditangani oleh penyidik/penuntut umum. Sedangkan pelaku militer akan diadili dengan menggunakan proses yang dimiliki oleh peradilan militer.

Semestinya, disain hukum acara pidana ke depannya sejalan dengan amanat TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No.34 Tahun 2004 tentng TNI yakni pelaku militer hanya bisa diadili oleh peradilan militer sepanjang ia melakukan tindak pidana yang hanya bisa dilakukan oleh militer. Sebaliknya, bila pelaku melakukan tindak pidana non-militer, pemeriksaan harus diserahkan pada peradilan umum. “Desain yang demikian tidak hanya memerlukan perubahan pada KUHAP semata, tetapi termasuk juga KUHP Militer maupun UU Peradilan Militer,” katanya.

Koordinator III bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Sugeng Purnomo berpandangagn rekomendasi terhadap perubahan KUHAP menjadi penting. Menurutnya, melakukan perubahan terhadap hukum acara adalah kebutuhan. Sebab, KUHAP yang ada sudah diterapkan selama 41 tahun dengan berbagai kekurangannya.

Ia menilai KUHAP sudah berulang kali diuji materi di MK oleh masyarakat. Berdasarkan catatan Sugeng, ada 13 putusan MK yang mengabulkan permohonan pemohon terkait hukum acara pidana. Dia merinci di periode 2010, 2011, dan 2014 masing-masing 1 perkara yang dikabulkan. Kemudian di 2012 dan 2015 masing-masing 3 perkara dikabulkan MK. Sementara 2013 dan 2016 masing-masing ada 2 perkara yang dikabulkan.

“Jadi kalau ditotal ada 13 perkara yang dikabulkan. Maka artinya, KUHAP ini sangat layak dilakukan perubahan. Dari 13 putusan itu bersinggungan dengan praperadilan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait