Sejumlah Instrumen Hukum Atasi Dampak Pandemi Covid-19
Berita

Sejumlah Instrumen Hukum Atasi Dampak Pandemi Covid-19

Mulai Perppu, Perpres, Permenkes, hingga peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai upaya mengatasi dampak ekonomi. Namun, pemerintah dan DPR dinilai tidak tepat memetakan masalah untuk menanggulangi pandemi Covid-19 berikut dampaknya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber Webinar 20 Tahun Hukumonline bertema 'Tantangan Hukum Sebagai Instrumen Penyelamatan Indonesia pada Masa Transisi dari Krisis Covid-19', Jumat (17/7). Foto: RES
Sejumlah narasumber Webinar 20 Tahun Hukumonline bertema 'Tantangan Hukum Sebagai Instrumen Penyelamatan Indonesia pada Masa Transisi dari Krisis Covid-19', Jumat (17/7). Foto: RES

Pandemi Covid-19 berdampak pada banyak sektor kehidupan terutama sosial, kesehatan, ekonomi. Dalam sebulan terakhir, meski telah diberlakukan adaptasi kebiasaan baru, penyebaran wabah Covid-19 terus merangkak naik. Seiring dengan itu, pemerintah pun telah mengeluarkan berbagai produk hukum guna menekan atau mengatasi penyebaran virus mematikan ini berikut peraturan dampak ikutannya.        

Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Djoko Pudjirahardjo mengatakan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19 per 16 Juli 2020 menunjuk angka positif corona berjumlah 81.668 orang, sembuh 40.345, dan meninggal 3.873 orang. Sejak awal, pemerintah telah mengambil langkah/upaya dengan menerbitkan berbagai produk peraturan perundang-undangan.

“Untuk mencegah, dampak menanggulangi dampak Covid-19,” ujar Djoko Pudjirahardjo dalam Webinar 20 Tahun Hukumonline bertema “Tantangan Hukum Sebagai Instrumen Penyelamatan Indonesia pada Masa Transisi dari Krisis Covid-19, Jumat (17/72020). (Baca Juga: Penerapan Protokol Kesehatan di Tempat Kerja Butuh Intervensi Pemerintah)

Pertama, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Kini, Perppu ini menjadi UU No. 2 Tahun 2020.

Kedua, Perppu No.2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Ketiga, peraturan pemerintah (PP) No.21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

Keempat, Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19. Kelima, Keppres No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Covid 19 Sebagai Bencana Nasional. Keenam, Keppres No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 9 Tahun 2020.

Ketujuh, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). “Jadi sudah begitu banyak produk hukum yang dikeluarkan dalam rangka mengatasi pandemi ini. Karena dampaknya sangat besar,” ujarnya.

Misalnya, sejumlah jenis usaha yang tidak berkaitan langsung dengan kesehatan, pangan, dan keamanan mengalami penurunan pendapatan. Seperti usaha pariwisata, perhotelan, transportasi dan industri. Masalah lain muncul akibat turunnya pendapatan masyarakat, sulitnya pemenuhan kewajiban, seperti utang yang selama ini dijadikan satu dari sekian sumber permodalan dan biaya operasional. Ujungnya, kata Djoko, banyak terjadi perusahaan dan masyarakat mengalami gagal bayar.

Mantan Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN itu melanjutkan pemerintah telah menempuh sejumlah kebijakan untuk mengurangi dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19. Seperti, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.

Kemudian POJK Nomor 14/POJK.05/2020 tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank. Selain itu, Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 22/4/PBI/2020 tentang Insentif Bagi Bank yang Memberikan Penyediaan Dana untuk Kegiatan Ekonomi Tertentu Guna Mendukung Penanganan Dampak Perekonomian Akibat Wabah Virus Corona.

Berbekal sejumlah instrumen hukum itu, idealnya lembaga pembiayaan ataupun perbankan perlu mengedepankan penyelesaian secara musyawarah, khususnya pada debitur yang terdampak yang tak mampu membayar utangnya. “Karena pandemi Covid-19 melalui kebijakan antara lain restrukturisasi utang atau penjadwalan utang (resceduling),” ujarnya.

Di sisi lain, kata Djoko, situasi pandemi serta terbitnya sejumlah peraturan dianggap sebagai penyebab force majeure (keadaan memaksa) dalam kontrak pada umumnya. Menurut Pudjo, dalam KUHPerdata, terdapat pasal yang kerap digunakan sebagai acuan dalam pembahasan force majeure yakni Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata.

Kedua pasal itu menyebutkan unsur yang dapat menimbulkan force majeure, seperti adanya kejadian yang tidak terduga. Kemudian adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan, ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur, serta ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.

Menurutnya, berdasarkan sejumlah unsur dan produk peraturan perundang-undangan dalam rangka merespon situasi wabah pandemi Covid-19 dapat dijadikan sebagai alasan terjadinya force majeure secara umum. “Keadaan force majeure tersebut semakin diperkuat dengan kebijakan PSBB di hampir seluruh wilayah Indonesia,” katanya.

Pemetaan tidak tepat

Sementara Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar mengingatkan pemetaan masalah di awal pandemi Covid-19 menjadi penting. Sayangnya, pemerintah dan DPR dinilai tidak tepat memetakan masalah untuk menanggulangi pandemi Covid-19 berikut dampaknya. “Tapi, malah memilih mengundang influencer agar sektor pariwisata bergeliat. Sementara pandemi Covid-19 sudah memakan banyak korban,” kata Zainal.  

Dengan situasi darurat ini, presiden semestinya memiliki kewenangan yang “membengkak”. Artinya Presiden dapat membuat banyak terobosan di luar sistem biasanya diterapkan.  Pemerintah semestinya menerbitkan Perppu penanganan Covid secara menyeluruh termasuk pembatasan hak asasi. tetapi tidak dilakukan.

DPR pun semestinya bergerak cepat membuat UU terkait penanganan Covid-19 dalam waktu cepat, sehingga Presiden tak perlu menerbitkan Perppu sepanjang ada kemauan DPR membuat UU dalam waktu cepat. Merujuk Pasal 23 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pemerintah dapat mengajukan RUU apapun di luar Prolegnas sepanjang memenuhi kondisi dan syaratnya, salah satunya situasi kedaruratan.

Masak Pasal 23 ayat (2) UU 12/2011 digunakan untuk merevisi UU KPK. Logika itu dulu digunakan untuk merevisi UU KPK. Tapi justru alasan kondisi darurat itu tidak digunakan dalam kondisi pandemi saat ini,” kritiknya.

Tags:

Berita Terkait