Sejumlah Instrumen Hukum Atasi Dampak Pandemi Covid-19
Berita

Sejumlah Instrumen Hukum Atasi Dampak Pandemi Covid-19

Mulai Perppu, Perpres, Permenkes, hingga peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai upaya mengatasi dampak ekonomi. Namun, pemerintah dan DPR dinilai tidak tepat memetakan masalah untuk menanggulangi pandemi Covid-19 berikut dampaknya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

Misalnya, sejumlah jenis usaha yang tidak berkaitan langsung dengan kesehatan, pangan, dan keamanan mengalami penurunan pendapatan. Seperti usaha pariwisata, perhotelan, transportasi dan industri. Masalah lain muncul akibat turunnya pendapatan masyarakat, sulitnya pemenuhan kewajiban, seperti utang yang selama ini dijadikan satu dari sekian sumber permodalan dan biaya operasional. Ujungnya, kata Djoko, banyak terjadi perusahaan dan masyarakat mengalami gagal bayar.

Mantan Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN itu melanjutkan pemerintah telah menempuh sejumlah kebijakan untuk mengurangi dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19. Seperti, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.

Kemudian POJK Nomor 14/POJK.05/2020 tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank. Selain itu, Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 22/4/PBI/2020 tentang Insentif Bagi Bank yang Memberikan Penyediaan Dana untuk Kegiatan Ekonomi Tertentu Guna Mendukung Penanganan Dampak Perekonomian Akibat Wabah Virus Corona.

Berbekal sejumlah instrumen hukum itu, idealnya lembaga pembiayaan ataupun perbankan perlu mengedepankan penyelesaian secara musyawarah, khususnya pada debitur yang terdampak yang tak mampu membayar utangnya. “Karena pandemi Covid-19 melalui kebijakan antara lain restrukturisasi utang atau penjadwalan utang (resceduling),” ujarnya.

Di sisi lain, kata Djoko, situasi pandemi serta terbitnya sejumlah peraturan dianggap sebagai penyebab force majeure (keadaan memaksa) dalam kontrak pada umumnya. Menurut Pudjo, dalam KUHPerdata, terdapat pasal yang kerap digunakan sebagai acuan dalam pembahasan force majeure yakni Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata.

Kedua pasal itu menyebutkan unsur yang dapat menimbulkan force majeure, seperti adanya kejadian yang tidak terduga. Kemudian adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan, ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur, serta ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.

Menurutnya, berdasarkan sejumlah unsur dan produk peraturan perundang-undangan dalam rangka merespon situasi wabah pandemi Covid-19 dapat dijadikan sebagai alasan terjadinya force majeure secara umum. “Keadaan force majeure tersebut semakin diperkuat dengan kebijakan PSBB di hampir seluruh wilayah Indonesia,” katanya.

Tags:

Berita Terkait