Sejumlah Celah Hukum Perma Kejahatan Korporasi dari “Kacamata” Pengusaha
Berita

Sejumlah Celah Hukum Perma Kejahatan Korporasi dari “Kacamata” Pengusaha

Telah banyak ketentuan mengenai tindak pidana korporasi yang diatur di dalam undang-undang sektoral.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Director & Chief Legal Officer PT Adaro Energy, M. Syah Indra Aman, saat berbicara dalam seminaryang diselenggarakan KADIN, Kamis (16/11), di Jakarta. Foto: Istimewa
Director & Chief Legal Officer PT Adaro Energy, M. Syah Indra Aman, saat berbicara dalam seminaryang diselenggarakan KADIN, Kamis (16/11), di Jakarta. Foto: Istimewa

Di penghujung tahun 2016, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Peraturan MA (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi. Perma yang konon katanya sangat ditunggu-tunggu oleh aparat penegak hukum ini seolah mengobati “dahaga” atas ketiadaan regulasi yang mengatur tata cara untuk menjerat korporasi dan pengurusnya saat terlibat dalam satu tindak kejahatan.

 

Selama ini, maraknya kejahatan yang melibatkan korporasi sangat minim diproses hingga ke pengadilan lantaran belum ada hukum acara khusus terutama dalam merumuskan surat dakwaan bagi entitas korporasi. Padahal, lebih dari 70-an undang-undang telah menempatkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dipidana lantaran merugikan negara dan atau masyarakat, mulai pidana denda, uang pengganti, ganti rugi, hingga penutupan korporasi.

 

Director & Chief Legal Officer PT Adaro Energy, M. Syah Indra Aman, memberikan sejumlah catatan terkait substansi Perma tersebut. “Dunia usaha memerlukan kepastian hukum. Kepastian hukum ini antara lain diperoleh dari rumusan peraturan perundang-undangan yang jelas,” ujar Indra saat menjadi pembicara dalam seminar KADIN, “Memahami Tindak Pidana Korporasi & Konflik Regulasi Terkait Pengelolaan Keuangan BUMN”, Kamis (16/11), di Jakarta.

 

Indra menilai substansi Perma 13/2016 masih menyisakan berbagai celah hukum sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian terhadap iklim usaha. Catatan pertama Indra terhadap Perma 13/2016 ini adalah telah banyaknya ketentuan mengenai tindak pidana korporasi yang diatur di undang-undang sektoral lainnya. Selain UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Indra menyampaikan bahwa pelaku usaha telah memahami keberadaan UU lain yang juga mengatur tentang tindak pidana korporasi.

 

Indra menjabarkan beberapa UU sektoral yang sebelumnya telah mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Terdapat UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), UU Perikanan, UU Kehutanan, UU Perbankan, UU Persaingan Usaha. Selain itu, Indra mensinyalir masih ada UU lainnya yang mengatur mengenai korporasi sebagai pelaku tindak pidana.

 

Menyoroti persoalan definisi dan penggunaan istilah, Indra menyebutkan tentang masih beragamnya definisi dan istilah yang menunjukan entitas korporasi sebagaimana yang diatur di berbagai UU sektoral. UU No.31/1999 tentang pemberantasan korupsi menyebut, Korporasi adalah kumpulan orang atau harta kekayaan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Sedangkan UU No.4/2009 tentang Minerba menyebut, badan usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah negera kesatuan republik Indonesia.

 

(Baca Juga: AEI: Penetapan Tersangka Korporasi Ancaman Bagi Investor)

 

Kemudian, dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan menyebut, yang termasuk dalam badan hukum/badan usaha antara lain PT, CV, firma, koperasi dan sejenisnya. Undang-Undang 5/1999 tentang Persaingan Usaha menyebut, pelaku usaha adalah orang-perseorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan di wilayah NKRI. Sementara definisi korporasi menurut Perma 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi adalah, Korporasi adalah kumpulan orang atau harta kekayaan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.

 

Beragam istilah dan definisi ini, menurut Indra, memberikan pekerjaan rumah bagi pelaku usaha. Misalnya, untuk pelaku usaha yang ukuran usahanya besar dan mencakup berbagai sektor, tentunya mesti mempelajari dan mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pidana korporasi sesuai dengan ketentuan UU sektor lain. “Biasanya itu memang sulit dilakukan kecuali kita menugaskan tim khusus untuk melakukan penelitian,” ujarnya.

 

Selanjutnya, terkait ancaman sanksi pidana dalam tindak pidana korporasi yang berbeda-beda dan karena banyak UU sektoral yang mengatur. Ada yang berupa denda, ada pula denda beserta pidana tambahan. Hal ini bisa dilihat seperti dalam UU Tipikor, pidana terhadap korporasi dan atau pengurusnya, khusus terhadap korporasi hanya berupa denda ditambah 1/3. Dalam UU Anti Pencucian Uang, sanksinya khusus untuk pidana korporasi berupa denda dengan maksimum Rp 100 miliar dan dapat dijatuhkan pidana tambahan misalnya pencabutan izin. Apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan perampasan harta kekayaan Korporasi atau personil pengendalli korporasi. Sementara dalam UU Persaingan Usaha, pidana terhadap pelaku usaha berupa denda dan dapat dijatuhkan pidana tambahan misalnya larangan menjadi direksi/komisaris.

 

(Baca Juga: "Kunci" KPK Buktikan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi)

 

Ketidakseragaman lainnya adalah pidana tambahan yang diatur dalam masing-masing UU berbeda-beda. Ada yang mengatur pidana pengganti denda (misalnya, perampasan aset) dan ada yang tidak mengatur pidana pengganti denda.  “Kalau seperti ini jadi kita melihat bahwa belum ada kesatuan konsep dalam membentuk undang-undang. Saya kira ini untuk kepastian kita semua perlu untuk diseragamkan,” terang Indra.

 

Selanjutnya, terkait adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur aspek materil dalam Perma Korporasi. Misalnya, pengertian tindak pidana korporasi, pertanggungjawaban korporasi dalam hal pengurus meninggal dunia, pertanggungjawaban grup atau induk korporasi, keterangan korporasi merupakan alat bukti yang sah, harta kekayaan korporasi dapat dikenakan penyitaan, daluarsa menuntut dan menjalankan pidana, serta penyitaan dan pelelangan harta dalam hal korporasi tidak membayar denda, uang pengganti, ganti rugi, dan restituisi.

 

“Jika diperhatikan, konsiderans Perma Korporasi, maka ditegaskan bahwa yang ingin diatur hanyalah hukum formil atau hukum acara saja,” ujar Indra.

 

Menanggapi hal ini, mantan anggota perumus Perma 13/2016, yang juga merupakan Kasubdit Peran HAM Direktorat Penuntutan, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Undang Mugopal menekankan bahwa manfaat dari adanya Perma 13/2016 adalah menjadi acuan dalam hukum acara seandainya penyidik hendak melakukan penyidikan terhadap subyek hukum korporasi.

 

“Harus kita jadikan terobosan karena sebelumnya tidak jelas hukum acaranya dan hanya diatur di KUHAP, tapi dengan Perma 13/2016 ini menjadi jelas. Minimal ini menjadi kompas bagi para penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dengan pelaku yaitu korporasi. Jadi tidak gamang lagi dengan adanya Perma. Jadi kendala hukum acara itu bisa teratasi,” ujar Undang.

 

Terkait problem substansi hukum materil, Undang menegaskan bahwa tujuan dari Perma tersebut adalah untuk memenuhi hukum acara. “Sebenarnya Perma ini kan orientasinya bukan ke hukum materil tapi hukum acara. Yang menyebutkan subjek hukum korporasi itu kan banyak UU sektoral. Sehingga untuk menyamakan persepsi mengenai korporasi itu kita gunakanlah Perma Korporasi ini,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait