Sejumlah Catatan Soal Vonis 12 Tahun Juliari Batubara
Terbaru

Sejumlah Catatan Soal Vonis 12 Tahun Juliari Batubara

Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor seharusnya diterapkan dalam kasus Juliari; ada kekurangan selisih uang pengganti yang diputuskan; hingga cacian masyarakat tidak perlu dimasukan dalam hal-hal yang meringankan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara divonis 12 tahun penjara dalam kasus bansos. Foto: RES
Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara divonis 12 tahun penjara dalam kasus bansos. Foto: RES

Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra mengatakan putusan perkara korupsi bantuan sosial (Bansos) saat pandemi Covid-19 yang menjerat mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara menarik diulas. Dia menilai jaksa dan hakim telah mengabaikan rumusan khusus Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor).

Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.

“Rumusan norma pasal itu bersifat lex specialis dan telah dijelaskan secara limitatif, terukur, dan obbjektif. Semestinya Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor ini menjadi alasan memperberat penjatuhan pidana,” kata Azmi Syahputra dalam keterangannya kepada Hukumonline, Rabu (25/8/2021).

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter”.

Dia menilai kasus yang menjerat Juliari merupakan perkara korupsi Bansos yang dilakukan di tengah situasi wabah bencana dan kondisi perekonomian masyarakat hampir lumpuh yang seharusnya bisa menjadi alasan majelis hakim memperberat hukuman. Apalagi, perbuatan tersebut berlanjut dan disengaja dengan perencanaan sistematis untuk memperkaya diri.

“Tampaknya jaksa dan hakim tidak berusaha menggali dan terkesan mengabaikan rumusan khusus Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikoryaitu bila korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu dalam hal ini dilakukan pada saat bencana semestinya penjatuhan hukuman terberat (mati, red) bagi pelakunya,” tegasnya. (Baca Juga: Eks Mensos Juliari Divonis 12 Tahun Penjara dalam Perkara Bansos)

Dia menjelaskan pandemi Covid-19 menjadi bencana nasional (nonalam) berdasarkan keputusan pemerintah. Karena itu, tak perlu penafsiran soal apakah pandemi Covid-19 kategori bencana nasional atau bukan. “Sia-sia saja ada Pasal 2 ayat (2) kalau jaksa dan hakimnya tidak berani dan tidak konsisten menerapkan ketentuan khusus itu,” lanjutnya.

Meski mengabaikan Pasal 2 ayat (2) UU 13/1999, penegakan hukum terhadap pelaku korupsi Bansos harus bijak. Misalnya, jaksa dan hakim wajib memastikan hukuman harus memberikan efek jera dengan merampas aset terdakwa dan memiskinkan pelaku korupsi. Dengan hukuman ganda tersebut menjadi lebih tepat bila korupsi dianggap sebagai musuh bersama.

Menurutnya, bila hanya mengejar hukuman pidana badan dianggap tak efektif dan tidak menimbulkan efek jera. Seperti uang pengganti dikurangi hakim lebih dari Rp3 miliar. Sebab terdakwa disebut menerima Rp32,4 miliiar. Sementara uang yang disita penyidik sebesar Rp14,5 miliar. Sementara dalam putusan hakim memerintahkan terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar. Dengan begitu, masih terdapat selisih Rp3,4 miliar lagi yang belum dibayar.

“Tentang pengurangan uang pengganti ini harus terlihat dan muncul di pertimbangan hakim dalam putusan. Konsekuensi hukumnya kalau tidak ada dalam pertimbangan hakim semestinya putusan tersebut batal dan majelis hakim dapat dianggap tidak profesional karena memutus tanpa ada dasar pertimbangan hukum yang jelas.”

Lebih lanjut Azmi yang juga Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti menilai jaksa semestinya sejak awal bisa menjerat dengan dakwaan dan tuntutan berlapis dengan pasal pencucian uang (TPPU). Dengan sendirinya, tindakan tersebut dapat memiskinkan pelaku koruptor agar menimbulkan jera. “Dengan putusan yang berdampak pada kemiskinan financial dalam diri pelaku, sebagai konsekuensi dari hal-hal yang memberatkan penjatuhan pidana bagi pelaku korupsi,” katanya.

Tak perlu jadi hal meringankan

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad menilai hukuman majelis hakim terhadap Juliari Batubara belum memberi efek jera. Bahkan, pidana tambahan berupa 14 miliar belum cukup untuk memulihkan kerugian negara. Karena itu, hukuman tersebut belum mencerminkan rasa keadilan masyarakat meski vonisnya di atas tuntutan jaksa atau ultra petita.

Suparji juga menyoroti soal pertimbangan meringankan Majelis Hakim bagi Juliari. Menurut Suparji, cacian masyarakat sebenarnya tak perlu menjadi hal yang meringankan. Sebab, cacian masyarakat merupakan sanksi sosial dari masyarakat bagi pelaku korupsi sebagai sebuah keniscayaan akibat kekecewaan masyarakat di tengah pandemi. ”Jengahnya masyarakat dapat dimaklumi,” kata Suparji.

Menurutnya, cacian masyarakat semestinya memberi trigger bagi majelis hakim memasukan dalam pertimbangan hal-hal yang memberatkan terdakwa. Sebab, hal tersebut menjadi fakta masyarakat merasa dirugikan atas perilaku terdakwa, bukan malah menjadi pertimbangan hal meringankan majelis hakim bagi Juliari.

Suparji melanjutkan semua kepentingan pihak masuk dalam ranah hakim untuk dipertimbangkan termasuk kepentingan negara. Begitupula kepentingan terdakwa dipertimbangkan dengan memperhatikan asas, teori, dan norma hukum yang berlaku. Dalam kasus korupsi Bansos, negara yang paling dirugikan. Dia menduga Juliari bakal mengajukan banding yang menjadi hak terdakwa. “Menarik jika  banding, akan ‘disunat’ atau tidak?,” katanya.

Seperti diketahui, Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara divonis 12 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus bansos Covid-19. Putusan tersebut dibacakan dalam persidangan oleh Hakim Pengadilan Tipikor Sidang yang dipimpin oleh M Damis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin (23/8)/2021).

Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf b juncto Pasal 18 atau Pasal 11 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Vonis terhadap Juliari ini lebih berat satu tahun dibandingkan tuntutan Jaksa KPK. Dalam tuntutan sebelumnya, JPU KPK menuntut 11 tahun penjara terhadap Juliari karena terbukti bersalah menerima suap dalam penyediaan bansos Covid-19 di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi (Jabodetabek).

Vonis 11 tahun tersebut dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp 500 juta, subsidair 6 bulan kurungan. Dalam pembacaan putusan, hakim menilai Juliari melakukan “lempar batu sembunyi tangan” karena menyangkal perbuatan menerima suap senilai Rp32,482 miliar dalam pengadaan Bansos di wilayah Jabodetabek.

Tags:

Berita Terkait