Sejumlah Catatan Soal Pemeriksaan Keberatan Putusan KPPU di UU Cipta Kerja
Berita

Sejumlah Catatan Soal Pemeriksaan Keberatan Putusan KPPU di UU Cipta Kerja

Perpanjangan pemeriksaan keberatan di PN Niaga dinilai tepat mengigat perkara persaingan usaha yang pelik. Namun di sisi lain dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES

UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberlakukan peralihan upaya keberatan terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ke Pengadilan Niaga. Pada Pasal 44 UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, upaya keberatan atas putusan KPPU diajukan ke Pengadilan Negeri.

Secara spesifik peralihan upaya keberatan atas putusan KPPU diatur dalam PP No.44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. PP 44/2021 merupakan aturan turunan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 118 dan Pasal 185 huruf b UU Ciptaker.

Partner Oentoeng Suria & Partners (OSP) Prawidha Murti mengatakan Pasal 118 dari Omnibus Law merubah secara signifikan Pasal 44 dan 45 dari UU Persaingan Usaha, termasuk diantaranya untuk mengajukan banding atas putusan KPPU ke Pengadilan Niaga yang relevan.

Untuk membantu hakim-hakim di Pengadilan Niaga melaksanakan perubahan tersebut, Mahkamah Agung pada 2 Februari 2021 mengeluarkan Surat Edaran No. 1 Tahun 2021 yang menyatakan 4 (empat) hal berikut yakni, pertama pengadilan Negeri tidak lagi menerima perkara banding atas putusan KPPU mulai 2 Februari 2021. kedua, Pengadilan Negeri yang telah menerima perkara banding atas putusan KPPU sebelum 2 Februari 2021 akan tetap melanjutkan dan menyelesaikan perkara tersebut.

Ketiga, Pengadilan Niaga dapat menerima, memeriksa dan memutuskan perkara banding atas putusan KPPU mulai 2 Februari 2021. Dan keempat, kecuali ditentukan secara khusus dalam Omnibus Law, prosedur melaksanakan banding pada Pengadilan Niaga akan mengikuti sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2019.

Merujuk pada poin ke-empat diatas, Prawidha menilai bahwa Omnibus Law mengamanatkan dikeluarkannya peraturan pemerintah yang dapat dianggap sebagai ketentuan khusus terkait prosedur banding putusan KPPU di Pengadilan Niaga. (Baca: Konsep Kemudahan Berusaha Untuk UMKM di Rezim UU Ciptaker)

Tak hanya dari sisi upaya keberatan, PP 44/2021 juga melakukan perubahan terkait jangka waktu pemeriksaan keberatan. Dalam Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2019 (Perma 3/2019), Pemeriksaan keberatan dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan. Sementara PP 44/2021 mengatur proses banding pada Pengadilan Niaga dilaksanakan dalam kurun waktu 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan paling lama, yang dilaksanakan berdasarkan hukum acara perdata.

Menurut Prawidha, tambahan jangka waktu ini dapat berarti memberikan hakim pengadilan niaga untuk memeriksa dengan lebih maksimal atas perkara yang diperiksa (mengingat perkara persaingan usaha sarat dengan kegiatan usaha dan kondisi pasar yang kompleks). Namun di sisi lain dia menilai hal ini dapat memberikan ketidakpastian hukum.

“Secara bersamaan, pemberian tambahan jangka waktu juga dapat mengakibatkan perkara yang berjalan lebih lama sehingga dapat memberikan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha dan pihak yang terkaitnya dalam jangka waktu hingga satu tahun tersebut. Biasanya perkata di PN Niaga itu cepat,” kata Prawidha dalam Webinar Hukumonline “Aturan Turunan UU Cipta Kerja: Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Kamis (8/4).

Penerapan aturan tersebut, kata Prawidha memiliki tantangan baru. Dengan adanya perpindahan pengajuan keberatan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga dalam Omnibus Law dan PP 44/2021 memunculkan adanya kekhawatiran tersendiri akan kinjera Pengadilan Niaga yang terbatas hanya terdapat di 5 kota di Indonesia. Jika dibandingkan, pada tahun 2018 sendiri, Mahkamah Agung melaporkan adanya 412 pengadilan Negeri di Indonesia (Mahkamahagung.co.id), sedangkan Pengadilan Niaga hanya 5 pengadilan.

Kemudian PP 44/2021 memperpanjang jangka waktu pemeriksaan keberatan (di Pengadilan Niaga) hingga 12 (dua belas) bulan paling lama. Hal ini dapat memperlambat proses pencapaian putusan inkracht berkenaan dengan sengketa yang berada di lingkup persaingan usaha.

Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sutrisno Iwantono mendukung keputusan pemerintah yang mengalihkan upaya keberatan putusan KPPU ke Pengadilan Niaga. Namun dia mengkritisi beberapa hal, pertama mengingat jumlah Pengadilan Niaga yang terbatas, Iwan meminta hakim Pengadilan Niaga untuk professional dalam menangani perkara-perkara persaingah usaha.

Kedua, terkait adanya pemeriksaan aspek formiil maupun materiil atas putusan KPPU, Iwan menilai penyelesaian perkara menjadi lebih fair dan adil. Hal ini pun, lanjutnya, membuat KPPU menjadi lebih professional.

Ketiga, Iwan mendukung pengaturan perpanjangan masa pemeriksaan upaya keberatan atas putusan KPPU di Pengadilan Niaga. Menurutnya perkara terkait persaingan usaha adalah perkara yang pelik sehingga membutuhkan waktu lebih panjang.

Keempat, dibutuhkan Perma untuk menjalankan Pasal 19 ayat (4) terkait tata cara pemeriksaan keberatan di Pengadilan Niaga yang dilakukan berdasarkan hukum acara perdata.

“Penyelesaian keberatan di Pengadilan Niaga jauh lebih bagus. Kalau misalkan jumlahnya kurang, ya harus ditambah. Di Tokyo, Jepang upaya keberatan itu hanya ditangani Pengadilan Niaga Tokyo, tidak ada lagi pengadilan di daerah. Saya harapkan juga ada kamar khusus persaingan usaha dan akan jauh professional jika dibandingkan perkara ditangani oleh hakim yang misalnya nanganin copet dan sebagainya,” kata Iwan pada acara yang sama.

Sementara itu, Ketua KPPU Kodrat Wibowo mengatakan keterbatasan Pengadilan Niaga menjadi tantangan tersendiri bagi KPPU. Namun hal tersebut bisa dilakukan dengan penambahan jumlah PN Niaga.

Di sisi lain Kodrat menambahkan bahwa UU Ciptaker dan PP 44/2021 tidak hanya merevisi terkait upaya keberatan atas putusan di KPPU, tetapi juga melakukan revisi terhadap pengenaan sanksi denda. PP 44/2021 mengatur sanksi denda maksimal 50% keuntungan bersih atau maksimal 10% total penjualan pada pasar bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran.

Pasal 12:

  1. Tindakan administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayaL (2) huruf g merupakan denda dasar, dan pengenaan tindakan administratif berupa denda oleh Komisi dilakukan berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
  1. paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari keuntungan bersih yang diperoleh Pelaku Usaha pada Pasar Bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang; atau
  2. paling banyak sebesar 10% (sepuluh persen) dari total penjualan pada Pasar Bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang.
  1. Sebagai jaminan pemenuhan atas putusan Komisi yang memuat tindakan administratif berupa denda, terlapor wajib menyerahkan jaminan bank yang cukup, paling banyak 20% (dua puluh persen) dari nilai denda, paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan Komisi.

Meski mengedepan sanksi administrasi, Kodrat menegaskan bahwa PP 44/2021 juga mengatur tentang sanksi pidana. Sanksi pidana akan dikenakan kepada pelaku usaha baik yang tidak kooperatif maupun terhadap pelanggaran hukum persaingan usaha.

Tags:

Berita Terkait