Sejumlah Alasan UU ITE Perlu Diubah Secara Total
Utama

Sejumlah Alasan UU ITE Perlu Diubah Secara Total

Untuk memastikan pengaturan yang harmonis dan minim risiko, terlebih dahulu pemerintah dan DPR merumuskan arah dan politik hukum pengaturan teknologi informasi dan komunikasi ke depan. Mulai perbaikan sejumlah ketentuan pidana, khususnya Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE yang sebenarnya masuk kualifikasi cyber-enabled crime; pengaturan kembali tata kelola konten internet; tanggung jawab platform digital.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES

Desakan agar pemerintah berinisiatif merevisi UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU No.19 tahun 2016 (UU ITE) terus menguat. Tak hanya datang dari kalangan masyarakat sipil, sejumlah fraksi partai di DPR pun menyuarakan hal serupa. Selain mengusulkan, Pemerintah pun harus mendorong revisi UU ITE masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021.

“Pemerintah perlu melakukan revisi terhadap UU ITE,” ujar Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (23/2/2021) kemarin. (Baca Juga: Pemerintah: Kepastian Revisi UU ITE Bergantung Hasil Tim Kajian)

Aziz memahami dinamika yang berkembang di masyarakat soal penerapan UU ITE yang jauh dari semangat awal pembentukan. Polemik hukum yang mencuat terkait hak kebebasan berpendapat dan berekpresi di depan muka umum terutama melalui dunia maya atau ruang digital. Terlebih, belum baiknya literasi digital di tengah masyarakat. Hal ini mengindikasikan sejumlah kasus terkait tafsir hukum pasal karet dalam UU ITE.

Ketidaktepatan penerapan pasal karet menjerat orang yang diduga melanggar UU ITE malah berakibat munculnya persoalan sosial (pembelahan masyarakat, red). Itu sebabnya, pemerintah perlu segera merevisi UU ITE. Dia menilai kegaduhan yang terjadi di media sosial akibat UU ITE terlampau banyak digunakan masyarakat saling melapor ke kepolisian.

“Bahkan mengakibatkan banyak orang yang sebenarnya korban dan tidak bersalah justru dilaporkan,” kata Aziz.

Bagi Aziz, sejumlah pasal yang kerap digunakan masyarakat melapor ke kepolisian antara lain Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Padahal, berkomunikasi dan memperoleh informasi dalam mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak mencari, memperoleh hingga menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia dijamin Pasal 20, Papsal 21, Pasal 28F, dan Pasal 28J UUD Tahun 1945.

Politisi Partai Golkar itu menilai secara yuridis normatif, penyebaran informasi perlu melihat konvergensi dari empat bidang ilmu lain, selain teori hukum. Seperti keilmuan bidang teknologi, telekomunikasi, informasi, dan komunikasi. Dalam ini meliputi UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU ITE; UU No.14 Tahun 2008 tentang Tentang Keterbukaan Informasi Publik; UU No. 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial.

Terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menilai kebutuhan revisi UU ITE menjadi momentum memperbaharui seluruh materi UU ITEdengan beberapa alasan. Pertama, perbaikan sejumlah ketentuan pidana. Khususnya Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE yang sebenarnya masuk kualifikasi cyber-enabledcrime atau kejahatan konvensional yang diekstensifikasi menggunakan komputer.

Tapi, perumusannya dipersamakan dengan cyber-dependent crime atau kejahatan yang muncul karena adanya teknologi komputer. Sebab, proses pembuktian keduanya setiap unsurnya berbeda-beda. Karena itu, perumusannya jenis pasal ini semestinya dibedakan. Terbukti, dalam penerapan UU ITE kerap muncul persoalan terutama pasal-pasal pidana cyber-enabled crime. “Untuk ketentuan pidana cyber-dependent crime (Pasal 30-Pasal 35) relatif tidak ada permasalahan,” kata dia.

Kedua, pengaturan kembali tata kelola konten internet. Sebab, selama ini lebih menekankan pada aspek pembatasan sebagaimana diatur Pasal 40 ayat (2) UU ITE. Perumusan Pasal 40 ayat (2) huruf b UU ITE memberi wewenang bagi pemerintah untuk melakukan pembatasan terhadap konten internet yang melanggar peraturan perundang-undangan (illegal content).

Sayangnya, dalam pengaturan pasal tersebut belum secara jelas menyebutkan jenis-jenis konten yang melanggar undang-undang seperti apa dan jenis bahaya (harmfull) apa yang mengancam? Selain itu, UU ITE belum mengatur prosedur dalam melakukan pembatasan. Termasuk peluang untuk melakukan pengujian terhadap tindakan pembatasan tersebut (judicial oversight).

Mengacu pada prinsip dan instrumen HAM, setiap tindakan pembatasan terhadap hak, termasuk di dalamnya hak atas informasi, setidaknya harus memenuhi tiga hal yakni diatur oleh hukum (prescribed by law); untuk suatu tujuan yang sah (legitimate aim); dan tindakan itu betul-betul mendesak diperlukan (necessity). “Prinsip-prinsip pembatasan inilah yang semestinya dirumuskan secara baik dan ketat dalam UU ITE guna menghindari praktik pembatasan konten (blocking and filtering) yang sewenang-wenang,” paparnya. 

Ketiga, terkait dengan tanggung jawab platform, UU ITE juga belum memadai menjadi rujukan dalam pengaturan platform digital dengan berbagai model bisnisnya. Seperti aggregationplatformssocial platform, hingga mobilization platforms. Menurut Wahyudi, kondisi ini sering memunculkan perdebatan sektoralisme pengaturan yang berujung pada kerugian pengguna untuk dapat menikmati secara penuh hak atas informasi.

Oleh sebab itu semestinya proses amandemen UU ITE dapat mengakomodasi pengaturan prinsip-prinsip penting mengenai platform digital,” sarannya.

Lebih lanjut Wahyudi berpendapat, perlu memastikan aturan yang dirumuskan tidak kaku, sehingga mampu memberikan ruang untuk setiap invensi dan inovasi teknologi. Serta dapat secara baik memfasilitasi pengembangan setiap kreasi dan inovasi berbasis digital. Selain itu, pengaturan platform digital, prinsip netralitas jaringan (net-neutrality) juga harus menjadi elemen penting yang diperhatikan.

Berdasarkan sejumlah catatan ini, revisi UU ITE tak dapat semata-mata dilakukan secara terbatas, tapi dalam rencana revisi secara menyeluruh (total). Belum lagi, dalam beberapa tahun belakang, terdapat proses legislasi yang bersinggungan dengan UU ITE. Seperti pembahasan RUU Pelindungan Data Pribadi, RUU Keamanan Siber, amandemen terhadap UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi.

Menurutnya, perlu memastikan pengaturan yang harmonis dan minim risiko bagi pemangku kepentingan, dengan terlebih dahulu pemerintah dan DPR merumuskan arah dan model politik hukum pengaturan teknologi informasi dan komunikasi ke depan. Seperti apakah tetap dengan model penyatuatapan melalui UU ITE yang berlaku yang mengatur berbagai materi. Mulai sistem elektronik, transaksi elektronik, hingga kejahatan elektronik.  

Atau bahkan mungkin mengembangkan model dan pendekatan yang lain dengan tetap mempertimbangkan aspek konvergensi dari teknologinya. “Prinsipnya, dalam merespon cepatnya inovasi teknologi, hukum perlu bersifat supel, yang berarti mampu mengantisipasi setiap perubahan di masa depan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait