Sejumlah Alasan Pencemaran Nama Baik di Dunia Maya Perlu Dicabut dari UU ITE
Utama

Sejumlah Alasan Pencemaran Nama Baik di Dunia Maya Perlu Dicabut dari UU ITE

Presiden meminta jajaran Polri mesti menerjemahkan pasal-pasal UU ITE secara hati-hati bila menindaklanjuti laporan masyarakat karena penerapan UU ITE ini menimbulkan ketidakadilan. Karena itu, sejumlah kalangan mendorong agar UU ITE segera direvisi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi risiko hukum penggunaan media sosial. BAS
Ilustrasi risiko hukum penggunaan media sosial. BAS

Sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2008 sebagaimana diperbaharui dengan UU No.19 tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) kebebasan berpendapat dinilai semakin terkungkung. Sebab, seseorang/sekelompok orang dengan mudahnya melaporkan seseorang yang dianggap mencemarkan nama baik atau penghinaan di dunia maya. Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya meminta Polri agar tidak sembarangan menerima dan menindaklanjuti dugaan jerat pidana UU ITE ini.  

“Saya meminta kepada Kapolri, jajarannya lebih selektif, sekali lagi lebih selektif, menyikapi dan menerima pelaporan dugaan pelanggaran UU ITE,” ujar Presiden Jokowi di Istana Negara, sebagaimana disiarkan di Youtube Sekretariat Presiden, Senin (15/2) malam kemarin.

Presiden paham betul dengan meneruskan semua laporan dugaan pelanggaran UU ITE ujungnya malah berdampak terhadap over kapasitas lembaga pemasyarakatan (Lapas). Sebab itulah jajaran Polri di seluruh Indonesia tak boleh serampangan menindaklanjuti semua laporan dugaan pelanggaran UU ITE ini. “Selektif menjadi kunci yang harus dilakukan aparat kepolisian di lapangan,” tegasnya.

Dia menilai banyaknya laporan masyarakat yang menjadikan UU ITE sebagai rujukan untuk memproses hukum seseorang berujung tak memenuhi rasa keadilan. Padahal, semangat dibentuknya UU ITE ini untuk menjaga ruang dunia maya agar tetap bersih, beretika, dan produktif. “Penerapan UU ITE tak boleh menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat,” kata dia.

Untuk itu, jajaran Polri mesti menerjemahkan jerat pasal-pasal UU ITE secara hati-hati bila ingin menindaklanjuti laporan masyarakat. “Boleh jadi pasal-pasal dalam UU ITE yang dijadikan rujukan terhadap pelaporan bersifat multitafsir. Karenanya, perlu dibuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE biar jelas.”

Mantan Gubernur DKI Jakarta Periode 2012-2014 itu meminta Kapolri sebagai pucuk pimpinan meningkatkan pengawasan terhadap jajaran di bawahnya. Setidaknya agar penerapan UU ITE tetap konsisten, akuntabel, dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Dengan begitu, ruang dunia maya sebagai media dalam menyampaikan pendapat sebagai bagian dari demokrasi tetap terjaga.

“Negara kita adalah negara hukum yang harus menjalankan hukum yang seadil-adilnya, melindungi kepentingan yang lebih luas, sekaligus menjamin rasa keadilan masyarakat,” katanya. (Baca Juga: Ada Ketimpangan dalam Penerapan Pidana UU ITE)

Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo berjanji bakal memenuhi permintaan Presiden Jokowi. Menurutnya, jajaran Polri bakal selektif menerapkan pasal-pasal UU ITE yang sering dijadikan rujukan dalam pelaporan pencemaran nama baik di dunia maya. Ini sebagai bagian menghindari upaya saling lapor menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap pasal karet sekaligus menghindari upaya kriminalisasi. 

Jenderal polisi bintang empat itu bakal memerintahkan jajarannya di bawah agar mengedepankan aspek edukasi dan upaya persuasif serta menerapkan langkah restoratif justice agar penggunaan ruang dunia maya menjadi lebih sehat. Namun begitu, Lisyto meminta masyarakat dunia maya mematuhi aturan dan etika yang berlaku ketika berselancar di jagad media sosial. “Kami upayakan langkah-langkah yang bersifat restorative justice,” ujar mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) itu.

Revisi

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, Airlangga Herlambang P. Wiratraman menilai pembaharuan politik hukum terhadap UU ITE menjadi keharusan. Dia pun menyarankan agar pidana pencemaran nama baik di ranah daring dapat dihapuskan dari UU ITE nantinya dengan beberapa alasan. Pertama, sejumlah kasus dugaan pencemaran nama baik lebih banyak dilatarbelakangi motif balas dendam.

Kedua, kasus pencemaran nama baik kecenderungan digunakan sebagai upaya membungkam kritik. Ketiga, pentingnya melindungi kebebasan dalam menjaga negara hukum dan demokrasi. Apalagi banyak sudah negara yang menghapus pidana pencemaran nama baik. Keempat, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah merekomendasikan penghapusan pidana pencemaran nama baik ini.

Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar menilai perlunya pengaturan jaminan penggunaan internet untuk kebebasan berpendapat. Karenanya, menjadi penting untuk merevisi UU 19/2016 untuk mendudukkan aturan tersebut secara tepat dan proporsional. Pasalnya. UU ITE merupakan aturan ‘sapujagat’, yang membutuhkan pengaturan lebih detil. 

Bahkan mungkin, perlu juga dipecah ke dalam beberapa UU, sehingga penerapannya tidak muncul persoalan akibat fleksibilitas rumusan aturannya. Selain itu, penegakan hukum harus selektif terhadap sejumlah kasus yang mengancam kebebasan sipil. “Perlu panduan detil terhadap penerapan pasal-pasal pidana yang terkait teknologi informasi dan komunikasi ini,” kata Wahyudi Djafar dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu.

Sebelumnya, Direktur LBH Pers Ade Wahyudi menilai penerapan UU ITE telah memakan banyak korban. Korbannya bukan hanya masyarakat biasa, tetapi juga kalangan jurnalis dan akademisi, bahkan aktivis buruh yang melakukan advokasi terhadap pekerja. Ancaman bukan hanya penggunaan pasal-pasal pidana dalam UU ITE, tetapi juga serangan siber. Misalnya serangan siber yang menimpa beberapa media massa akibat pemberitaan.

Ironisnya, sejumlah kasus serangan siber yang menimpa aktivis dan media massa tak berhasil diungkap hingga mendekati akhir tahun 2020. Beda halnya dengan kasus-kasus yang menimpa instansi atau tokoh pemerintah, penanganannya cepat dilakukan. Itu sebabnya, salah satu kritik Ade Wahyudi adalah ketidakadilan dalam penerapan UU ITE ini. “Ada ketimpangan penerapan pidana UU ITE,” ujar Direktur LBH Pers ini dalam webinar ‘Pencemaran Nama Baik dan Ujaran Kebencian dalam Satu Dekade UU ITE’, Selasa (22/12/2020) lalu.

Berdasarkan pantauan LBH Pers, dua pasal yang paling krusial dan menjerat banyak orang adalah Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Pasal 27 ayat (3) menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal 28 ayat (2) menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Wakil Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Era Purnama Sari, lebih keras melayangkan kritik terhadap implementasi UU ITE selama ini. “Seharusnya UU ITE menjadi pendorong kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi justru menjadi teror bagi banyak orang,” tegasnya dalam webinar yang sama. Mantan Direktur LBH Padang itu khawatir kecenderungan implementasi UU ITE yang multitafsir dan politis.

Misalnya dapat dilihat dari penggunaan UU ITE untuk membungkam pihak yang melayangkan kritik (termasuk aktivis dan jurnalis) dan lawan politik. Bahkan, pejabat yang sedang mengemban jabatan pun menggunakan UU ITE untuk melaporkan orang yang melayangkan kritik terhadap kebijakannya.

Kecenderungan lain meletakkan pasal pencemaran nama baik sebagai delik formil, sehingga akibat dari perbuatan itu tidak menjadi unsur yang harus dibuktikan. Dalam beberapa kasus, pengertian “golongan” dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE dimaknai secara luas meliputi partai politik dan ikatan profesi dokter. Perluasan ini mendapat legitimasi dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUU-XV/2017, yang intinya menyatakan antar golongan tidak hanya meliputi suku, agama dan ras, tetapi melebihi dari itu yaitu semua entitas yang tidak terwakilkan atau terwadahi oleh suku, agama dan ras.

Perluasan penafsiran dalam praktik itulah yang pada akhirnya menyasar banyak orang. Pemahaman aparat penegak hukum, khususnya hakim, terhadap pencemaran nama baik dan penghinaan pun beragam. Salah satu yang sering dilupakan adalah unsur tujuan; apakah orang yang mengeluarkan pernyataan atau membuat tulisan benar-benar bertujuan melakukan penghinaan atau pencemaran?

Cara berpikir ini dapat dilihat dalam putusan PK perkara Prita Mulyasari. Prita menyampaikan keluhan mengenai pelayanan salah satu rumah sakit, kemudian dilaporkan ke polisi. Putusan Peninjauan Kembali (No. 225 PK/Pid.Sus/2011) menyebutkan hakim kasasi telah melakukan kekeliruan yang nyata, karena Prita sama sekali tidak memiliki tujuan untuk melakukan pencemaran. Era Purnama menilai, dalam kasus ini, hakim meletakkan pencemaran sebagai tujuan untuk dapat dipidananya seseorang.

Tags:

Berita Terkait