Sejumlah Alasan LBH Jakarta Minta Pemerintah Cabut Aturan PSE Lingkup Privat
Utama

Sejumlah Alasan LBH Jakarta Minta Pemerintah Cabut Aturan PSE Lingkup Privat

Sekaligus mencabut pemblokiran terhadap 8 laman dan aplikasi daring. Sebab, pemblokiran dilakukan secara sewenang-wenang tidak melalui putusan pengadilan sehingga menghilangkan prinsip-prinsip HAM.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pemblokiran yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terhadap laman dan aplikasi yang belum melakukan pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) menuai sorotan publik. LBH Jakarta mencatat per 30 Juli 2022 Kominfo memblokir sedikitnya 8 laman dan aplikasi dengan lalu lintas (traffic) tinggi yakni PayPal, Yahoo, Epic Games, Steam, Dota, Counter Strike, Xandr.com, dan Origin (EA).   

Pemblokiran dilakukan dengan dalih tidak terdaftar resmi PSE Lingkup Privat sebagaimana diatur Peraturan Menteri Kominfo No 10/ 2021 atas Perubahan Menkominfo No 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, menilai pemblokiran itu sebagai otoritarianisme yang memanfaatkan kuasa digital dalam rangka mengendalikan teknologi sebagai alat melindungi kepentingan (digital authoritarianism). Dia mencatat sedikitnya ada 6 hal terkait pemblokiran itu.

Pertama, pemblokiran itu berdampak serius terhadap HAM, terutama hak untuk berkomunikasi serta memperoleh informasi, hak atas kebebasan berekspresi dan hak atas privasi. Hal tersebut diatur UUD NKRI 1945, Deklarasi Universal HAM, Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Serta dapat juga melanggar hak lain seperti mata pencaharian dalam kaitan dengan hak atas penghidupan yang layak, hak untuk bahagia, mengembangkan diri, dan hak lainnya.

Baca Juga:

Kedua, pemblokiran (pembatasan HAM) yang dilakukan Kominfo menurut Arif dilakukan secara sewenang-wenang karena tidak melalui putusan pengadilan. Sehingga menghilangkan prinsip transparansi, keadilan, dan perlakuan setara berdasarkan prinsip pembatasan yang diizinkan dalam standar dan mekanisme pembatasan HAM.

LBH Jakarta menilai pembatasan sistem internet dan aplikasi harus memenuhi syarat setidaknya ditetapkan oleh UU (prescribed by law). Kemudian dilakukan dalam masyarakat yang demokratis, ketertiban umum, kesehatan masyarakat, moral publik, keamanan nasional, keselamatan publik, hak dan kebebasan orang lain atau hak dan reputasi orang lain.

Selain itu, harus ada tujuan yang sah dan harus dibuktikan bahwa pembatasan itu diperlukan secara proporsional. Semua syarat pembatasan itu harus dibuktikan melalui forum yang transparan, keadilan, dan perlakuan yang setara di pengadilan karena beban justifikasi atau pembuktian pembatasan bertumpu pada negara.

“Permenkominfo No.5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat tidak memiliki legitimasi yang sesuai standar dan mekanisme pembatasan HAM,” kata Arif ketika dikonfirmasi, Senin (1/8/2022).

Ketiga, pemblokiran itu merupakan perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintah. Kominfo seharusnya memastikan pemenuhan standar dan mekanisme HAM dalam penyelenggaraan sistem elektronik di Indonesia. Pemerintah harus melihat kembali putusan PTUN 230/G/TF/2019/PTUN-JKT terkait perlambatan (throttling) akses/bandwidth di wilayah Papua dan Papua Barat.

“Putusan PTUN itu seharusnya menjadikan Kominfo lebih mengedepankan standar dan mekanisme HAM serta prinsip kehati-hatian (prudential) dalam melakukan tindakan pemblokiran sistem internet dan aplikasi karena dampaknya sangat serius terhadap HAM,” usul Arif.

Keempat, Permenkominfo No.5 Tahun 2020 menurut Arif substansinya bermasalah. Beleid itu dapat melakukan intervensi langsung kepada platform untuk menghapus konten dengan dalih “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.” Padahal tidak ada standar untuk menentukan kapan suatu konten dapat dianggap meresahkan masyarakat dan/atau mengganggu ketertiban umum.

Bagi Arif, subjektivitas penentuan standar itu dapat berdampak pada pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk berkomunikasi dan mendapat informasi. Permenkominfo No.5 Tahun 2020 juga bermasalah karena memuat aturan yang bisa melanggar privasi dengan alasan pengawasan dan penegakan hukum. LBH Jakarta mencatat Indonesia merupakan negara yang paling banyak meminta penghapusan konten.

Kelima, pemerintah dan DPR harusnya fokus melindungi data pribadi warga negara dengan mempercepat proses legislasi RUU Perlindungan Data Pribadi. Keenam, pemerintah juga harusnya fokus pada kesiapan perangkat aturan untuk menekan tingginya kekerasan seksual berbasis gender secara daring. Serta penyebaran konten intim non konsensual setelah terbitnya UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Arif menegaskan lembaganya mendesak pemerintah untuk mencabut pemblokiran terhadap 8 laman dan aplikasi daring sekaligus mencabut Permenkominfo No.5 Tahun 2020. Pemerintah dan DPR perlu mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Perlindungan Data pribadi. Pemerintah harus fokus menyiapkan perangkat aturan untuk menghapus dan/atau memutus akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan kekerasan seksual.

Terakhir, pemerintah perlu melakukan evaluasi besar terahadap pengaturan internet. Misalnya UU ITE dan PP No.71 Tahun 2019 memuat beberapa ketentuan yang mengancam pemenuhan HAM.

Dalam keterangan pers, Jumat (29/7/2022), Kominfo menegaskan Peraturan Menteri Kominfo No 10/ 2021 atas Perubahan Menkominfo No.5 Tahun 2020, tidak memberikan kewenangan bagi Kominfo untuk secara bebas mengakses percakapan pribadi masyarakat.   

Kominfo menerangkan pengaturan pemberian akses sistem dan dokumen elektronik dalam Peraturan Menteri (PM) Kominfo 5/2020 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penegakan hukum pidana, dan pengawasan, dengan syarat yang diatur ketat antara lain harus menyertakan penetapan pengadilan, dan dasar kewenangan yang sah pada saat melakukan permohonan akses kepada PSE.

Ketentuan pemberian akses dalam PM Kominfo 5/2020 merupakan ketentuan pelaksana dari UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) beserta perubahannya bukan ketentuan yang serta merta baru dan muncul begitu saja dalam PM Kominfo 5/2020.

Kominfo juga menambahkan isu mengenai Pendaftaran PSE mengancam hak-hak sipil masyarakat adalah tidak tepat. Kebijakan pendaftaran PSE ini merupakan upaya awal dalam menghadirkan ekosistem digital yang lebih akuntabel. “Melalui kewajiban pendaftaran PSE, Pemerintah berupaya untuk semakin melindungi hak-hak masyarakat sebagai pengguna sistem elektronik,” klaimnya. 

Misalnya, dalam hal terjadi kasus pornografi anak dalam suatu PSE, jika PSE tersebut sudah terdaftar, Pemerintah sesuai PM Kominfo 5/2020 dapat menghubungi penanggung jawab PSE yang terdaftar untuk segera melakukan tindakan yang diperlukan antara lain seperti pemutusan akses, hingga fasilitasi upaya penegakan hukum terhadap konten pornografi anak yang dimaksud.

Tags:

Berita Terkait