Sejumlah Alasan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Vaksinasi Mandiri
Berita

Sejumlah Alasan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Vaksinasi Mandiri

Dalam situasi wabah (pandemi Covid-19), seluruh upaya penanggulangan wabah termasuk program vaksinasi menjadi tanggung jawab negara. Hal ini sesuai bunyi Pasal 10 UU Wabah Penyakit Menular.

Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi vaksin mandiri. Hol
Ilustrasi vaksin mandiri. Hol

Pada 10 Februari 2021, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 yang menjustifikasi atau membolehkan pelaksanaan vaksinasi mandiri. Adanya vaksinasi mandiri ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan Sosial menolak rencana vaksinasi mandiri yang dilakukan oleh pihak swasta.

Bagi Koalisi, vaksinasi Covid-19 beserta testing, tracing, dan perawatan medis lainnya merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin Konstitusi. Sayangnya, Pemerintah kembali gagal memastikan peningkatan surveilans epidemonologi dan kesehatan masyarakat termasuk 3T. Pemerintah menjadi pengampu pemenuhan semua hak atas pelayanan medis termasuk pemberian vaksin mandiri. Pemerintah tidak seharusnya menghabiskan energi untuk lobi dan kerja sama bilateral untuk kelompok nonprioritas.

Untuk itu, Koalisi menolak adanya vaksinasi mandiri yang dilakukan oleh pihak swasta dengan beberapa alasan. Seperti vaksinasi mandiri melanggar prinsip keadilan sosial, kesetaraan, dan nondiskriminasi; tidak menjamin percepatan pencapaian herd immunity; membuka peluang korupsi; membuka peluang beredarnya vaksin palsu.

“Membuka ketimpangan akses dan distribusi tidak merata pada vaksin dan berpotensi tidak tepat sasaran,” ujar perwakilan Koalisi dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Yeyen Yenuarizki dalam keterangannya, Senin (22/2/2021). Koalisi ini terdiri, CISDI, ICW, PSHK Indonesia, YLBHI, KontraS, Lokataru, Transparency International. (Baca Juga: Wacana Vaksinasi Mandiri, Data Pribadi Penerima Vaksin Harus Dijaga)

Koalisi melihat pelaksanaan vaksinasi mandiri diberikan kepada pengusaha, keluarganya dan karyawan di mana mereka bukan kelompok prioritas melanggar asas kesetaraan yang dijamin Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945. “Semestinya sebagian besar masyarakat mendapat vaksin sesuai urutan prioritas berdasarkan risiko paparan tinggi, seperti nakes, atau faktor usia atau komorbiditas, dan yang tinggal di daerah dengan laju penularan tinggi, bukan yang bisa membayar (swasta, red),” kata dia,

Menurutnya, alasan vaksinasi mandiri untuk mempercepat herd immunity di masyarakat tidak tepat. Untuk mencapai kekebalan kelompok saat ketersediaan vaksin Covid-19 masih terbatas, program vaksinasi jangka pendek harus diupayakan untuk menurunkan angka penularan dan kematian.

Dia menilai salah satu bentuk risiko korupsi yang muncul adalah konflik kepentingan dalam proses penunjukkan langsung badan usaha penyedia barang/jasa. Informasi yang tertutup dalam mekanisme penunjukkan akan berisiko adanya potensi suap. Jika diamati, vaksinasi oleh pihak swasta hanya diusulkan oleh negara-negara yang memiliki indeks korupsi buruk seperti Pakistan (31), Indonesia (37)

Baginya, dengan memusatkan pembelian dan distribusi di tangan pemerintah, lebih mudah mendeteksi keberadaan vaksin palsu karena importirnya hanya satu dan vaksin tersedia secara gratis. Maraknya kasus overklaim obat dan terapi Covid-19 yang diterima begitu saja oleh masyarakat bisa jadi preseden buruk terhadap upaya penanggulangan pandemi.

Lalu, alasan penghematan anggaran negara tidak bisa dijadikan dasar pembenaran vaksinasi mandiri. Hingga saat ini pemerintah telah mengalokasikan sekitar Rp 70 triliun untuk pelaksanaan vaksinasi. Jika terdapat kekurangan anggaran, semestinya pemerintah bisa merelokasi anggaran belanja lain yang belum mendesak, misalnya dari anggaran infrastruktur (Rp 414 triliun), belanja pegawai yang jumlahnya Rp 420,7 triliun termasuk penghematan lebih lanjut dari perjalanan dinas ASN yang semestinya tidak diperlukan guna menekan angka penularan.

“Ruang fiskal untuk realokasi anggaran juga dapat berasal dari Belanja Kementerian Pertahanan dan Belanja Kepolisian RI yang jika ditotal masing-masing mencapai Rp 137,3 triliun dan Rp 112,1 triliun dalam APBN 2021,” lanjutnya.

Bagi Koalisi, dalam situasi wabah, seluruh upaya penanggulangan wabah termasuk program vaksinasi menjadi tanggung jawab negara. Hal ini sesuai bunyi Pasal 10 UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Pasal 10 UU Wabah Penyakit Menular menyebutkan Pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).  

Karena itu, Koalisi merekomendasikan beberapa hal. Pertama, Pemerintah perlu memastikan vaksin gratis berjalan dengan baik, tepat sasaran, tepat waktu, dengan proses yang transparan dan akuntabel. Kedua, sesuai anjuran WHO Pemerintah memfokuskan upaya memenuhi suplai pengadaan vaksin untuk kelompok masyarakat yang rentan terinfeksi. Ini akan lebih efektif untuk segera menekan angka gejala berat, tingkat keterisian rumah sakit, dan kematian akibat Covid-19.

Ketiga, Pemerintah melakukan evaluasi jalannya vaksinasi kemudian memperbaiki celah regulasi serta sistem untuk memastikan proses vaksinasi berjalan optimal dan mencapai kelompok yang paling membutuhkan. Keempat, Pemerintah perlu merealokasi anggaran belanja lain yang belum mendesak misalnya dari anggaran infrastruktur, belanja pegawai, penghematan lebih lanjut dari perjalanan dinas ASN, anggaran Belanja Kementerian Pertahanan, dan Belanja Kepolisian untuk mempercepat pengendalian pandemi.

Kelima, Pemerintah membangun sistem pendataan, distribusi, pelaksanaan, serta edukasi vaksinasi bagi warga. Sistem ini harus terbuka dan bisa diakses oleh publik, sehingga masyarakat mengetahui perkembangan vaksinasi dengan baik. Keenam, Pemerintah harus memastikan tidak ada korupsi dan segala bentuk penyalahgunaan jatah vaksin untuk warga.

Tags:

Berita Terkait