Sejak MK Berdiri, Ini 10 UU Terbanyak Diuji
Utama

Sejak MK Berdiri, Ini 10 UU Terbanyak Diuji

Pembentuk UU seharusnya segera merevisi KUHAP, UU Ketenagakerjaan, UU Advokat.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Undang-Undang (UU) memiliki kedudukan mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Namun, tak jarang UU yang berlaku ketika diterapkan di masyarakat merugikan hak konstitusional warga negara melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) sejak tahun 2003.  

 

Sejak MK berdiri, tahun 2003 hingga 2018 sebanyak 1.236 perkara yang diregistrasi. Dari jumlah itu, sebanyak 1.189 perkara yang sudah diputus. Dari 1.189 UU yang sudah diputus itu, rinciannya 257 perkara dikabulkan; 426 perkara ditolak; 371 perkara tidak dapat diterima; 21 perkara gugur; 115 perkara ditarik kembali; dan 9 perkara MK tidak berwenang.

 

Khusus tahun 2018, terdapat sisa perkara tahun 2017 sebanyak 49 perkara, 102 perkara diregistrasi, sehingga total 151 perkara yang diuji selama tahun 2018. Dari 151 perkara yang diuji 104 perkara sudah diputus. Rinciannya, 13 perkara dikabulkan; 38 perkara ditolak; 43 perkara tidak diterima; 1 perkara gugur; 7 perkara ditarik kembali; 2 perkara tidak berwenang mengadili. Sementara, sisa perkara tahun 2018 yang berlanjut di tahun 2019 sebanyak 47 perkara.

 

Hukumonline.com

 

Ada hal menarik, terdapat UU yang seringkali menjadi “langganan” diuji ke MK. Diantaranya, Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Pemerintah Daerah, Pemilihan Umum, UU MD3, UU Ketenagakerjaan, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Advokat.

 

Hukumonline.com

 

Dari 10 UU yang sering diuji ini terdapat 5 UU yang terbanyak dikabulkan dan dikabulkan sebagian oleh MK. Pertama, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebanyak 12 pengujian yang dikabulkan dan dikabulkan sebagian. Kedua, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebanyak 12 pengujian yang dikabulkan dan dikabulkan sebagian. Ketiga, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD sebanyak 12 pengujian yang dikabulkan dan dikabulkan sebagian.

 

Keempat, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebanyak 8 pengujian dikabulkan dan dikabulkan sebagian. Kelima, UU No. 8 Tahun 2015 atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD sebanyak 7 pengujian yang dikabulkan dan dikabulkan sebagian.

 

Beberapa UU ini sudah banyak yang direvisi oleh pembentuk UU dan menjadi UU baru. Misalnya, UU No. 10 Tahun 2008 dan UU No. 8 Tahun 2015 serta UU No. 4 Tahun 2008 telah diganti dengan UU MD3 dan UU Pemilu. Terdapat pula UU yang hingga saat ini belum juga direvisi oleh pembentuk UU. Padahal, aturannya sudah banyak yang diubah oleh MK. Seperti, KUHAP, UU Ketenagkerjaan dan UU Advokat.  (Baca Juga: Sejak MK Berdiri, Ini UU yang Terbanyak Diuji dan Dikabulkan)

 

Menanggapi hal ini, Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi mengatakan pihaknya sendiri sudah mengklasifikasi UU yang terbanyak diuji di MK berdasarkan isu politik (pemilu), pidana (KUHAP, Tipikor), dan lain-lain. “Adanya UU tersebut diajukan ke MK, berarti adanya ketidakpuasan yang merugikan hak konstitusional dari implementasi UU tersebut,” kata Veri saat dihubungi Hukumonline, Senin (14/1/2019).

 

Ia menjelaskan seperti UU yang berkaitan dengan politik, saat diterapkan merugikan hak konstitusional para calon legislatif ataupun pemilih. “Makanya, dalam pembuatan UU yang berkaitan politik seperti UU MD3 dan UU Pemilu seharusnya tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi juga mementingkan kepentingan masyarakat sebagai pemilih,” kata dia.

 

Selain itu, untuk UU yang menyangkut hukum pidana, seperti KUHAP dan UU KPK yang bersentuhan langsung dengan masyarakat yang berhadapan dengan hukum. Terlebih, KUHAP sebuah regulasi lama yang sudah tidak konstektual diterapkan saat ini, sehingga dibutuhkan regulasi yang lebih ajeg,” jelasnya.

 

Demikian pula, UU Advokat yang juga banyak diuji, paling lama penyelesaiannya bisa memakan waktu selama 27 bulan. Ia menjelaskan sebenarnya materi pengujian UU Advokata ini lebih banyak konflik di tubuh organisasi advokat berkaitan pilihan single bar atau multibar dalam sistem organisasi advokat. “Adanya konflik berkepanjangan terkait UU Advokat ini tidak baik karena ini profesional advokat memberi bantuan hukum kepada masyarakat.”  

 

Veri melanjutkan dalam pengujian UU Ketenagakerjaan ini lebih banyak diuji oleh pihak perusahaan dan sedikit pengujian yang diajukan oleh kalangan buruh. “Aturan regulasi buruh ini harus dilihat betul dari persoalan kesejahteraan, kepentingan buruh. Sudah banyak pasal dalam di 10 UU itu yang sudah diubah MK, hal ini harus menjadi catatan penting bagi pembuat UU dalam membuat revisi UU ini,” kata dia mengingatkan.

 

Dia menyarankan pembuatan UU seharusnya ada keseimbangan antara kepentingan public dan kepentingan politik. Belum lagi, ada banyak pasal dalam UU tertentu yang telah diubah MK, tetapi oleh DPR aturan tersebut dimunculkan kembali. “Ini juga harus menjadi perhatian penting terkait kepatuhan pembentuk UU terhadap putusan MK,” tegasnya.

 

Juru Bicara MK, Fajar Laksono Suroso mengakui implementasi UU seringkali merugikan hak konstitusional warga negara dan bertentangan dengan konstitusi. Apalagi KUHAP, kata Fajar, materinya sudah tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia. Selain itu, UU Ketenagakerjaan sudah saatnya pembentuk DPR segera merevisi UU tersebut. Sebab, pengujian UU Ketenagakerjaan juga paling banyak dikabulkan MK.

 

“UU Advokat juga menjadi salah satu aturan yang paling banyak diuji dan dikabulkan. Saat saat ini saja masih terdapat uji materi UU Adokat yang sedang diadili.” (Baca Juga: MK Diminta Mengakhiri Sifat Multitafsir Wadah Organisasi Advokat)

Tags:

Berita Terkait