Sejak 1946, Pemerintah Batasi Pembawaan Uang Tunai
Utama

Sejak 1946, Pemerintah Batasi Pembawaan Uang Tunai

Tak perlu lagi repot undang-undang baru pembatasan transaksi tunai.

LEO WISNU SUSAPTO
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi dan peluncuran buku ‘Membatasi Transaksi Tunai, Peluang dan Tantangan’ di Jakarta, Rabu (29/5). Foto: SGP
Acara diskusi dan peluncuran buku ‘Membatasi Transaksi Tunai, Peluang dan Tantangan’ di Jakarta, Rabu (29/5). Foto: SGP

Penangkapan tangan yang dilakukan KPK pada beberapa perkara suap dengan barang bukti berupa uang dalam jumlah besar, menguatkan desakan akan pengaturan minimal transaksi tunai. Tetapi, usulan adanya pengaturan pembatasan transaksi tunai baik oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) maupun pegiat antikorupsi tak pernah digubris DPR.

Penolakan DPR sebenarnya tak berdasar. Karena sudah ada undang-undang yang terkait mengenai pembatasan transaksi tunai. Tepatnya, setahun setelah Proklamasi dibacakan Soekarno-Hatta.

Pengaturan yang dimaksud tertuang dalam UU No 10 Tahun 1946 tentang Pembawaan Uang dari Satu ke Lain Daerah. Undang-undang yang terdiri dari tujuh pasal itu ditandatangani Presiden Soekarno dan Menteri Keuangan Soerachman pada 22 Juni 1946 di Yogyakarta. Lalu diumumkan pada tanggal sama oleh Sekretaris Negara AG Pringgodigdo.

Pasal terakhir di UU No 10 Tahun 1946 tertulis, undang-undang ini dapat disebut UU Pembawaan Uang. Dan berlaku seminggu setelah diumumkan.

Tertulis pada Pasal 1, orang yang tinggal di Jawa dan Madura dilarang membawa uang melebihi Rp1.000. kecuali mendapat izin kepala daerah atau pegawai lain menurut peraturan yang ditetapkan Menteri Perdagangan dan Perindustrian.

Sedangkan seseorang dari luar Pulau Jawa dan Madura, hanya dibolehkan membawa uang maksimal Rp5.000, begitu isi Pasal 3. Ketentuan maksimal uang yang boleh dibawa tidak berlaku bagi pembawaan uang negara setelah mendapat izin menteri.

Mereka yang melanggar, menurut Pasal 6, dihukum paling tinggi setahun. Sedangkan uang dirampas untuk negara, termasuk yang bukan milik terhukum.

Tak hanya pembatasan pembawaan uang. Presiden Soekarno dan Menteri Keuangan (ad interim) Mohammad Hatta pada 30 Oktober 1948 menetapkan UU No 32 Tahun 1948 tentang Peredaran Uang dengan Perantaraan Bank. Kemudian diumumkan Sekneg kala itu, AG Pringgodigdo pada hari sama.

Disebutkan dalam undang-undang itu, transaksi yang melebihi Rp25 ribu harus melalui bank, demikian Pasal 1. Sedangkan Pasal 5, mereka yang melanggar dihukum denda Rp100.000 atau penjara paling lama setahun. Begitu pula yang menerima pembayaran melebihi Rp25 ribu dihukum sama. Negara juga punya hak merampas uang.

Menurut praktisi hukum, Chandra M Hamzah, kedua undang-undang tersebut belum dicabut, sehingga sudah ada norma yang berlaku terkait pembatasan transaksi tunai. “Tidak perlu ciptakan norma baru dan tinggal diterapkan dengan mengubah maksimal nilai transaksi tunai,” paparnya dalam diskusi terkait peluncuran buku ‘Membatasi Transaksi Tunai, Peluang dan Tantangan’ di Jakarta, Rabu (29/5).

Salah satu penulis buku ini, Andri Gunawan pada kesempatan sama menyatakan pembatasan transaksi tunai masuk dalam Inpres No 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011. Diamanatkan sebuah aksi dalam implementasi UU No 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Yaitu, membuat kajian pembatasan transaksi tunai oleh BI dan Kementerian Keuangan.

“Sudah ada draf naskah akademik tentang RUU Pembatasan Transaksi Tunai dan diserahkan ke BPHN, tapi tak lagi terdengar,” paparnya.

Menurut dia, pembatasan transaksi tunai dibutuhkan untuk mengurangi korupsi. Pendapat itu diperkuat data penanganan perkara korupsi yang ditangani KPK. Setidaknya selama 2004-2012, KPK menangani 116 perkara suap dengan mayoritas barang bukti adalah uang suap dalam jumlah besar.

Karena itu, UU No 3 Tahun 2011 dalam proses pembahasan di DPR, PPATK mengusulkan pembatasan transaksi maksimal Rp100 juta. Tapi, usulan tersebut ditolak DPR dengan alasan masyarakat belum siap.

Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto sepakat ada regulasi pembatasan transaksi tunai. “Banyaknya kasus suap yang terungkap harusnya menjadi momentum pembuat undang-undang membuat peraturan pembatasan transaksi tunai,” paparnya.

Momentum yang dimaksud adalah karena secara empiris, menjelang pemilihan umum, transaksi tunai mengalami kenaikan. Sebagian besar, lanjutnya menggunakan uang palsu dan terjadi di Pulau Jawa. “Jadi, pembatasan transaksi tunai dapat menekan peredaran uang palsu.”

Tak hanya itu, lanjut Andri, pembatasan transaksi tunai juga akan membuat pendapatan bank meningkat karena makin banyak transaksi melalui perbankan. Lalu menghemat anggaran negara terkait pencetakan uang yang nilainya mencapai tiliunan rupiah per tahun. Juga meningkatkan pendapatan pajak karena ada catatan jelas mengenai aset seseorang yang melakukan transaksi keuangan.

Tags: