Sederet Harapan untuk Pimpinan KPU dan Bawaslu yang Baru
Terbaru

Sederet Harapan untuk Pimpinan KPU dan Bawaslu yang Baru

KPU dan Bawaslu perlu membangun budaya kerja yang terbuka, transparan, akuntabel, profesional, antikorupsi, dan partisipatoris dalam menyelenggarakan pemilu 2024.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 5 Menit
Simulasi pemungutan suara Pemilu 2024 yang digelar KPU beberapa waktu lalu. Foto: RES
Simulasi pemungutan suara Pemilu 2024 yang digelar KPU beberapa waktu lalu. Foto: RES

Hari ini, Selasa (12/4) dilaksanakan pelantikan anggota baru Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) periode 2022-2027. Pelantikan yang menandai posisi definitif para pimpinan lembaga penyelenggara Pemilu kali ini terjeda satu hari dari waktu berakhirnya masa jabatan anggota KPU-Bawaslu periode sebelumnya, 2017-2022.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh anggota KPU sebellumnya, Hasyim Ashari yang dalam keterangannya menyebutkan akhir masa jabatan anggota KPU 2017-2022 berakhir pada 11 April 2022 jam 10.00 wib. Menurut Hasyim, sehubungan dengan situasi ini maka terjadi kekosongan anggota KPU selama satu hari.

Meski demikian, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah memberikan panduan jika situasi seperti ini terjadi. Hasyim yang kali ini kembali terpilih menjadi anggota KPU periode 2022-2027 menjelaskan hal tersebut. “Dapat digunakan ketentuan Pasal 555 UU Pemilu, yaitu Sekjen (Sekretaris Jenderal) KPU yang menjalankan tugas dan wewenang KPU,” ujar Hasyim dalam keterangannya, Minggu (10/4).

Untuk diketahui, sesuai ketentuan Pasal 555 ayat (1) dan 556 ayat (1) UU Pemilu, apabila terjadi hal yang mengakibatkan KPU dan Bawaslu tidak dapat melaksanakan tahapan penyelenggaraan Pemilu, Sekretaris Jenderal yang akan melaksanakan tugas penyelenggaraan sementara waktu.

Pelantikan KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 ini menandai fase penting persiapan Pemilu 2024. Meskipun pengisian anggota KPU dan Bawaslu ini merupakan agenda rutin lima tahunan, namun pelantikan kali ini dirasa memiliki nuansa berbeda.

Baca Juga:

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menjelaskan, nuansa yang berbeda dalam pelantikan KPU kali ini sebab dilaksanakan di tengah polemik wacana penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan, dan presiden tiga periode. Karena itu, pelantikan anggota KPU dan Bawaslu menjadi momentum meneguhkan kembali komitmen bahwa pemilu 2024 tidak akan ditunda dan sirkulasi elit akan berjalan sesuai jadwal periodik lima tahunan sebagaimana ketentuan Konstitusi.

KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 akan bekerja menyelenggarakan pemilu yang besar dan kompleks. Meskipun model keserentakan pemilu sama dengan pemilu 2019 lalu, namun Titi melihat adanya tantangan besar yang akan dihadapi kedua lembaga penyelenggara ke depan. Penyelenggaraan pemilu dan pilkada dalam satu tahun yang sama tentu memberikan beban kerja yang jauh lebih besar dan kompleks pada penyelenggara pemilu.

“Belum lagi adanya tuntutan besar dari para pemangku kepentingan agar KPU bisa menghadirkan terobosan dan inovasi dalam mengurangi kerumitan dan kompleksitas teknis pemilu sehingga pemilu bisa lebih mudah dan sederhana bagi pemilih dan peserta pemilu,” ujar Titi kepada Hukumonline, Selasa (12/4).

Oleh karena itu dirinya berharap anggota KPU dan Bawaslu baru bisa langsung bekerja cepat, cerdas, dan solid sehingga berbagai persiapan penyelenggaraan pemilu 2024 bisa dituntaskan dengan baik. KPU dan Bawaslu perlu membangun budaya kerja yang terbuka, transparan, akuntabel, profesional, antikorupsi, dan partisipatoris dalam menyelenggarakan pemilu 2024. 

“Hal ini dirasa perlu untuk mendapatkan kepercayaan dari publik. Pengingat cukup ada kontroversi di awal keterpilihan mereka saat nama-nama terpilih sama persis dengan nama yang beredar sebelum hasil uji kelayakan dan kepatutan disepakati,” tegas Titi.

Di sisi yang lain, Pemerintah dan DPR juga diharapkan mampu memberikan dukungan optimal sesuai peraturan perundang-undangan yang ada agar KPU dan Bawaslu bisa menuntaskan segala tugas dan kewajibannya dengan maksimal pula.

Tantangan

Selain itu, berbagai tantangan berat mutlak harus dicarikan solusinya. Misalnya yang berkaitan dengan proses penyelenggaraan pemilu, menyangkut skenario tahapan, penetapan jadwal, dan penataan penyelenggara di daerah. Menurut Tenaga Ahli pada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Mohammad Saihu, berdasarkan catatan Dewan DKPP, ketiga hal tersebut di atas selalu menempati posisi pelanggaran tertinggi.

Dirinya juga mengingatkan tentang akibat penyelenggaraan Pemilu 2019 yang sampai menelan korban meninggal dunia sebanyak 894 petugas dan 5.175 petugas mengalami sakit, sepatutnya menjadi bahan refleksi. “Proses penyelenggaraan pemilihan dan aspek penyelenggara menjadi faktor utama datangnya tragedi,” ujar Saihu lewat keterangannya.

Meski demikian, dirinya menilai perbaikan dari beberapa aspek terlihat lewat penyelenggaraan Pilkada 2020 di masa Pandemi yang berjalan relatif lebih baik dengan berbagai terobosan yang dilakukan, seperti pada pelaksanaan kampanye dan penertiban pada hari pemungutan suara. Patut diingat, dari masa ke masa problem penyelenggaraan dan pelanggaran pemilu tertinggi terjadi pada tahapan pelaksanaan kampanye dan hari pemungutan suara.

Masalah yang lain juga juga sering terjadi pada saat penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara. Persoalan ini seringkali memicu ketidakpastian hukum karena profesionalisme, kemandirian, dan akuntabilitas penyelenggara pemilu sebagai prinsip seringkali dilanggar.

Dari sisi teknologi, Saihu menekankan agar kemajuan teknologi informasi menjadi keniscayaan dunia kepemiluan untuk terus berbenah menjadi lebih modern. Penyelenggara Pemilu yang profesional harusnya mampu mengikuti arus globalisasi digital untuk dimanfaatkan dalam setiap aspek kepemiluan. “Digitalisasi pemilu bukan saja untuk keperluan e-voting, tapi dapat dimanfaatkan untuk verifikasi identitas pemilih, penghitungan suara hingga transmisi dan tabulasi hasil pemilihan. Tentu banyak cara menuju pemilu digital,” ujarnya.

Kolaborasi

Merujuk awal kelahirannya, KPU, Bawaslu, juga DKPP berada dalam kategori state auxiliary organ. Ketiga lembaga ini berfungsi sebagai penunjang, pendukung, atau pelengkap (supporting organ) bagi lembaga-lembaga negara utama yang merupakan principal atau main organ, meski memiliki kewenangan (authority/gezag) yang bersifat independen atau mandiri.

“Mustahil tugas fungsi KPU, Bawaslu, DKPP berhasil tanpa kolaborasi dengan lembaga lain, utamanya lembaga negara terkait dan organisasi civil society,” terang Saihu.

Menurutnya, kerja sama yang sudah terbangun harus dikuatkan, bukan saja terkait masalah teknis, tapi juga harus diperhatikan aspek regulasi (batasan-batasan) yang menjadi tabir sifat masing-masing lembaga, termasuk juga di dalamnya terkait masalah substansi. Agenda-agenda koordinasi dan konsolidasi secara berkala dalam forum diskusi antar lembaga (Tri Partit) semestinya menjadi tradisi yang lebih baik antara KPU, Bawaslu, dan DKPP dalam rangka membangun publik trust. Forum Tri Partit sangat penting untuk menjelaskan core business masing-masing lembaga dan untuk menjaga marwah KPU, Bawaslu, dan DKPP.

Kerja sama dengan lembaga negara terkait misalnya, dengan Kementerian Dalam Negeri khususnya terkait data pemilih, juga kemandirian pegawai/kesekretariatan. Kemudian dengan KemenkumHAM untuk harmonisasi berbagai peraturan yang lebih visioner, juga terkait nasib pemilih dalam lingkungan kemenkumham, seperti warga binaan pada lembaga pemasyarakatan,

Dengan Kementerian Sosial, jaminan hak memilih bagi masyarakat difabel, penghuni panti jompo, masyarakat pedalaman, kaum papa dan miskin kota yang hidupnya berpindah-pindah harus diperhatikan. Kemudian dengan Kementerian Agama, di antaranya pada perilaku kampanye dan provokasi isu SARA di rumah ibadah. Sementara dengan Mendikbud untuk pengetahuan kepemiluan dan pendidikan pemilih pemula. Dengan Menkominfo untuk pemanfaatan teknologi informasi, penggunaan media mainstream dan media sosial, serta batasan-batasannya. Dengan TNI dan Polri untuk keamanan, ketahanan negara dan peran Kamtibmas pada semua tahapan pemilu.

Terakhir, dengan Kementerian Kesehatan untuk jaminan kesehatan penyelenggara dan pemilih, juga perlindungan dan pendataan (update) hak pilih pada pasien rumah sakit. Suatu terobosan baik contohnya sudah diinisiasi KPU, kerja sama dengan Menkes ditandai penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) pemanfaatan data pemilih pada pemilu untuk pendataan sasaran pelaksanaan vaksinasi COVID-19.

“Semoga semangat memperluas kolaborasi dengan lembaga negara terkait melalui prinsip saling percaya, menjaga keamanan, serta penghormatan kemandirian (imparsialitas) sesuai peraturan perundang-undangan, Pemilu dan Pilkada 2024 akan tercatat dalam sejarah dunia sebagai pemilu terbesar, terumit, tapi sukses diselenggarakan di Indonesia,” tutup Shaihu.

Tags:

Berita Terkait