Sebut Upah Minimum Tinggi, Serikat Buruh: Menaker Jangan Bohongi Buruh!
Terbaru

Sebut Upah Minimum Tinggi, Serikat Buruh: Menaker Jangan Bohongi Buruh!

Padahal, di ASEAN rata-rata upah minimum di Indonesia lebih rendah dibandingkan Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, dan apalagi Singapura.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sejumlah serikat buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta, Selasa (26/10/2021) menuntut pemerintah untuk menaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 10 persen. Foto: RES
Sejumlah serikat buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta, Selasa (26/10/2021) menuntut pemerintah untuk menaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 10 persen. Foto: RES

Protes keras serikat buruh terhadap pemerintah terkait penetapan upah minimum tak hanya soal kenaikan upah minimum tahun 2022 sekitar 1,09 persen, tapi juga pernyataan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, yang menyebut upah minimum di Indonesia terlalu tinggi.

Ida menyebutkan ada metode internasional untuk mengukur tinggi-rendahnya upah minimum di suatu wilayah yakni dengan metode Kaitz Index. Caranya dengan membandingkan besaran upah minimum yang berlaku dengan upah median (nilai tengah dari upah nominal tertinggi dan terendah per perusahaan, red). Mengacu Kaitz Index, besaran upah minimum di Indonesia melebihi upah median.

Dia menilai Indonesia satu-satunya negara yang memiliki Kaitz Index melebihi nilai ideal atau 1. Padahal, idealnya Kaitz Index berada di nilai 0,4 (40 persen) sampai 0,6 (60 persen) di bawah upah median. “Kondisi upah minimum terlalu tinggi menyebabkan sebagian besar pengusaha kita tidak bisa menjangkaunya dan berdampak negatif terhadap implementasinya di lapangan,” kata Ida saat memberi keterangan pers secara daring, Selasa (16/11/2021) kemarin.

Menanggapi pernyataan tersebut, Presiden KSPI, Said Iqbal, mempertanyakan apa yang menjadi ukuran Menaker, sehingga menyimpulkan upah minimum di Indonesia terlalu tinggi? Pernyataan itu menunjukan Menaker menggunakan cara pandang kalangan pengusaha. Mengacu hasil penelitian ILO Kantor Indonesia (Jakarta) yang dituangkan dalam laporan bertema Tren Ketenagakerjaan di Indonesia Periode 2014-2015 Iqbal menyebut rata-rata upah minimum di Indonesia lebih rendah dibanding Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, apalagi Singapura.

“Menaker jangan bohongi buruh dengan menyatakan upah minimum di Indonesia sudah terlalu tinggi,” kata Iqbal dalam diskusi secara daring, Jumat (19/11/2021).(Baca Juga: Kewenangan Penyadapan Kejaksaan Harus Diatur dan Terukur)

Iqbal menilai daya saing tidak ditentukan dari berapa besaran upah minimum. Dia memberikan contoh kenapa investasi di Thailand dan Vietnam lebih tinggi ketimbang Indonesia? Padahal rata-rata upah minimum di kedua negara itu lebih tinggi daripada Indonesia. Jika yang menjadi acuan adalah upah minimum, maka negara yang menerapkan kebijakan upah murah seharusnya memiliki jumlah investasi yang tinggi.

Menurut Iqbal, kondisi itu menyebabkan The World Economic Forum tidak menempatkan upah minimum sebagai faktor utama daya saing, tapi soal pajak, cukai, regulasi, dan pertanahan. Iqbal juga memprotes kenaikan rata-rata upah minimum tahun 2022 lebih rendah dari inflasi.

Dia mencatat kenaikan upah minimum di seluruh dunia tidak ada yang di bawah inflasi, kecuali Indonesia. Menurutnya, formula penghitungan upah minimum sebagaimana diaturPP No.36 Tahun 2021 menjadi sebab kenaikan upah minimum tahun 2022 sangat rendah. Variabel yang digunakan antara lain batas atas dan bawah upah minimum dari nilai inflasi wilayah. Berbeda dengan mandatUU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengatur kenaikan upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

Berdasarkan laporan Kantor ILO di Indonesia (Jakarta) yang tertuang dalam Tren Tenaga kerja dan Sosial di Indonesia 2014-2015 pada halaman 28 menyebutkan upah merupakan hal penting karena menjadi sumber penghasilan utama bagi keluarga. Di kawasan ASEAN, upah menjadi sumber penghasilan utama bagi 116,9 juta pekerja dan keluarga mereka.

Mengingat semakin banyak orang yang tergantung pada upah sebagai mata pencaharian mereka, maka upah dan daya beli merupakan hal yang sangat penting bagi pekerja sebagai sumber penghasilan dan bagi perekonomian di kawasan ini sebagai sumber permintaan.

Analisa tentang tren secara global menunjukkan bahwa upah yang rendah atau tingkat pertumbuhan upah yang lambat cenderung membatasi konsumsi keluarga, sehingga mengurangi permintaan rata-rata, kecuali bila dampak negatif tersebut diimbangi dengan tingginya nilai investasi atau nilai ekspor secara netto. Karena itu, tren pertumbuhan upah, terutama pertumbuhan upah rata-rata, perlu dipantau secara ketat.

Lebih lanjut, laporan itu menjelaskan di ASEAN upah rata-rata sudah berkembang, tapi masih ada perbedaan besar tingkat upah. Sebagai contoh tahun 2013 Republik Demokratik Laos memiliki upah rata-rata terendah di kawasan ini yakni (119 Dollar AS), sementara di Singapura (3.547 Dollar AS) per bulan. Di antara kedua negara itu ada Kamboja (121 Dollar AS), Indonesia (174 Dollar AS), Vietnam (181 Dollar AS), Filipina (206 Dollar AS), Thailand (357 Dollar AS), dan Malaysia (609 Dollar AS).

“Perbedaan besar dalam hal upah rata-rata antar negara-negara anggota ASEAN ini menunjukkan adanya perbedaan besar dalam hal produktivitas pekerja – nilai tambah per pekerja, atau per jam kerja – serta kemampuan lembaga penetapan upah untuk mendukung perundingan bersama,” begitu sebagian kutipan halaman 28, laporan Kantor ILO di Indonesia tentang Tren Tenaga kerja dan Sosial di Indonesia 2014-2015 yang diakses di laman ilo.org.

Tags:

Berita Terkait