Sebut Pengembang Tak Bisa Dipailit/PKPU, SEMA 3/2023 Dinilai Tak Sejalan UU Kepailitan
Utama

Sebut Pengembang Tak Bisa Dipailit/PKPU, SEMA 3/2023 Dinilai Tak Sejalan UU Kepailitan

SEMA 3/2023 dinilai tak sejalan dengan UU Kepailitan. Jika ingin memberikan pengecualian terhadap pengembang apartemen/rumah susun, maka seharusnya diatur dalam bentuk UU atau melakukan revisi UU Kepailitan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Seminar hukum yang diselenggarakan Resha Agriansyah Learning Center bertajuk Kontroversi Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No 3 Tahun 2023, Jumat (8/3). Foto: HFW
Seminar hukum yang diselenggarakan Resha Agriansyah Learning Center bertajuk Kontroversi Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No 3 Tahun 2023, Jumat (8/3). Foto: HFW

Jelang pergantian tahun 2023 lalu, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Adapun yang di masukkan dalam materi SEMA No. 3 tahun 2023 antara lain rumusan pleno kamar pidana, rumusan pleno kamar perdata, rumusan pleno kamar agama, rumusan pleno kamar militer, dan rumusan pleno kamar tata usaha negara.

Salah satu poin menarik dari SEMA 3/2023 tersebut adalah menyoal kamar perdata khusus, di mana pengembang atau developer apartemen/rumah susun tak dapat dimohonkan pailit dan PKPU. Secara rinci, SEMA 3/2023 menyebut permohonan pailit maupun PKPU terhadap pengembang (developer) apartemen dan/atau rumah susun tidak memenuhi syarat sebagai pembuktian secara sederhana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Menurut Guru Besar Hukum Kepailitan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair), M. Hadi Subhan, terdapat tiga syarat permohonan pailit/PKPU yang diatur dalam UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yakni minimal memiliki utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, terdapat dua kreditor atau lebih, dan dapat dibuktikan secara sederhana.

Baca Juga:

Jika kompleksitas dampak pailit/PKPU menjadi dasar bagi MA untuk menyatakan pengembang apartemen/rumah susun tak bisa dimohonkan pailit/PKPU, Hadi Subhan menilai pertimbangan tersebut kurang tepat. Pasalnya, maksud sederhana dalam syarat permohonan pailit/PKPU ada pada pembuktian, bukan efek dari pailit/PKPU atau perikatan yang dilakukan developer dengan pihak lain. Adapun pembuktian sederhana dimaksud adalah bukti yang sudah kasat mata dan tidak sumir.

“Kredit kepemilikan apartemen itu sederhana, sudah sangat jelas. Problemnya memang ketika pemilik jaminan menjaminkan lagi aset kepada pihak lain, tapi kan sudah ada instrumen hukum atas akibat itu. Misal pembeli apartemen yang sudah lunas tidak boleh dimasukkan ke dalam boedel pailit, ada going concern juga,” kata Hadi dalam seminar hukum yang diselenggarakan Resha Agriansyah Learning Center bertajuk “Kontroversi Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No 3 Tahun 2023”, Jumat (8/3).

Hadi menilai kehadiran SEMA 3/2023 dapat merugikan konsumen dan developer itu sendiri, serta tidak memberikan kepastian hukum jika proyek perumahan mangkrak. Padahal, lanjutnya, keberadaan pailit/PKPU bertujuan agar enforcing contract lebih terjaga.

“Kalau developer mengalami kesulitan keuangan, ajukan saja PKPU. Ini menolong pengembang juga. SEMA ini yang dikorbankan adalah konsumen dalam jangka panjang, dan developer. Padahal kepailitan ini menjaga keseimbangan,” tuturnya.

Sementara itu, kurator senior Jamaslin James Purba mengatakan SEMA 3/2023 terkhususnya pada bagian Rumusan Hukum Kamar Perdata Khusus bagian Kepailitan dan PKPU pada point ke-2 telah membuat norma hukum baru yang tidak sesuai dengan norma hukum positif yaitu UU Kepailitan. Jika perusahaan tertentu seperti perusahaan pengembang (developer) tidak bisa dimohonkan pailit ataupun PKPU, maka seharusnya diatur dalam bentuk peraturan yang selevel dengan UU atau melakukan revisi UU Kepailitan.

James menegaskan bahwa sampai dengan saat ini sudah banyak putusan Pengadilan Niaga yang mengabulkan permohonan pailit maupun PKPU terhadap perusahaan pengembang (developer). Dia menilai MA sudah melakukan penafsiran isi UU dalam SEMA 3/2023, di mana penafsiran tersebut seharusnya tidak boleh berbeda dari esensi dari UU Kepailitan dan PKPU.

Di samping itu, SEMA 3/2023 yang bersifat mengatur dan membatasi kemerdekaan hakim dalam menjalankan fungsinya memeriksa dan mengadili suatu perkara di Pengadilan Niaga. Bahwa hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara tentunya harus berdasarkan alat-alat bukti di persidangan, bukan berdasarkan adanya petunjuk dari lembaga atasan hakim yaitu Mahkamah Agung.

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa hakim sudah memiliki putusan (sudah memutuskan) suatu perkara walaupun belum memeriksa bukti-buktinya asalkan pihak yang berperkara salah satunya adalah perusahaan pengembang (developer).

James kemudian juga mempertanyakan bagaimana jika perusahaan pengembang berinisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ataupun permohonan PKPU terhadap dirinya sendiri?  Apakah juga otomatis ditolak oleh majelis hakim?

“Padahal esensi dari permohonan PKPU, termasuk PKPU sukarela (yang diajukan terhadap diri sendiri) adalah untuk program restrukturisasi untuk memberikan kelonggaran masa pembayaran dengan mengajukan Proposal Perdamaian ataupun penataan ulang terhadap kewajiban utangnya terhadap para kreditor,” ucap James pada acara yang sama.

Dia juga mengutip Pedoman Hans Kelsen dalam teorinya (stufenbau theory) memberikan pengertian bahwa keberadaan norma hukum itu seperti anak tangga, dengan kaidah yang berjenjang. Artinya norma hukum yang paling rendah harus berpegang/bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi. Implikasi logis dari definisi tersebut bahwa norma hukum yang paling rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi.

“Hakim dalam memutuskan perkara tidak boleh takut dengan SEMA, itu teorinya. Praktiknya tidak ada yang tahu,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait