Sebotol Anggur dan Syarat Usia dalam Undang-Undang
Kolom

Sebotol Anggur dan Syarat Usia dalam Undang-Undang

Pilihan menormakan syarat usia tertentu dalam suatu jabatan publik bertujuan agar kriteria subyektif pejabat-pejabatnya terpenuhi, haruslah didasari alasan rasional, bijaksana, dan cocok dengan karakter jabatan itu.

Bacaan 6 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Usia hanyalah deretan angka. Banyak ungkapan mengatakan begitu. Aktris Joan Collins mengatakan, “usia hanyalah angka. Ini sama sekali tidak relevan, kecuali Anda kebetulan sebotol anggur”. Ini menarik. The Speyer Wine Bottle adalah wine dalam botol paling tua di dunia. Ia ditemukan tahun 1867. Terpendam di area makam Romawi di wilayah Speyer, Jerman. Sejarawan mengira-ira wine ini dibuat pada 325-359 Masehi. Tersimpan lebih dari 1650 tahun. Usia membuat anggur ini bernilai tiada tara, kalau dilelang.

Bandingkan. Wine dari anggur kuning (vin jaune) di Perancis, yang dipanen pada masa Raja Louis XVI, sekitar 1774, terjual dalam lelang seharga Rp1,7 miliar. Sebotol anggur di Australia produksi 1951, dilelang MW Wines dan terjual Rp545 juta. Itulah, bagi sebotol anggur, usia jadi pembeda yang relevan. Ada histori, harga, rasa, dan gengsi. Tidakkah manusia juga demikian?

Baca juga:

Bukti Bukan Hanya Angka

Di masyarakat Jawa misalnya. Usia manusia dalam angka, dilumuri filosofi. Periode awal manusia, pertama, dimulai dari periode Nakula-Sadewa. Berlangsung 30 tahun sejak lahir. Di usia belasan, sewelas, rolas, telulas, dan seterusnya, tumbuh “las”, yaitu rasa “welas”, kasih sayang. Kepada orang tua, saudara, atau lawan jenis.

Masuk usia 21 atau “selikur” dan seterusnya. Likur singkatan dari “lingguh kursi”. Artinya, “sedang duduk di kursi”. Mulai dewasa, mapan, dan bisa jadi punya posisi dalam pekerjaan. Di pertengahan ada usia 25, “selawe”. Singkatan dari "seneng-senenge lanang lan wedok”. Mulai kasmaran. Usia ideal berumah tangga.

Kedua, periode Arjuna, yakni usia 30-50 tahun. Manusia di usia ini sedang produktif dan giat memenuhi kebutuhan hidup, untuk diri, keluarga, dan kebutuhan duniawi. Ketiga, periode Werkudara, usia 50-60 tahun. Tidak lagi suka basa-basi. Lebih tegas. Bicara seperlunya. Kalau perlu berdehem saja. Angka 50 dibaca “seket”. Singkatan dari “seneng kethunan". Senang pakai kopiah, peci, atau penutup kepala. Manusia mulai menua. Sadar perlu lebih mendekat kepada Tuhan. Keempat, ini puncaknya, usia 60 tahun ke atas atau periode Puntadewa. Fase orang sadar akan senja kala hidup. Dewasa secara spiritual. Kenyang pengalaman. Angka 60, “sewidak”, bermakna "sejatine wis wayahe tindak". Sudah waktunya pergi (menuju Penciptanya).

Begitulah usia, punya makna. Tak hanya angka belaka. Apalagi tatkala usia diseret begitu rupa masuk ke dalam deret norma undang-undang. Kita tahu, undang-undang adalah produk kenegaraan. Ia dahsyat dan imperatif. Mengatur apa yang boleh dan yang tidak. Juga menghukum jika melanggar.

Dalam banyak undang-undang, usia tertentu dipatok dan ditetapkan sebagai salah satu syarat menduduki suatu jabatan publik. Misalnya, syarat menjadi capres, ditentukan minimal berusia 40 tahun. Untuk jadi Hakim Agung, minimal 45 tahun, pensiun 70 tahun. Anggota DPR dan Anggota DPD, paling kurang 21 tahun. Komisi Yudisial, paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 68 tahun. Gubernur dan wakil gubernur, minimal 30 tahun. Bupati dan wali kota, paling rendah 25 tahun. Dan lain-lainnya.

Di titik itulah, usia menjumpai fenomenanya: digugat. Begitu dinormakan, ia seperti merangsang orang atau pihak tertentu merasa paling dirugikan. Lalu, syarat usia itu digedor-gedor. Diperhadap-hadapkan dengan hak. Dikatakan melanggar asas persamaan (principium aequalitatis), bentuk perlakuan berbeda, atau gagal memberi kepastian hukum. Intinya, syarat usia itu diringkas dalam satu pigura: melabrak konstitusi.

Di Mahkamah Konstitusi (MK) sudah banyak perkaranya. Ada yang sudah kelar diputus. Ada yang tengah diproses. Batas usia pensiun jaksa disoal. Syarat usia minimal Pimpinan KPK digugat. Usia pensiun Panitera MK dimasalahkan. Usia minimal capres-cawapres juga diuji. Sebelumnya, syarat batas usia minimal Konsiliator, peserta seleksi KPU dan Bawaslu, pensiun prajurit TNI, Hakim Pajak, advokat, dan TKI, juga sudah diputus. Dan banyak lagi lainnya.

Mengapa Syarat Usia Dipersoalkan?

Pilihan menormakan syarat usia tertentu dalam suatu jabatan publik bertujuan agar kriteria subyektif pejabat-pejabatnya terpenuhi. Untuk itu, haruslah didasari alasan rasional, bijaksana, dan cocok dengan karakter jabatan itu. Sayangnya, seringkali tak dijumpai pertimbangan yang cukup dan beralasan (satis et rationabili consideratione). Tidak di Penjelasan undang-undang itu sendiri. Tidak pula di Naskah Akademik. Kalaupun ada, minimalis. Tidak kokoh.

Dari fakta itu, susah dipungkiri dua hal. Yang pertama, pilihan syarat usia itu, kalau tak cermat, ya main pungut. Bermodal kalimat klasik: menurut penalaran yang wajar. Entah nalar wajar menurut ukuran siapa. Atau yang kedua, pilihan itu lahir karena dorongan dan timbangan politis. Misalnya, demi meloloskan atau sebaliknya, menghambat kepentingan orang atau pihak tertentu. Namanya produk politik. Motif, proses, dan hasilnya, mungkin saja pilihan serba politis.

Di luar itu, kita mengenal istilah open legal policy. Kebijakan hukum terbuka. Pembentuk undang-undang bebas memilih pilihan tertentu atas dasar pertimbangan dan kesepakatan mereka sendiri. Sebabnya, konstitusi tak mengatur secara eksplisit. Agar bebas tapi berbatas, dibuatlah rambu-rambu. Ada lebih dari 30 putusan MK menerangkan hal ini. Norma seperti apa yang tergolong open legal policy? Ini dapat diperas ke dalam lima rambu utama, yaitu norma yang materinya (1) tak diatur eksplisit dalam UUD 1945; (2) merupakan pengaturan tambahan (yang tidak diatur UUD 1945) sebagai konsekuensi dilaksanakannya perintah eksplisit UUD 1945; (3) sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang; (4) tidak terkait dengan konstitusionalitas norma; dan/atau (5) merupakan perintah UUD 1945 kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih lanjut.

Dari banyak putusan MK juga didapati bahwa open legal policy haruslah dianggap konstitusional, sepanjang dipenuhi 11 kriteria. Apa saja? (1) tidak melanggar moralitas; (2) tidak melanggar rasionalitas; (3) bukan ketidakadilan yang intolerable, (4) tidak melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang; (5) bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan; (6) tidak bertentangan dengan UUD 1945, (7) tidak menegasikan prinsip-prinsip dalam UUD 1945; (8) tidak bertentangan dengan hak politik; (9) tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat; (10) tidak dilakukan secara sewenang-wenang; dan/atau (11) tidak melampaui dan/atau menyalahgunakan kewenangan.

Kriteria itu kenyal. Belum tegas memandu. Belum konsisten. Masih bisa ditarik dan diulur dengan tafsir. Moralitas dan rasional yang seperti apa? Ketidakadilan intolerable itu yang bagaimana? Apalagi poin (6), tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ini entah bagaimana simulasinya. Pilihan norma syarat usia merupakan kebebasan pembentuk undang-undang. Ditentukan di angka berapapun, itu masih dalam jangkauan dan koridor otoritasnya. Tapi pada saat bersamaan, pilihan itu harus tak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Kalau begini, lantas bagaimana dan bagian mana dari UUD 1945 yang dapat dijadikan dasar pengujian.

Jika diserderhanakan, syarat usia dipersoalkan dengan dorongan dua faktor obyektif. Pertama, kecukupan alasan dan rasionalitas pembentuk undang-undang atas pilihan syarat usia itu. Memasang syarat usia ke dalam undang-undang memang pilihan terbuka. Tapi, bagaimanapun butuh alasan dan rasionalitas yang cukup. Menyitir David Foulkes, merupakan kewajiban pengambil kebijakan atau keputusan untuk memberikan alasan. The duty to give reason. Jadi, kalaupun norma itu ‘diguncang-guncang’, sudah ada dan meyakinkan jawabannya.

Kedua, derajat konsistensi MK bergelayut kuat pada term dan rambu open legal policy yang sudah dirumuskannya sendiri. Kalau syarat usia itu jelas-jelas tergolong open legal policy, untuk apa durasi perbantahan di persidangan dipanjang-panjangkan. Jangan memberi harapan. Agar orang juga tak merasa diprospek. Singkat. Konsisten saja. Tok, ini open legal policy! Selesai.

Membaca Dua Model

Memang, mempersoalkan syarat usia tak dilarang. Tapi, di samping kedua faktor obyektif, kita tak menampik besarnya porsi aspek subyektifnya. Berorientasi privat atau rakyat? Itu dapat tergambar dari dua model cara mempersoalkan.

Model konstruktif-positif, sebagai replika murni kegelisahan atau kemarahan publik atas ketidakadilan perihal syarat usia yang dikonstruksi undang-undang. Terlebih jika benar karena faktor ketiadaan atau ketidakkokohan rasio dan alasan di sebalik syarat usia. Ini sekalian akan menjadi forum menagih dan memperoleh right to be explained, yang dulu, pada saat pembentukannya tak dipenuhi.

Model ekspresif-negatif, sebagai ekspresi paling polos yang menebalkan ingatan kita akan watak manusia. Betapapun retorika sudah diramu se-intelek, se-yuridis, se-konstitusional mungkin saat men-challenge syarat usia. Tetap saja, motifnya terbaca: menjaga denyut kepentingan. Bisa menyangkut nasib atau karir. Atau, argumen subyektif lain yang publik belum tentu paham, alih-alih ikut merasakan manfaat putusan erga omnes jikalau permohonan kelak dikabulkan.

Di model yang disebut terakhir, demarkasi privat-rakyat dikaburkan. Karena tak ada benang di antara keduanya. Yang privat dipoles dan dikemas agar tampil dengan rasa kepentingan rakyat banyak. Melalui kepiawaian olah kata, membangun justifikasi. Termasuk berisik beropini di dunia verbal dan dunia serba visual publik. Dengan mengatakan diri paling dijepit ketidakadilan. Celakanya, ini yang nampaknya jamak dijumpai.

Sampai titik ini, kita makin paham. Usia bukan cuma pertunjukan aritmetik. Bagi sebotol anggur, usia terbukti meninggikan derajat nilai dan filosofi eksistensi dirinya. Seperti halnya The Speyer Wine Bottle, wine dari vin jaune di Prancis, dan anggur Australia produksi 1951. Bagi kita, manusia, seharusnya pun demikian. Bukan malah menyuburkan olok-olok kepada kita: makhluk pemuja konformitas. Penyuka kesenangan privat. Dan, mudah membelokkan prinsip demi memperoleh kenikmatan.

*)Dr. Fajar Laksono Suroso, Pengajar FH Universitas Brawijaya. Tulisan ini merupakan opini atau pendapat pribadi, tidak merepresentasikan pendapat secara kelembagaan untuk dan atas nama lembaga manapun.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait