Sebelum Berlitigasi, Ini Langkah yang Perlu Diketahui In House Counsel
Berita

Sebelum Berlitigasi, Ini Langkah yang Perlu Diketahui In House Counsel

Mulai dari merekrut pengacara, persoalan budget hingga berkomunikasi baik dengan lawyer external.

M-22
Bacaan 2 Menit

Walaupun divisi itu tidak berkaitan dengan masalah hukum, hal itu menjadi perlu ketika in house counsel ingin mengetahui berapa besar aset yang dimiliki perusahaan saat ini. “Akhirnya kita coba berbicara dengan orang (divisi, red) finance. Kita sebagai lawyer (in house, red) tidak hanya melihat pada sisi legal saja tapi melihat juga dari sisi finansial,” ujarnya.

Akan tetapi pekerjaan in house counsel belum selesai sampai di situ. Widya mengatakan, setelah mengetahui sisi finansial perusahaan, in house counsel selanjutnya harus berkomunikasi dengan lawyer untuk menggambarkan duduk kasus secara jelas. “Inilah yang saya komunikasikan ke external counsel. Karena external counsel belum tentu mengerti apa isi perut dari perusahaan,” terangnya.

Di acara yang sama, Advokat di FJP Law Office, Fredrik Jacob Pinakunary mengakui sebagai lawyer external, dirinya tidak banyak tahu mengenai substansi perkara yang ada di dalam perusahaan. Atas dasar itu, peran in house counsel dibutuhkan dalam menyusun substansi pembelaan.

Lawyer tidak begitu mengerti mengenai substansi perkara dibanding anda (in house counsel, red) yang ada di dalamnya. Anda harus me-lead dalam hal pembelaan substansinya,” ujar Fredrik.

Tak hanya itu, hubungan yang baik antara lawyer dengan in house counsel harus dibangun sehingga memudahkan untuk saling bertukar informasi. Lawyer external juga harus bisa menggali informasi dengan baik sebab nantinya informasi itu menjadi pesan yang akan disampaikan kepada hakim dalam persidangan.

”Peran kami sebagai external lawyer adalah how to deliver the message in the way that they can easily understand, itu aja sebenarnya,” sambungnya.

Kendala Minutasi
Salah satu yang masih menjadi persoalan saat ini adalah paradigma mengenai lambannya penanganan perkara, khususnya di pengadilan. Paradigma ini masih bergulir di kalangan praktisi. Berkaitan hal ini, Koordinator Tim Asistensi Teknis Tim Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung (MA), Aria Suryadi memastikan penanganan perkara di MA saat ini tidak seperti penanganan pada beberapa tahun silam.

Menurutnya, saat ini umur perkara lebih singkat, yaitu bisa selesai dalam waktu enam bulan. ”Kalau rata-rata perkara akan selesai dalam enam bulan di Majelis,” ujar Aria yang juga peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

Meski begitu, penanganan perkara oleh majelis hakim MA ini tidak dibarengi dengan percepatan dalam proses minutasi di pengadilan. Menurut Aria, MA menganut cara yang berbeda jika dibandingkan dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Di MA, putusan dibacakan terlebih dahulu baru kemudian diketik.

“Tapi jangan puas dulu di Mahkamah (MA) cuma enam bulan (penanganan perkara, red). Proses selanjutnya yang lebih lama adalah minutasi perkara. Kita darurat minutasi. Kita sangat kencang dalam memutus tapi minutasi sangat keteteran,” tutup Aria.

Tags:

Berita Terkait