Satjipto Rahardjo: Memorandum Sudah Menjadi Vonis
Berita

Satjipto Rahardjo: Memorandum Sudah Menjadi Vonis

Jakarta, hukumonline. Pakar sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa memorandum yang disampaikan DPR kepada Presiden pada 1 Februari lalu sudah merupakan suatu vonis atau final judgement daripada sebagai alat untuk mengingatkan pemerintah (Presiden).

Ari/APr
Bacaan 2 Menit
Satjipto Rahardjo: Memorandum Sudah Menjadi Vonis
Hukumonline

Menurut Satjipto, jika kita menggunakan jalur memorandum, maka seharusnya kita tunduk kepada logika memorandum. DPR membiarkan presiden memperbaiki kinerja pemerintahan dan beberapa bulan kemudian baru dipertanggungjawabkan kepada DPR. "Dan apabila presiden nyata-nyata telah menunjukkan prestasi yang sesuai diharapkan DPR, maka berhentilah proses memorandum sampai di situ," ujar Satjipto

Satjipto memandang bahwa suasana interaksi yang berkembang antara DPR dan Presiden, lebih bersifat bermusuhan (hostile) daripada keakraban (amicable). Maka untuk sementara dapat disimpulkan bahwa memorandum tidak dipakai secara keakraban, melainkan bermusuhan.

Oleh karena itulah, menurut Satjipto, makna dan logika memorandum menjadi buyar. "Sehingga, memorandum berubah arti dari peringatan menjadi penghukuman, vonis atau judgement," kata Satjipto. Bahkan memorandum dinilai oleh Satjipto, hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan politik jangka pendek.

Menurut Satjipto, memorandum DPR memuat butir-butir pernyataan untuk mengingatkan presiden tentang hal-hal yang (masih) harus dilakukan. Hal tersebut merupakan arti otentik dari meorandum. Namun kini, memorandum sudah tidak digunakan secara otentik dan genuine.

Satjipto menjelaskan bahwa memorandum yang otentik memiliki suatu atmosfer psikologis tersendiri, di antaranya adalah kesabaran dan kepercayaan. "Jika DPR melayangkan suatu surat peringatan kepada pemerintah, maka seharusnya hal tersebut berarti DPR mempunyai kepercayaan bahwa pemerintah dapat berubah menjadi lebih baik, dan itu ditunggu dengan kesabaran," ujarnya.

Sidang Istimewa

Sementara itu pakar hukum tata negara Bagir Manan  mengatakan bahwa kehadiran suatu memorandum tidak harus berakhir dengan Sidang Istimewa (SI). "Semua itu sepenuhnya tergantung dari jawaban yang diberikan oleh presiden," kata Bagir yang juga kandidat Ketua Mahkamah Agung (MA).

Namun menurut Bagir, apabila pada akhirnya berdasarkan jawaban dan kinerja presiden setelah ada memorandum dari DPR, ternyata tetap tidak memuaskan, sehingga DPR akhirnya meminta diadakannya Sidang Istimewa, maka MPR tidak boleh menolak permintaan atau usul tersebut.

Bagir beralasan bahwa DPR juga tempat penjelmaan kedaulatan rakyat dan seluruh anggota DPR adalah anggota MPR. Dengan demikian, permintaan atau usul tersebut tidak lain adalah permintaan dari anggota MPR sendiri. Terlebih lagi, sekarang ini anggota MPR yang berasal dari anggota DPR adalah 500 orang dari 700 orang anggota MPR.

Bagir menambahkan bahwa walaupun ada permintaan SI MPR yang meminta pertanggungjawaban Presiden (karena dianggap telah sungguh melanggar haluan negara), tidak dengan serta merta secara pasti dapat memberhentikan Presiden. "Segala sesuatunya bergantung kepada pertimbangan di MPR nanti," demikian komentar Bagir.

Tags: