Sarpin Rizaldi: Hakim, Mantan Pesepakbola dan Gitaris
Berita

Sarpin Rizaldi: Hakim, Mantan Pesepakbola dan Gitaris

Sempat bergabung dengan PS Hercules yang berpartisipasi dalam kompetisi Divisi Utama Persija.

HAG
Bacaan 2 Menit
Hakim Sarpin Rizaldi. Foto: RES
Hakim Sarpin Rizaldi. Foto: RES

Siapa yang tidak mengenal nama Sarpin Rizaldi? Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu ‘mendadak tenar’ pasca menjadi hakim tunggal untuk perkara praperadilan yang diajukan Komjen Polisi Budi Gunawan. Begitu Sarpin mengetok palu putusan yang mengabulkan sebagian permohonan Budi Gunawan, pro kontra pun bermunculan.

Seiring dengan pro kontra itu, nama Sarpin menjadi bahan perbincangan publik. Sebagian mencerca, sebagian lagi membela hakim asal Minangkabau, Sumatera Barat itu. Sejauh ini, publik hanya memperbincangkan Sarpin dalam konteks putusan perkara praperadilan Budi Gunawan, sedangkan sisi pribadinya nyaris tidak pernah terangkat.

Di balik putusan praperadilannya yang dinilai kontroversial, sosok Sarpin ternyata memiliki kisah perjalanan hidup yang menarik. Mari kita mulai dengan satu fakta ini, “Sarpin adalah mantan pemain sepakbola di Jakarta.”

Ya, sebagaimana dituturkan di sela-sela acara peringatan hari ulang tahun Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), akhir Maret 2015 lalu, Sarpin mengaku pertama kali merantau ke Jakarta dari kampung halamannya, Bukittinggi, sekira 34 tahun silam.

Kala itu, Sarpin yang baru saja lulus SMA tahun 1981, ‘nekat’ merantau ke Ibukota Negara untuk mengadu nasib menjadi pemain sepakbola, hobi yang dia gemari sejak remaja. Di Jakarta, Sarpin sempat bergabung dengan klub sepakbola PS Hercules yang tergabung dalam kompetisi Divisi Utama Persija.

“Saya merantau ke Jakarta, karena saya main bola. Saya bermain bola dulu di divisi utama Persija,” ujar Sarpin.

Namun, karier sepakbola Sarpin tidak berumur panjang. Orang tua Sarpin tidak setuju jika anaknya menjadi pesepakbola. Menurut mereka, menjadi pemain sepakbola tidak memiliki masa depan yang baik. Oleh karenanya, Sarpin diminta pulang kampung untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.

Sarpin lalu mendaftar ke dua universitas, Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang dan IKIP Padang. Akhirnya, Sarpin memilih Fakultas Hukum Universitas Andalas dengan progam Hukum Pidana, jurusan hukum acara pidana. Sekira empat tahun, Sarpin berhasil merampungkan studi.

“Dari angkatan 1982, saya yang pertama tamat dari sebanyak 300 mahasiswa seangkatan. Saya termasuk yang utama, agar orang-orang tahu saya itu tidak bodoh. Itu masa transisi ke sistem SKS. Itu berbeda dengan sistem SKS yang sekarang,” jelasnya.

Setelah mendapatkan gelar Sarjana Hukum, Sarpin kembali merantau ke Jakarta untuk mengikuti tes calon hakim dan jaksa. Hasilnya, Sarpin dinyatakan lolos, baik untuk seleksi jaksa maupun hakim. Namun, Sarpin memilih hakim karena itu adalah cita-citanya

“Saya langsung mengambil hakim setelah tamat Desember 1986. Tes cakim (calon hakim) 1987, saya hijrah ke Jakarta merantau, langsung lulus. Tahun itu, ada dua periode penerimaan. Penerimaan jaksa dan penerimaan hakim. Ahamdulillah saya dua-duanya lulus. Saya pilih cakim karena memang sudah cita-cita saya,” ujarnya.

Setelah menjadi cakim selama empat tahun, Sarpin kemudian mendapatkan SK pengangkatan hakim pada tahun 1992. “Menjadi cakim itu butuh waktu lama, jadi jangan pikir kalau jadi hakim itu gampang. Cakim saja empat tahun,” pukasnya.

Selama menjadi hakim, Sarpin mengaku beberapa kali menangani perkara yang cukup menarik perhatian masyarakat. Seperti pada saat dinas di Aceh, dirinya merupakan salah satu majelis yang memeriksa dan memutus perkara panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Saya pernah dinas di Aceh, pada waktu bergejolak tahun 1998 di Lhokseumawe saya ada di situ menjadi majelis yang menyidangkan panglima GAM,” tambahnya.

Menurutnya menjadi hakim merupakan tugas yang sangat berat. Saat menangani perkara yang menarik perhatian masyarakat, kata Sarpin, pasti akan menguras  tenaga. “Siang pagi sampai malam sidang, sampai di rumah masih memikirkan untuk membuat putusan,” ujarnya.

Selain itu, perkara yang cukup menarik perhatian yang ia periksa ialah perkara mengenai kasus korupsi ASABRI. Menurutnya, perkara tersebut merupakan perkara yang cukup menguras tenaga selama dia menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

“Jadi waktu di Jakarta tahun 2005-2009, saya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, perkara yang paling menarik waktu di Jakarta Timur, kasus korupsi ASABRI, perkara itu saya ketua majelisnya. Itu termasuk yang menguras tenaga,” tambahnya.

Dituturkan Sarpin, seorang hakim harus berpegangan pada tiga hal yakni keadilan, kebermanfaatan, dan kepastian hukum. Menjadi hakim, lanjut dia, tidak boleh parsial dan hanya memutus perkara berdasarkan hukum, tanpa memikirkan risiko.

“Jadi kita memutus seperti itu. Jangan lihat kiri kanan lihat ke depan, periksa perkara dengan baik jangan imparsial, jangan melanggar kode etik. Putus sesuai dengan fakta,” tegasnya.

Sarpin memiliki kiat sederhana bagaimana memutus perkara tanpa dipengaruhi pihak-pihak luar. Kiatnya, tinggalkan telepon seluler di rumah ketika bekerja. “Ya tinggalkan saja handphone di rumah, jangan hiraukan telepon yang masuk selama masih memeriksa perkara atau membuat keputusan,” jelasnya.

Terkait putusannya dalam perkara praperadilan Budi Gunawan yang menuai banyak kritik, Sarpin menegaskan bahwa kritik harus dibedakan dengan fitnah atau pencemaran nama baik. Sarpin sendiri mengaku tidak anti kritik. Pria yang memiliki dua anak ini bahkan merasa senang jika dikritik. Namun, dalam konteks demokrasi, menurut dia, kritik pun harus ada batasnya.

“Kalau bisa orang bilang demokrasi orang boleh menghina. Coba tunjukkan kepada saya mana dasar hukumnya. Orang boleh saja mengkritik, tapi jangan menghina orang dan mencemarkan nama baik orang,” ujarnya.

Sejak resmi diangkat tahun 1992, kini hampir seperempat abad sudah Sarpin menjalani profesi hakim. Di tengah keseriusan menggeluti profesi hakim, Sarpin masih sempat meluangkan waktu untuk hobinya yakni olahraga dan seni.

Untuk hobi yang disebut terakhir, Sarpin bahkan tergabung dalam sebuah band bernama Grace Music Studio. Sarpin menjadi gitaris. Terakhir, kata Sarpin, Grace Music Studio tampil di acara pernikahan keponakannya.

“Karena saya kan orang kampung, kalau ada kegiatan olahraga ya saya ikut, kalau tidak ada saya bersih-bersih rumah, ya apa saja saya lakukan. Kalau mau nyanyi pun nyanyi,” tuturnya santai.

Tags:

Berita Terkait