Saran Asosiasi Agar Perusahaan Fintech Tak Terjerat Masalah Hukum
Berita

Saran Asosiasi Agar Perusahaan Fintech Tak Terjerat Masalah Hukum

Selalu mematuhi aturan yang berlaku. Konsumen juga diimbau memahami mekanisme penagihan dan konsekuensi atas gagalnya pembayaran pinjaman.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Praktik penagihan intimidatif dan pelanggaran hukum perusahaan pinjam-meminjam online atau financial technology (fintech) kian menjadi sorotan publik. Tidak hanya perusahaan fintech ilegal, tapi perusahaan berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga dilaporkan karena dianggap melakukan pelanggaran hukum terhadap konsumen.

 

Keluhan konsumen mengenai pelanggaran hukum yang dilakukan fintech juga kian bertambah. Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyatakan sebanyak 283 pengaduan masyarakat telah diterima sejak Mei lalu. Modusnya mulai dari cara penagihan yang kasar hingga tingginya bunga pinjaman menjadi persoalan yang paling sering dialami masyarakat sebagai konsumen.

 

Menanggapi persoalan tersebut, Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia, Sunu Widiatmoko, menyampaikan agar seluruh perusahaan fintech mematuhi seluruh ketentuan yang berlaku. Menurutnya, perusahaan fintech perlu menerapkan manajemen risiko terhadap peminjaman yang disalurkan sehingga tidak menimbulkan praktik-praktik pelanggaran hukum dalam penagihannya.

 

“Kami menegaskan bahwa seluruh anggota AFPI khususnya fintech bidang pendanaan Multiguna yang terdaftar di OJK diwajibkan semuanya mematuhi aturan pagu biaya (manajemen risiko) yang melindungi konsumen,” kata Sunu, Selasa (6/11).

 

Dia menjelaskan pagu biaya tersebut diterapkan apabila pinjaman telah melewati masa penagihan maksimal 90 hari dari tenggat waktu pembayaran maka jumlah pinjaman dan pokok dijamin tidak akan bertambah.

 

“Jadi, jika konsumen memiliki pinjaman senilai Rp2 juta, namun kemudian mengalami kesulitan dalam pengembalian, maka maksimal nilai total pinjaman beserta biaya-biaya keseluruhan tidak boleh melebihi 100% dari nilai pokok atau prinsipal. Artinya, tidak ada beban biaya tambahan yang terus berjalan.  Waktu penagihan pun berhenti pada hari ke-90 dari tanggal jatuh tempo pembayaran,” kata Sunu.

 

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dan Kode Perilaku Pasar (Market Conduct) memang tidak diatur secara detail mengenai batasan waktu ini. Menurutnya,  penerapan dari pagu biaya ini mekanismenya diserahkan kepada masing-masing penyelenggara.  Berdasarkan data AFPI, Sunu menjelaskan terdapat beberapa perusahaan fintech yang sudah memberhentikan biaya-biaya setelah melewati hari ke-30.  

 

“Dengan penerapan pagu biaya ini, konsumen sudah terlindungi dari kekhawatiran beban biaya pinjaman yang memberatkan,” jelas Sunu. 

 

(Baca Juga: Jenis-jenis Pelanggaran Hukum di Industri Fintech)

 

Selain itu, Sunu juga mendorong agar para anggotanya memperoleh sertifikasi ISO/ICE 27001 terkait sistem manajemen penanganan informasi, sesuai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No.4 Tahun 2016 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi.

 

Pasal 7:

  1. Penyelenggara Sistem Elektronik yang menyelenggarakan Sistem Elektronik strategis harus menerapkan standar SNI ISO/IEC 27001 dan ketentuan pengamanan yang ditetapkan oleh Instansi Pengawas dan Pengatur Sektornya.

 

Menurut Sunu, sertifikasi ini merupakan bagian dari manajemen risiko dan menjaga keamanan data kepada setiap layanan yang diberikan kepada konsumen.  Selain itu, pihaknya juga akan mendorong penerapan standarisasi dan sertifikasi bagi proses penagihan yang dilakukan oleh para anggota AFPI kepada konsumen.

 

“Di mana proses penagihan harus sesuai dengan kode etik penagihan yang telah disetujui oleh seluruh anggota AFPI dan para agen penagihan harus memiliki sertifikasi yang dikeluarkan oleh Asosiasi,” kata Sunu.

 

(Baca juga: Mari Kenali Mekanisme Penagihan yang Tepat di Perusahaan Fintech)

 

Dari sisi konsumen, Sunu juga mengimbau agar konsumen menyadari mekanisme pembayaran dan konsekuensi atas kegagalan pembayaran. Sehingga, dia menekankan agar konsumen juga harus berhati-hati saat mengajukan pinjaman.

 

Setiap calon peminjam diimbau wajib mengidentifikasi apakah penyelenggara pinjaman merupakan perusahaan yang telah terdaftar di OJK. Sebelum melakukan peminjaman, setiap calon peminjam juga wajib membaca setiap persyaratan secara detail, termasuk komponen bunga dan biayanya. 

 

“Calon peminjam juga harus mengukur kapasitasnya untuk mengembalikan pinjaman serta memiliki niat baik  dan tidak menunda pengembalian pinjaman,” tambahnya. 

 

Sebelumnya, Kepala Divisi Advokasi Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban (PMU) LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sari Sirait, mengatakan dari laporan yang mereka terima terdapat bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan fintech kepada konsumen.

 

Jenis-jenis pelanggaran hukum yang dilakukan fintech tersebut berupa penagihan yang kasar hingga pelecehan seksual. Selain itu, perusahaan fintech tersebut juga menggunakan data kontak telepon konsumen untuk menagih konsumen melalui pihak luar seperti atasan kerja, mertua hingga teman sekolah.

 

“Penagihan ke nomor telepon yang ada di ponsel, peminjam menjadi di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja, diceraikan oleh pasangan mereka karena menagih ke mertua, trauma karena pengancaman, kata-kata kotor, dan pelecehan seksual. Selain itu, akibat bunga yang sangat tinggi juga menyebabkan konsumen yang gagal bayar menjadi frustasi sehingga berupaya menjual organ tubuh seperti ginjal sampai upaya bunuh diri,” jelas Jeanny.

 

Menurut Jeanny, penegakan hukum terhadap fintech ini masih minim. Pasalnya, berdasarkan laporan korban kepada kepolisian penegakkannya masih lambat. “Kami ada bukti pelaporan korban ke kepolisian beberapa bulan lalu, namun sampai sekarang tidak ada tindak lanjut. Korban sudah mengirimkan permohonan SP2HP (surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan) dan tidak direspons,” kata Jeanny.

 

Meski banyak pelanggaran dalam penagihan perusahaan fintech ini, Jeanny tetap berpendapat pengembalian pinjaman adalah kewajiban yang harus dipenuhi konsumen. Namun, persoalan-persoalan yang muncul akibat dari pelanggaran hukum fintech harus mendapat tindakan dari regulator dan penegak hukum.

 

Tags:

Berita Terkait