Saran Ahli Hukum ke KPK tentang Lepasnya Terdakwa BLBI
Berita

Saran Ahli Hukum ke KPK tentang Lepasnya Terdakwa BLBI

KPK bisa ajukan uji materi untuk mencari celah ajukan PK

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Komisi Pemberantasan Korupsi kembali tangkap hakim. Foto: Sgp
Komisi Pemberantasan Korupsi kembali tangkap hakim. Foto: Sgp

Lepasnya Syafruddin Arsyad Tumenggung dari tuntutan hukum, terdakwa kasus pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi pekerjaan rumah bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab selain ini adalah kali pertama seorang terdakwa korupsi lepas dari tuntutan hukum, perkara tersebut juga masih berkaitan dengan tersangka lain yaitu Sjamsul dan Itjih Nursalim.

 

Pertanyaannya apa yang bisa diperbuat KPK atas putusan ini? Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia Akhiar Salmi mengatakan KPK bisa saja menempuh Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Salah satu materinya, Jaksa atau Biro Hukum KPK harus menggali alasan dua hakim agung yaitu Syamsul Rakan Chaniago dan M. Asikin yang menganggap kasus tersebut bukan ranah pidana, tetapi perdata dan administrasi.

 

Tetapi sebelum mengajukan KPK harus mengetahui syarat dari PK, yang masalahnya kemudian salah satu syarat dari PK yaitu tidak bisa diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dan PK hanya bisa diajukan oleh terpidana ataupun keluarganya. MK pun menegaskan hal tersebut setelah adanya uji materi yang dimohonkan Anna Boentaran, istri Terpidana kasus Cessie Bank Bali, Djoko S. Tjandra.

 

Menurut Akhiar, atas hal tersebut KPK bisa saja kembali melakukan uji materi atas putusan MK itu. “Kalau KPK kan bisa untuk uji materiil, siapa tahu yang diuji lagi orang lain bisa saja diubah putusan. Nanti diuji lagi hal yang sama pasal yang sama bisa saja berubah,” ujarnya kepada hukumonline, Senin (15/7).

 

(Baca juga: Mengintip Memori Kasasi Terdakwa BLBI yang Diputus Lepas)

 

Akhiar berpendapat, putusan MK dalam penegasan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang salah satunya menyatakan hanya terpidana atau ahli waris yang berhak mengajukan PK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar serta asas equality before the law. Harusnya, kata Akhiar MK membatasi kapan waktu maksimal aparat penegak hukum bisa mengajukan PK, bukan memberikan kewenangan secara absolut jika penegak hukum tidak bisa mengajukan PK.

 

“Semua pihak sama di mata hukum. Terpidana bisa PK, jaksa tidak bisa, harusnya batasi saja kapan PK bisa diajukan. Kalau masalahnya itu takut tidak ada kepastian hukum, kita batasi karena tidak tertutup kemungkinan di belakang ada novum. Kita batasi ada berapa tahun nih, itu saja yang kita batasi. Tapi harus diperlakukan sama, kan itu ada asas Equality Before The Law, kenapa terpidana PK tapi jaksa tidak bisa,” terangnya.

 

Akhiar juga menyoroti segala putusan MK yang sifatnya Final and Binding termasuk penegasan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tentang PK. Menurutnya hukum harus bersifat dinamis mengikuti perubahan nilai yang ada di masyarakat, sehingga tidak bisa suatu putusan MK sifatnya final dan mengikat sepanjang waktu.

 

Ia membandingkan sifat dari putusan MK dan putusan MA yang hanya menjadi yurisprudensi dan tidak bersifat mengikat. “Nilai masyarakat selalu berubah, berapa lama putusan MK ini tidak bisa berubah. Saya setuju semacam yursiprudensi MA, itu kan dia tidak mengikat yang lain, satu putusan dengan yang lain bisa berubah. Okelah mereka 9 majelis panel terus kan, kita batasi. Saran saya itu, berapa tahun yang cocok sesuai dengan perkembangan masyarakat kita, contohnya mengenai PK ini,” jelasnya.

 

Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menilai putusan MK bersifat final and binding termasuk mengenai PK. Sehingga aparat penegak hukum jika mengacu pada putusan tersebut tidak bisa lagi mengajukan PK. "Dengan melihat pada putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 maka tidak ada celah bagi siapapun untuk melakukan PK kecuali terpidana atau ahli warisnya," pungkasnya. 

 

Mengutip putusan MK, ia menjelaskan Pasal 263 ayat (1) KUHAP memuat 4 landasan pokok; Pertama, PK hanya diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan. Ketiga, permohonan PK hanya dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya. Keempat, PK hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.

 

(Baca juga: Empat Fakta Lepasnya Terdakwa BLBI di MA)

 

Disinggung apakah hal ini termasuk dalam perkara Syafruddin Arsyad Tumenggung, Bayu memang mengatakan keputusan itu untuk seluruh perkara. Sebab putusan MK tidak berbicara mengenai kasus tertentu, tetapi MK memutus konstitusionalitas norma yang sifat putusan MK selain final juga erga omnes (berlaku untuk semua perkara). "Jadi perkara konkret lah yang harus menyesuaikan dengan putusan MK dan bukan sebaliknya," terangnya. 

 

Saat ditanya apakah KPK bisa menguji kembali Pasal 263 ayat (1) KUHAP untuk mencari celah melakukan PK, Bayu mengamininya. "Bisa saja asal ada alasan konstitusional yang berbeda secara nyata," tuturnya. 

 

Dihubungi hukumonline, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif belum mau berbicara banyak mengenai langkah apa yang akan diambil lembaganya atas lepasnya Syafruddin dari tuntutan hukum. "Belum terima putusan lengkap dari MA," ujarnya. 

Tags:

Berita Terkait