Sanksi Administrasi Penting dalam Perlindungan Lingkungan
Berita

Sanksi Administrasi Penting dalam Perlindungan Lingkungan

Mas Ota dianggap menyalahi guru karena menggunakan istilah hukum administrasi.

ALI
Bacaan 2 Menit
Sidang disertasi doktor Mas Achmad Santosa di FHUI, Sabtu (21/6). Foto: ALI
Sidang disertasi doktor Mas Achmad Santosa di FHUI, Sabtu (21/6). Foto: ALI
Ahli Hukum Lingkungan Mas Achmad Santosa menuturkan pentingnya penegakan hukum atau sanksi administrasi dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.   

Mas Ota – sapaan akrabnya – menyampaikan hal ini di dalam disertasinya pada sidang doktoral di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Depok, Jawa Barat, Sabtu (21/6). Ia mengambil delapan kasus sebagai studinya di Provinsi Jawa Tengah. Disertasinya bertajuk “Efektivitas Penegakan Hukum Adminstrasi dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia: Studi Kasus di Provinsi Jawa Tengah”.

“Dari delapan studi kasus yang diteliti, terlihat bahwa penegakan hukum administrasi di daerah efektif apabila terdapat intervensi KLH (Kementerian Lingkungan Hidup,-red), antara lain melalui kegiatan pendeteksian pelanggaran yang merupakan bagian dari Proper,” ujar Mas Ota menyampaikan salah satu kesimpulan dalam disertasinya.

Salah seorang penguji Prof. Rosa Agustina Pangaribuan mengatakan dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dikenal tiga jenis sanksi. Yakni, administrasi, perdata dan pidana. Perdata mencakup kerugian, yaitu fault-based liability (Pasal 1365 KUHPer) dan strict liability.

“Bagaimana pendekatan fault-based liability ini? Tolong dijelaskan,” ujarnya.

Rosa juga mencoba menggali pandangan Mas Ota seputar ketentuan yang bisa memidanakan korporasi. “Bagaimana pandangan Saudara mengenai posisi korporasi yang bisa dikenakan tanggung jawab perdata ke pidana?” tanyanya lagi.

Mas Ota menjelaskan bahwa dalam disertasinya memaparkan pentingnya peran hukum administrasi dalam lingkungan dan ekosistem. Namun, bukan berarti sanksi perdata dan sanksi pidana tidak relevan dalam persoalan ini. Ia menuturkan bahwa semua sanksi itu bisa digunakan untuk kasus-kasus tertentu.

Lebih lanjut, Deputi VI Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) ini menjelaskan bahwa hukum nasional sudah mengalami kemajuan. Salah satunya adalan Indonesia telah mengakui konsep strict liability (atau liability without fault).  

Mas Ota berpendapat bahwa fault-based liability memiliki kelemahan apabila mengikuti perkembangan industri yang semakin pesat baik di dunia maupun di Indonesia. “Penggugat harus membuktikan adanya unsur kesalahan. Ini sulit dalam konteks pencemaran. Tak selamanya, perusak lingkungan itu melanggar UU, karena UU itu terbatas,” jelasnya.

Namun, lanjut Ota, dalam konsep strict liability memiliki pengecualian dari Pasal 1365. “Konsep strict liability ini cukup membuktikan adanya kerugian dan kerugian itu berasal dari tergugat,” tambahnya.

Sementara, terkait pidana korporasi, ia menuturkan bahwa itu sudah diatur dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Tak hanya pelaku fisik, tapi fungsional dari korporasi juga bisa dikenai pidana,” jelasnya.

Hukum Administrasi
Prof. Benyamin Hussein mengajukan pertanyaan ‘simpel’ yang cukup membuat Mas Otta mengernyitkan dahinya. “Mengapa Anda menggunakan istilah hukum adminsitrasi? Sementara, istilah yang lain sangat banyak,” ujarnya.

Benyamin menambahkan bahwa ada banyak istilah sama merujuk ke ‘hukum adminsitrasi’ ini. Misalnya, Pasal 118 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang menggunakan istilah ‘Hukum Tata Usaha’. Sedangkan, Kusumadi (salah seorang ahli) menggunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara.

Sementara, sekelompok ahli lainnya, seperti Utrecht, Oetarid Sadino, Phillipus M Hadjon menggunakan istilah “hukum adminstrasi’. “Saya dan Prof Prajudi menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara,” ujarnya.

“Mengapa pilih itu (Hukum Administrasi)? Anda menyalahi guru Anda,” sergahnya setengah berseloroh.

Ota terlihat kaget mendapat pertanyaan ini. “Ini pertanyaan yang sangat sulit,” akunya.

Lalu, ia menjelaskan bahwa dalam komunitas hukum lingkungan, memang cukup banyak digunakan istilah “Administrative Enforcement”. “Saya dapat pengaruh yang kuat dari situ,” ujarnya.

Selain itu, Ota juga berpendapat bahwa hukum administrasi memiliki fungsi – salah satunya – membatasi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. “Dua alasan itu yang menjadi dasar mengapa saya pilih istilah hukum administrasi,” ujarnya.

Benyamin terlihat tak puas dengan jawaban itu. “Saya belum mendapat jawabannya,” ujarnya sambil beralih ke pertanyaan lain.

Sebagai informasi, Mas Ota akhirnya lulus dan memperoleh gelar doktor hukum dalam sidang doktoral ini dengan predikat sangat memuaskan. Ia tercatat sebagai doktor hukum ke-207 yang telah lulus dari Universitas Indonesia.
Tags:

Berita Terkait