Saling Serobot Menguras Perut Bumi
Utama

Saling Serobot Menguras Perut Bumi

Tumpang tindih wilayah Kuasa Pertambangan sudah menjadi persoalan klasik. Masalah itu makin menggurita tatkala terbit UU Pemda. Akibatnya, timbul euforia di daerah dalam hal perebutan kewenangan.

Sut
Bacaan 2 Menit

 

Purnomo juga pernah mengatakan, konflik adanya overlapping KP itu muncul lantaran kurangnya komunikasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat setempat. Begitu juga dengan masih minimnya pemahaman dan konsistensi masing-masing pihak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.

 

Irwandy Arif, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) memetakan delapan konflik dalam pelaksanaan otonomi daerah bidang ESDM. Pertama, kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, tumpang-tindih lahan pertambangan dengan kegiatan sektor kehutanan, royalti, dan revenue sharing antara pusat dan daerah. Ketiga permintaan daerah untuk bisa menerima secara langsung royalti dari perusahaan pertambangan. Keempat, keterbatasan akses daerah atas data produksi dan potensi energi dan sumber daya mineral.

 

Lalu kelima, peraturan perundang-undangan yang ada belum memadai serta adanya peraturan yang saling bertentangan dan tumpang-tindih. Keenam, perizinan baru yang tumpang-tindih dengan perizinan sebelumnya. Ketujuh, kesulitan teknis untuk mengeluarkan perizinan, khususnya KK dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Dan kedelapan persoalan yang terkait dengan program community development.

 

Menurutnya, masalah tumpang-tindih lahan di era otonomi daerah, berawal dari penerbitan PP No. 75/2001. Peraturan itu disusun untuk mewujudkan komitmen pemerintah dalam melaksanakan desentralisasi di sektor pertambangan. Akan tetapi, peraturan pemerintah yang bersifat desentralistik tersebut tidak sejalan dengan UU Pertambangan, yang masih bersifat sentralistik, ujarnya dalam rubrik opini Koran Tempo, Sabtu (14/6).

 

Kontradiksi itulah, kata dia, yang menyebabkan ketidakpastian hukum tidak hanya bagi investor prospective, tapi juga bagi investor existing. Menurutnya, penerbitan PP No. 75/2001 tanpa dibarengi dengan penyusunan perangkat perundang-undangan dari sektor terkait lain memberikan ruang diskresi bagi pemda untuk mengeluarkan kebijakan yang bersifat sempit dan jangka pendek. Apalagi, naiknya harga komoditas pertambangan telah menghadirkan wajah-wajah baru yang belum tentu memiliki kompetensi dan komitmen untuk memajukan sektor pertambangan nasional.

 

Tags: