Salah Objek, Uji Perubahan UU KPK Kandas
Berita

Salah Objek, Uji Perubahan UU KPK Kandas

Karena para pemohon memasukan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Perkawinan sebagai Perubahan UU KPK. Seharusnya memasukan pengujian UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materi UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diajukan 190 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Alasan MK, para pemohon salah memasukkan nomor Undang-Undang (UU) yang menjadi objek permohonan.   

 

“Menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan putusan bernomor 57/PUU-XVII/2019 di ruang sidang MK, Kamis (28/11/2019).  

 

Permohonan ini diajukan 190 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia diantaranya Muhammad Raditio Jati Utomo; Deddy Rizaldy Arwin Gommo; Putrida Sihombing; dkk. Mereka mengajukan uji formil dan materil atas Perubahan UU KPK ini. Secara formil, pembentukan Revisi UU KPK ini tidak memenuhi asas keterbukaan sesuai Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

 

Secara materil, Para Pemohon mempersoalkan syarat-syarat pemilihan anggota KPK dan pemilihan pimpinan KPK di Komisi III DPR yang telah diatur Pasal 29 UU KPK. Menurutnya, pemilihan Firly Bahuri sebagai ketua KPK yang baru menuai pro dan kontra. Seharusnya ada mekanisme atau upaya hukum melalui (pembuktian) pengadilan untuk membuat terang proses pemilihan pimpinan KPK itu demi menghilangkan fitnah atau polemik di masyarakat.

 

Karena itu, dalam petitum provisinya, Para Pemohon meminta MK memerintahkan DPR dan Presiden untuk memberhentikan (membatalkan) pelantikan lima anggota KPK terpilh. Selain itu, pembentukan Perubahan UU KPK ini mengabaikan prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik seperti tertuang dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang mengatur adanya prinsip keterbukaan, sehingga mesti dibatalkan. (Baca Juga: Mahasiswa Uji Revisi UU KPK, Ini Saran Hakim MK)

 

Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan setelah membaca dengan seksama perbaikan permohonan para pemohon, ternyata UU No. 16 Tahun 2019 yang disebut para pemohon dalam posita dan petitumnya sebagai UU Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Hal ini tidak benar karena UU No. 16 Tahun 2019 adalah UU Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

 

“Karena itu, permohonan para pemohon berkenaan dengan UU No. 16 Tahun 2019, yang menurut para pemohon adalah UU Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan permohonan yang salah objek (error in objecto),” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah.   

 

Terkait pengujian Pasal 29 angka 9, Pasal 30 ayat (13), dan Pasal 31 UU No. 30 Tahun 2002, karena permohonan berkaitan pengujian formil telah salah objek, Mahkamah menilai permohonan atas pengujian UU No. 30 Tahun 2002 secara substansi masih berhubungan dengan substansi permohonan yang telah dipertimbangkan. Dengan demikian, sebagai konsekuensi yuridis pemohonan ini tidak ada relevansinya untuk dipertimbangkan.

 

“Lagipula, UU No. 30 Tahun 2002 telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2019. Apabila para pemohon hendak mengajukan pengujian Pasal 29 angka 9, Pasal 30 ayat (13), dan Pasal 31 UU No. 30 Tahun 2002 seharusnya berkaitan dengan UU No. 19 Tahun 2019,” tegasnya.

 

Mahkamah beralasan kedua UU tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan demikian, pokok permohonan yang berkaitan dengan norma dalam UU No. 30 Tahun 2002 tidak akan dipertimbangkan lebih lanjut. “Karena permohonan para pemohon salah objek (error in objecto).”

 

Ada kejanggalan

Kuasa hukum para pemohon Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menilai sejak awal permohonan ini ada kejanggalan. Pertama, MK memajukan jadwal sidang pendahuluan 10 hari lebih awal dari yang sudah dijadwalkan. “Sebelumnya perkara yang kita ajukan ini sudah terjadwal pada 9 Oktober, tetapi jadwal sidang pendahuluan dimajukan menjadi 30 September 2019,” kata Zico.

 

Dia melanjutkan sidang perbaikan permohonan seharusnya dijadwalkan pada 23 Oktober, tetapi kembali dimajukan pada Senin 21 Oktober. Sementara Perubahan UU KPK baru diberi nomor pada tanggal 17 Oktober 2019. Dan perbaikan permohonan harus sudah disampaikan pada 14 Oktober 2019.

 

Kedua, kata Zico, para pemohon sudah mengajukan pencabutan permohonan ke MK, tapi MK tetap memutus permohonan. Terkait persoalan salah memasukan nomor UU yang diuji, ia menuturkan panitera MK pernah menghubunginya bahwa perbaikan permohonan harus segera dimasukan tanggal 14 Oktober 2019. Padahal, sidang perbaikan tanggal 23 Oktober dan dimajukan menjadi 21 Oktober. Sedangkan, revisi UU KPK baru keluar nomornya tanggal 17 Oktober 2019.

 

“Saya sudah bilang ke panitera MK, nomor baru keluar tanggal 17 Oktober, tapi kenapa diharuskan mengirim berkas perbaikan tanggal 14 Oktober. Tapi, kata paniteranya nanti pas sidang perbaikan permohonan tanggal 21 Oktober bilang saja ke hakim UU-nya bernomor 19, bukan 16. Awalnya saya tidak mau, tapi akhirnya saya terpaksa memasukan nomor 16.”

 

Dengan demikian, pengujian Perubahan UU KPK tersisa empat permohonan. Permohonan pertama diajukan 25 orang yang berprofesi sebagai advokat yang mengajukan uji formil dan materil atas Perubahan UU KPK. Pengujian formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan pengujian materiil terhadap Pasal 21 ayat (1) huruf a UU ini terkait konstitusionalitas keberadaan Dewan Pengawas KPK.

 

Permohonan kedua, diajukan oleh Gregorius Yonathan Deowikaputra yang berprofesi sebagai pengacara. Dia merasa dirugikan dengan kinerja DPR yang telah dipilih dan diberi mandat menjalankan fungsinya, antara lain fungsi legislasi yang tidak melaksanakan amanah tersebut secara baik, jujur, adil, terbuka, itikad baik, dan bertanggung jawab.  

 

Gregorius menilai proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK dapat dikatakan telah dilakukan secara tertutup dan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan atau meminta masukan masyarakat luas. Karena itu, dalam petitum permohonannya, Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan proses pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Baca Juga: 25 Advokat Perkuat Alasan Uji UU KPK

 

Sementara permohonan ketiga diajukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid; Abdul Jamil (Dekan Fakultas Hukum UII); Eko Riyadi (Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII); Ari Wibowo (Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi FH UII); dan Mahrus Ali (Dosen FH UII). Mereka telah mendaftarkan permohonan uji formil dan materil terhadap Perubahan UU KPK ke MK pada 7 November 2019 lalu.

 

Permohonan keempat diajukan Tiga Pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang resmi melayangkan judicial review atas UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK ke MK. Permohonan ini didukung mantan Pimpinan KPK yakni M. Jasin, Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Juru Bicara KPK Betti S Alisjahbana, dan sejumlah tokoh diantaranya Mayling Oey, Abdul Ficar Hadjar, Abdillah Toha, Ismid Hadad yang juga tercatat sebagai Pemohon. 

 

Pengujian Perubahan UU KPK ini selain uji formil, juga mengajukan uji materil. Untuk uji formil, proses pengesahan revisi UU KPK terdapat beberapa kejanggalan, sehingga UU ini minta dibatalkan. Untuk uji materil, salah satunya ada pertentangan (kontradiksi) Pasal 69 D dan Pasal 70 C Perubahan UU KPK itu. Bahkan, sebenarnya ada kesalahan tentang pengetikan antara syarat komisioner KPK, apakah 40 tahun atau 50 tahun?

Tags:

Berita Terkait