Salah Kaprah PKPU oleh Kreditor
Berita

Salah Kaprah PKPU oleh Kreditor

Ada kesalahan logika berpikir apabila permohonan PKPU diajukan oleh kreditor.

HRS
Bacaan 2 Menit
Salah Kaprah PKPU oleh Kreditor
Hukumonline

Munir Fuady, praktisi dan pemerhati Hukum Kepailitan, mengatakan ada kesalahan besar dari UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Salah satu kesalahannya adalah Pasal 222 ayat (3) UU Kepailitan yang membolehkan kreditor mengajukan permohonan PKPU terhadap debitor.

Munir menganggap salah karena lazimnya, pihak yang meminta penundaan membayar utang adalah si berutang. Menjadi lucu jika pihak yang berpiutang meminta apabila piutangnya tidak dibayar segera. Lagipula, debitor lebih mengetahui kondisi keuangannya sendiri ketimbang kreditor. “Yang mengetahui kondisi keuangan debitor adalah debitor sendiri. Yang minta utangnya ditunda pembayarannya seharusnya debitor, bukan kreditor,” ucap Munir saat dihubungi hukumonline beberapa waktu lalu.

M. Hadi Subhan, dosen Hukum Kepailitan Universitas Airlangga, menganggap aneh PKPU yang dimohonkan kreditor. Bahkan, Hadi Subhan melihat ada kepalsuan jika PKPU diajukan kreditor. Sebab, ujung dari PKPU adalah pailit. Setelah debitor pailit, debitor tidak dapat mengajukan upaya hukum apapun. “Sebenarnya mau memailitkan, tapi lewat PKPU karena tidak ada upaya hukum,” tutur M Hadi Subhan saat seminar kepailitan di Jakarta.

Tidak hanya Munir dan Hadi Subhan, praktisi kepailitan Andrey Sitanggang juga melihat hal ini tidak logis. Andrey melihat pihak yang tepat untuk meminta restrukturisasi adalah debitor. Jika debitor berhenti membayar utang-utangnya, seharusnya kreditor menempuh upaya pailit.

Bahkan ketika kreditor mengajukan upaya pailit, debitor seharusnya tidak lagi mengajukan PKPU Tangkisan. Karena, baik kepailitan dan PKPU memiliki tujuan yang sama, yaitu perdamaian. Debitor memiliki hak untuk mengajukan perdamaian.

“Kalau mau berdamai, ya ajukan rencana perdamaian,  bukan dilawan dengan PKPU. Jadi, di sini ada logika yang kurang pas,” ucap Andrey saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kondisi ini membuat Andrey mengaku tidak terlalu nyaman. Sebab, ada beberapa wilayah yang menjadi perebutan debitor dan kreditor. Tak dapat dipungkiri, wilayah yang menjadi perebutan adalah penyusunan tim pengurus.

Berbeda, pengajar Hukum Kepailitan Teddy A Anggoro tidak mempersoalkan permohonan PKPU yang diajukan kreditor. Meskipun UU Kepailitan sebelumnya, yaitu UU No. 4 Tahun 1998 hanya membolehkan debitor yang mengajukan PKPU, Teddy beranggapan terlihat lebih adil jika kesempatan yang sama juga diberikan kepada kreditor.  “PKPU itu semata-mata untuk kepentingan debitor biar tidak pailit,” ucapnya ketika dihubungi hukumonline, Senin (12/8).

Berdasarkan penelusuran hukumonline, permohonan PKPU yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Niaga pada PN Jakpus periode Januari-Mei sebanyak 28 permohonan. Dari jumlah tersebut, hanya ada dua permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor sendiri. Sisanya, permohonan diajukan kreditor.

Melihat fenomena ini, Teddy mengatakan bahwa aturan PKPU memang dianggap sudah tepat dalam menyelesaikan persoalan utang piutang. Adapun persoalan iktikad buruk dari kreditor, Teddy mengatakan hal-hal seperti itu seolah-olah menyelami isi hati orang. “Itu seolah-olah melihat apa isi hati orang,” lanjutnya.

Lebih lagi, terhadap pandangan PKPU lebih kejam daripada pailit karena tidak ada upaya hukum, Teddy berpendapat sebaliknya. UU Kepailitan tetap memberikan kesempatan kepada debitor yang dinyatakan pailit karena putusan PKPU untuk mengajukan kasasi. “Coba lihat Pasal 256 UU Kepailitan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait