Salah Kaprah Memasukkan Yayasan ke dalam UU Ormas
Berita

Salah Kaprah Memasukkan Yayasan ke dalam UU Ormas

DPR dan pemerintah seharusnya mencabut UU Ormas dan mengembalikan pengaturan pada kerangka hukum yang benar.

ASH
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif PSHK Eryanto Nugroho. Foto: SGP
Direktur Eksekutif PSHK Eryanto Nugroho. Foto: SGP

Undang-undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dinilai secara berlebihan mengatur pendaftaran bagi organisasi yang tidak berbadan hukum. Pendaftaran ini dilakukan dengan memberikan surat pemberian Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari menteri/gubernur/bupati/walikota sesuai lingkupnya.

Bahkan, UU Ormas juga mengatur pendataan Ormas yang tidak berbadan hukum dan tidak memenuhi syarat pemberian SKT dilakukan oleh camat setempat. Syarat pendaftaran ormas ini diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 18 UU Ormas.

“Rezim pendaftaran ini berlebihan dan justru berpeluang mencederai kebebasan berserikat dan berkumpul dalam penerapannya,” kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Eryanto Nugroho saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan uji materi UU Ormas yang dimohonkan Pimpinan PP Muhammadiyah di gedung MK, Rabu (20/11).

Eryanto menegaskan organisasi yang tidak berbadan hukum sebenarnya sudah cukup dijamin keberadaannya dalam UUD 1945. Menurut dia, kalaupun diperlukan pendaftaran, di beberapa negara Civil Law, pendaftaran cukup dilakukan ke pengadilan, sehingga pendekatannya tetap dengan pendekatan hukum. Terlebih, tidak ada norma atau satu pasal pun dalam UU Ormas yang mewajibkan kepemililkan SKT.

Dia tegaskan potensi tercederainya kebebasan berserikat berkumpul bukanlah sesuatu yang mengawang-awang. Sudah ada beberapa contoh potensi kerancuan pengertian SKT. Seperti, Surat Edaran Gubernur Lampung No. 045.2/0427/11.03/2013 tentang Ormas/LSM yang terdaftar pada Pemprov Lampung. Dalam angka 5 Surat Edaran itu disebutkan Ormas, LSM, atau lembaga nirlaba di Lampung yang tidak memiliki SKT dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dianggap illegal.

“Kesbangpol Lombok Tengah menemukan 47 LSM, termasuk yang sering hearing ke sejumlah dinas dan DPRD tidak memiliki izin dan kantor, sehingga dianggap illegal. SKT ini berpotensi mencederai kebebasan berserikat berkumpul,” tegasnya.

Kerancuan
Kerancuan lain, lanjut Eryanto, adalah masuknya badan hukum yayasan dalam kategori Ormas seperti diatur dalam Pasal 11 UU Ormas. Aturan ini salah kaprah karena seharusnya pembuat undang-undang paham badan hukum yayasan adalah badan hukum yang tidak mempunyai anggota (non membership legal entity) seperti diatur Pasal 1 angka 1 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. 

“Sementara konsep ormas, melihat pada sejarah pembentukannya pada tahun 1985, jelas menyasar organisasi berbasis anggota (membership based organization),”jelasnya.

Kerangka hukum di Indonesia, seperti di negara Civil Law lain, mengenal bentuk hukum organisasi sosial menjadi dua: yayasan atau foundation (stichting), dan perkumpulan atau association (vereneging).  Yayasan merupakan sekumpulan kekayaan yang dipisahkan untuk tujuan sosial, berikutnya adalah sekumpulan orang. 

Peraturan mengenai badan hukum Perkumpulan hingga kini masih berdasar Stb.1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (rechtpersoonlijkheid van verenegingen).

Nugroho mengungkapkan Pasal 10 dan Pasal 11 UU Ormas yang terkesan mencampuradukkan pengertian ormas yang dapat berbadan hukum atau tidak, atau dapat berbentuk perkumpulan atau yayasan menimbulkan kerancuan, seakan seluruh bentuk organisasi di bidang sosial (altruism) adalah ormas.

UU Ormas seolah menempatkan bentuk Ormas sebagai payung dari seluruh bentuk organisasi sosial. Kerancuan ini berpotensi membuat organisasi sosial didekati dengan pendekatan politik dengan menjadi Ormas yang berada di bawah pembinaan Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri.

Dia menambahkan masuknya yayasan dalam pengertian Ormas dapat menimbulkan kerancuan dalam praktik yang berdampak besar.Sebab, badan hukum yayasan banyakdigunakan oleh rumah sakit, kampus, berbagai lembaga pendidikan, kesehatan, atau sosial. “Adanya UU Ormas ini, apakah mereka kemudian menjadiOrmas? Akhirnya, organisasi mana yang masuk Ormas ditentukan sepihak oleh pemerintah.”

Karena itu, Eryanto menyarankan agar DPR dan pemerintah seharusnya mencabut UU Ormas dan mengembalikan pengaturan pada kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum yayasan (untuk organisasi sosial tanpa anggota) dan badan hukum Perkumpulan (untuk organisasi sosial dengan anggota). Terlebih, RUU Perkumpulan telah masuk dalam Prolegnas 2010-1014.

Sebelumnya, Pimpinan PP Muhammadiyah mengajukan uji materi sejumlah pasal dalam UU Ormas yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), (2), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), Pasal 57 ayat (2), (3), Pasal 58, Pasal 59 ayat (1), (3) huruf a UU Ormas.

Pemohon beralasan  pasal-pasal tersebut bertentangan dengan paragraf keempat Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945. UU Ormas membatasi atau mengekang kebebasan berserikat dan berkumpul dengan dalih menciptakan ketertiban yang dibungkus melalui Undang-Undang yang bersifat represif dan mengandung nuansa birokratis. Pemohon meminta MK membatalkan 21 pasal itu.

Misalkan, Pasal 38 yang intinya ormas perlu mengumumkan laporan keuangan kepada publik secara berkala. Pemohon berdalih pasal ini hanya mengada-ada dan mereduksi makna Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Sebab, proses pertanggungjawaban apapun oleh ormas merupakan hak prerogatif ormas itu sendiri. Pasal 40 yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan ormas untuk meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan hidup ormas” juga dinilai berpotensi korupsi atas nama pemberdayaan ormas.

Tags: