Salah Kaprah Istilah "Penyintas" bagi Pelaku Korupsi
Terbaru

Salah Kaprah Istilah "Penyintas" bagi Pelaku Korupsi

Ada pihak-pihak yang ingin menggunakan istilah lebih kasar bagi pelaku korupsi seperti “maling”, "rampok", “pencuri” atau “garong uang rakyat”. Pandangan ini terjadi karena menggunakan paradigma retributif, sehingga pelaku korupsi harus menderita meski telah melewati masa hukumannya.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Beberapa waktu lalu, Forum Pemimpin Redaksi (Pimred) Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) menyepakati istilah koruptor diganti dengan "maling", "rampok" atau "garong uang rakyat". Sikap ini sebagai bentuk kritik terhadap wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akan menganti istilah koruptor dengan sebutan ’Penyitas Korupsi’. Sikap ini juga dinilai lebih tegas dibandingkan penamaan yang akan diterapkan KPK yang terkesan sangat halus.

Sebelumnya, cendekiawan muslim Profesor Muhammad Quraish Shihab juga mengatakan kalau penyebutan koruptor bagi terpidana korupsi dinilai terlalu halus. Kata pencuri dianggapnya lebih pantas. “Kenapa orang miskin yang mengambil bukan haknya dinamai pencuri, sementara pejabat atau pegawai, kita namai koruptor. Dia itu pencuri,” tegas Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) itu pada tayangan Shihab & Shihab, beberapa waktu lalu.

Menanggapi hal ini, Dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Eva Achjani Zulfa, menyatakan penggunaan istilah penyintas sangat erat kaitannya dengan paradigma pemidanaan penegak hukum tersebut yaitu KPK. Dia menilai penggunaan istilah penyintas oleh KPK karena menganggap mantan pelaku korupsi telah menjadi orang lebih baik setelah melewati hukuman. 

“Berdasarkan teori pemidanaan itu bertujuan untuk menghukum agar bisa menjadi manusia lebih baik. Orang dipidana tujuannya untuk apa? Dihukum untuk memperbaiki diri sehingga keluar dari lapas bisa jadi manusia lebih baik ada reedukasi, resosialisasi, rehabilitasi pelaku,” jelas Eva saat dihubungi Hukumonline, Senin (30/8).

Namun, dia menyatakan tidak setuju penggunaan istilah penyintas dilekatkan kepada pelaku korupsi. Menurutnya, penyintas ditujukan untuk orang yang mampu melewati atau sembuh dari suatu penyakit. Sehingga, defenisi tersebut tidak dapat disamakan bagi pelaku korupsi.  (Baca: Ini Catatan Kasus Korupsi yang Ditindak KPK Semester I 2021)

“Secara bahasa, terminologi itu (penyintas) terjemahan dari survival artinya penyintas Covid adalah orang yang sudah sembuh dari Covid. Ini enggak tepat kalau tindak pidana korupsi karena konsepnya bukan seperti narkoba yang sembuh, tidak bisa menggunakan pendekatan klinis. Bahwa orang itu telah mengevaluasi dirinya dan insyaf bukan sembuh, itu berbeda,” jelas Eva.

Sementara itu, terdapat juga pihak-pihak yang ingin menggunakan istilah lebih kasar bagi pelaku korupsi seperti maling, pencuri atau garong. Menurut Eva, pandangan tersebut terjadi karena menggunakan paradigma retributif sehingga pelaku korupsi harus menderita meski telah melewati masa hukumannya. Hal ini yang menyebabkan pihak-pihak tersebut menolak penggunaan istilah penyintas bagi pelaku korupsi.  

“Mungkin pihak-pihak lain di luar KPK melihat dari lensa lain sehingga koruptor itu harus menderita kalau perlu seumur hidup, pahamnya retributif, balas dendam. Hukuman 4 tahun, 10 tahun di lapas tidak cukup sehingga terpidana ini saat keluar dari tembok lapas, bebas selesai jalani hukumannya, proses penghukuman itu tidak berhenti. Kalau perlu menggunakan istilah eks narapidana koruptor sehingga stigma itu harus melekat seumur hidup. Itu pandangan retributif tadi sehingga menentang penggunaan istilah penyintas itu,” jelas Eva.

Menurut Eva, implikasi penggunaan istilah penyintas ini dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap KPK. Menurutnya, KPK akan dianggap cenderung melemah dalam penegakan tindak pidana korupsi.

Seperti dilansir Antara, salah satu kegiatan yang pertama kali dilakukan KPK sejak berdiri adalah melakukan penyuluhan kepada para narapidana perkara korupsi dalam program Penyuluhan Antikorupsi. Penyuluhan itu dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung terhadap 25 orang narapidana yang sedang menjalani program asimilasi atau sebentar lagi akan menghirup udara bebas.

Masyarakat siapa pun, termasuk di lapas, yang kebetulan punya pengalaman atau dapat disebut penyintas korupsi sehingga diharapkan dengan pengalaman yang mereka miliki bisa di-sharing kepada mereka yang diharapkan tidak jadi punya niat korupsi.

Plt. Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardana di Lapas Sukamiskin, Bandung, Rabu (31/3) lalu, mengatakan dalam program tersebut, KPK menggunakan pendekatan ilmu psikologi untuk memetakan narapidana asimilasi, antara lain dengan menggunakan metode komunikasi dua arah, mengenali kepribadian, analisis gesture, vibrasi suara, goresan tulisan, dan lain-lain. Pemetaan ini diharapkan akan menghasilkan data narapidana yang siap untuk dilibatkan dalam program antikorupsi.

Tags:

Berita Terkait