Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana
Terbaru

Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana

Pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu. Adanya saksi mahkota dalam peradilan perkara pidana karena adanya keterbatasan alat bukti yang dimiliki oleh Jaksa Penuntut Umum.

Willa Wahyuni
Bacaan 2 Menit

4. Negatief wettelijk stelsel, merupakan sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh UU dan keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Pengaturan mengenai saksi mahkota hanya diatur dalam ketentuan Pasal 178 huruf c KUHAP, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi.

Kemudian, dalam perkembangannya rekognisi mengenai saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana, diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.

Dalam yurisprudensi tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang jika Jaksa Penuntut Umum mengajukan saksi mahkota di persidangan sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian.

Lalu, di dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan satu definisi mengenai saksi mahkota, yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara di antaranya dipisah karena kurangnya alat bukti.

Pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk pernyataan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisah.

Jika dalam perkara pidana bentuk pernyataan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana.

Secara normatif, pengajuan dan penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang sangat bertentangan dengan prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak serta merupakan pelanggaran terhadap kaidah hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam KUHAP sebagai instrumen hukum nasional dan ICCPR.

Tags:

Berita Terkait