Saksi Kawin Campur Ungkap Kesulitan Miliki Rumah
Berita

Saksi Kawin Campur Ungkap Kesulitan Miliki Rumah

Sejumlah saksi pelaku perkawinan campuran ‘curhat’ pengalaman dan kesulitan yang mereka hadapi di hadapan hakim MK.

ASH
Bacaan 2 Menit
Saksi Kawin Campur Ungkap Kesulitan Miliki Rumah
Hukumonline
Setelah mendengar pandangan Pemerintah, sidang lanjutan pengujian sejumlah pasal UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) kembali digelar. Sidang kali ini, pemohonnya Ike Farida menghadirkan beberapa saksi pelaku kawin campur yang mengungkapkan sulitnya memperoleh kepemilikan rumah berupa hak milik (HM) atau  hak guna bangunan (GHB).

Salah satunya, Cahriani yang telah menikah dengan pria warga negara Jerman, yang gagal memiliki rumah toko di Bogor dengan fasilitas KPR pada April 2014. Pihak bank tidak mengabulkan KPR ini karena Cahriani diketahui menikah dengan warga negara asing dan tidak membuat  perjanjian kawin saat mereka menikah pada tahun 1993.     

“Ini sangat menyedihkan, saya harus mengalami perlakuan berbeda hanya karena saya menikah dengan warga negara asing,” ungkap Cahriani dalam sidang pengujian UU Agraria dan UU Perkawinan di ruang sidang MK, Selasa (11/8).

Dia menuturkan keinginan memiliki rumah toko itu sempat kembali diupayakan melalui permohonan penetapan pemisahan harta di Pengadilan Negeri Bogor. Namun, dua kali permohonan sebagai pengganti penjanjian kawin ini diajukan, PN Bogor tetap menolak permohonan Cahriani. Majelis beralasan sesuai Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan perjanjian pemisahan harta hanya dapat dilakukan sebelum atau saat perkawinan.

“Saya merasa terkucilkan menjadi warga negara Indonesia karena terdiskriminasi dan terampas hak saya untuk dapat memiliki HM dan HGB selama-lamanya dengan berlakunya pasal-pasal itu,” tuturnya.

Nasib serupa dialami saksi Rulita Anggraini yang telah menikah dengan warga negara Amerika Serikat pada 1993. Pada 2006, permohonan kreditnya pernah ditolak bank ketika hendak membeli rumah tua di daerah Jakarta Selatan dengan alasan menikah dengan warga negara asing dan tidak memiliki perjanjian kawin.

“Saat negoisasi sempat disepakati pembayaran tunai bertahap dalam jangka waktu setahun dan dilanjutkan dengan proses pembuatan Akta Jual Beli (AJB) Notaris,” ujar Rulita dalam persidangan yang diketuai Anwar Usman.

Rulita merasa kecewa ketika Notaris yang ditemui menyatakan proses AJB tidak bisa dilakukan atas nama Rulita dengan alasan menikah dengan warga negara asing dan tidak mengantongi perjanjian kawin. “Mendengar ini, jantung serasa terhenti, menangis, tidak pernah terlintas kenapa perkawinan kami bisa seperti ini?” ujarnya dengan nada sedih.

Lalu, notaris menyarankan agar AJB menggunakan nama orang lain yang masih kerabat atau memalsukan karta tanda penduduk dengan status belum menikah. “Akhirnya, saya mengikuti saran itu, AJB atas nama ibu saya dan membuat perjanjian nominee. Bagi saya ini tetap membuat saya takut dan cemas karena tidak memberi kepastian dan perlindungan hukum,” ungkapnya.

“Dengan permohonan ini, saya dan ribuan teman-teman lain yang senasib menaruh harapan besar kepada MK untuk bisa memahami posisi kami, sehingga bisa memutus persoalan ini dengan seadil-adilnya.”  

Ike Farida memohon pengujian Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA berkaitan dengan syarat kepemilikan Hak Milik dan HGB yang hanya boleh dimiliki WNI, serta Pasal 29 ayat (1) dan (4) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan terkait perjanjian perkawinan dan harta bersama. Penyebabnya, WNI yang menikah dengan WNA tak bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB karena terbentur aturan Perjanjian Perkawinan dan Harta Bersama.

Pasal 21 ayat (3) UUPA memberi hak kepada WNA mendapat HM karena warisan atau percampuran harta karena perkawinan. Namun WNI mempunyai HM (dalam perkawinan campuran) “sejak diperolehnya hak” itu. Selanjutnya, HM itu harus dilepaskan (dijual kembali) dalam waktu satu tahun sejak diperolehnya HM itu.

Pemohon menganggap siapapun WNI yang menikahi WNA selama mereka tidak punya perjanjian pemisahan harta, tidak akan pernah bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB. Kalaupun ada WNI kawin campur memiliki perjanjian pemisahan harta,  ia tetap tidak bisa membeli rumah karena ada kewajiban melepaskan hak tersebut dalam setahun.

Menurut pemohon, pasal-pasal dianggap diskriminasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena itu, pemohon meminta penafsiran pasal-pasal itu. Dan kini, upayanya mendapat dukungan dari Pemerintah.
Tags:

Berita Terkait