Saksi Ahli atau Ahli Bersaksi dalam Perkara Pidana?
Kolom

Saksi Ahli atau Ahli Bersaksi dalam Perkara Pidana?

Beberapa pelajaran penting dapat diambil dari pengaturan saksi ahli di Belanda untuk memperbaiki situasi di Indonesia.

Bacaan 6 Menit
Kika Kolase Poltak Hutajulu & Rasamala Aritonang.
Kika Kolase Poltak Hutajulu & Rasamala Aritonang.

Terminologi “saksi ahli” sering disebut masyarakat untuk menunjuk pada ahli yang hadir dan memberikan keterangan di persidangan. Masyarakat nampaknya mempersamakan keterangan yang diberikan oleh saksi dengan keterangan yang disampaikan oleh ahli. Sedangkan “ahli bersaksi” merupakan satire yang ditujukan bagi mereka yang kerap hadir sebagai ahli untuk menjelaskan beragam permasalahan hukum sementara keahlian dan spesialisasinya diragukan. Ahli bersaksi sering juga dipakai untuk menyindir mereka yang memberikan keterangan ‘sekenanya’, yang penting mendukung dalil pihak yang membayar dan menghadirkannya.

Kedua termonologi di atas tidak dikenal dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. KUHAP hanya mengenal istilah “ahli” untuk menjelaskan subjek yang dapat memberikan keterangan di persidangan selain “saksi”. Keterangannya disebut “keterangan ahli” dan menjadi alat bukti yang sah di pengadilan sebagaimana ketentuan pasal 183, pasal 184 dan pasal 186 KUHAP.

Meski begitu, istilah “ahli bersaksi” sebagai realitas hukum yang terlanjur berkembang di masyarakat tidak mungkin diabaikan begitu saja. Demi kemajuan hukum, kritik sosial semacam itu harus diperhatikan dan perlu diperbaiki.

Tulisan ini akan membahas mengenai persoalan “keterangan ahli” dalam kaitan dengan fungsinya pada peradilan pidana, etika sebagai ahli dalam memberikan keterangan, dan kemungkinan perbaikan yang bisa dilakukan untuk menjawab kritik tersebut. Untuk melengkapi perspektif pembahasan, Penulis membandingkannya dengan pengaturan pemberian keterangan ahli di Belanda dengan pertimbangan: Pertama, akar sistem hukum pidana Indonesia (civil law) jelas dipengaruhi oleh hukum pidana Belanda. Kedua, harus diakui bahwa Belanda memiliki sistem pengelolaan ahli yang lebih akuntabel.

Keterangan Ahli di Indonesia

Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa hakim dilarang menjatuhkan pidana kecuali terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan meyakinkan bahwa terjadi tindak pidana dan benar terdakwa yang bersalah melakukannya (negatief-wettelijk bewijsstelsel). Sedangkan alat buktinya terdiri dari: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa (pasal 184 KUHAP).

Perlu dipahami bahwa keterangan ahli memiliki sifat yang berbeda dari alat bukti lainnya. Tidak seperti keterangan saksi, bukti surat atau keterangan terdakwa yang isinya pasti berkaitan dengan fakta pidana, keterangan ahli akan selalu berkenaan dengan pengetahuan yang lahir dari keilmuan maupun pengalaman yang dimiliki ahli. Jadi, keterangan ahli tidak akan terhubung langsung dengan fakta kasus, namun diperlukan untuk memahami kaidah logis yang bekerja melingkupi fakta tersebut, menguji apakah fakta tersebut koheren atau malahan berlawanan dengan suatu norma, teori atau konsep.

Sebenarnya penuntut umum dan terdakwa punya kepentingan berbeda dalam mengajukan keterangan ahli. Penuntut umum bermaksud membuktikan dakwaannya, selagi terdakwa justru bermaksud membebaskan dirinya dari segala tuntutan, namun pada esensinya keterangan ahli yang diajukan oleh kedua belah pihak semata-mata ditujukan untuk meyakinkan hakim dalam upaya menemukan hukum.

Untuk kepentingan tersebut, baik penuntut umum, maupun terdakwa (biasanya melalui pengacara) akan menjajaki para ahli yang diperlukan guna memberikan keterangan di persidangan. Penjajakan tersebut akan mencakup perihal apakah pendapat ahli sejalan dan menguatkan dalil pihak yang membutuhkan keterangannya, dan berapa biaya yang harus dibayarkan untuk mendapatkan keterangan tersebut.

Tidak ada aturan berapa biaya yang harus dibayarkan kepada ahli untuk memberikan keterangannya. Pasal 229 ayat (1) KUHAP hanya mengatur bahwa ahli yang memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan mendapat penggantian biaya sesuai peraturan perundang-undangan, tapi peraturan yang mana? tidak begitu jelas.

Permasalahan ini pernah jadi polemik, pada tahun 2002 dr. Abdul Mun’im Idries yang ahli forensik menolak menjadi ahli dalam persidangan PK Mochamad Sirajuddin alias Pak De. Ia keberatan dengan pembayaran biaya ahli yang dianggap tidak jelas (hukumonline.com; 2002). Tak bisa dihindari, tanpa standarisasi, biaya keterangan ahli akan mengikuti mekanisme pasar dan dilaksanakan berdasarkan konsensualitas. Konsekuensinya, sulit membayangkan bagaimana seorang ahli dapat memberikan keterangan secara objektif dan independen, meskipun bagi sebagian ahli yang memegang teguh integritas dan profesionalitas mungkin akan tetap mengusahakannya.

Persoalannya, jika ahli yang dihadirkan bersikap sebaliknya, bersedia memberikan keterangan apapun sepanjang mendapatkan bayaran sepadan. Jadinya, ahli yang sama dengan subyek persoalan yang sama pada perkara yang berbeda, mungkin menghasilkan keterangan yang berbeda bahkan berlawanan, tergantung kepentingannya. Bahkan lebih parah lagi, ahli yang dihadirkan tidak relevan dengan persoalan hukum yang harus dijelaskan. Misalnya, ahli keuangan menjelaskan mengenai digital forensic. Alih-alih menolong hakim dalam menemukan hukum, praktik semacam itu justru berpotensi menyesatkan pencarian kebenaran. Sayangnya, hukum di Indonesia belum mengantisipasi persoalan tersebut.

Saksi Ahli di Belanda

Berbeda dengan Indonesia, KUHAP Belanda (Wetboek van Strafvordering (WSv)) menggunakan terminologi “saksi ahli” (The “expert witness”) dalam pemeriksaan pidana (WSv Part III C). KUHAP Belanda bahkan memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan keterangan saksi ahli sebagai informasi yang diberikan di pengadilan berdasarkan pemahaman yang didapatkan dari keahlian dan pengetahuan mengenai subjek di mana ia dimintakan pendapat, baik dengan atau tanpa disertai laporan yang dibuat oleh saksi ahli, berdasarkan permintaan pengadilan (WSv. 343).

Kualitas dan validitas (admissibility) keterangan saksi ahli telah lama jadi perdebatan serius di Belanda, terutama karena dalam beberapa kasus telah terjadi kekeliruan hukum (miscarriages of justice) yang dipengaruhi oleh keterangan saksi ahli. Kasus “Lucia de Berk”, seorang perawat yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena tujuh pembunuhan dan tiga percobaan pembunuhan kemudian dibebaskan pada proses peninjauan. Kasus fenomenal lainnya adalah “Schiedamse Parkmoord”, dipidana penjara selama delapan belas tahun atas tuduhan pembunuhan dan pemerkosaan yang kemudian dibebaskan setelah adanya pengakuan dari pelaku yang sebenarnya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, terutama setelah kasus “Schiedamse Parkmoord”, Belanda membuat pengaturan terperinci mengenai saksi ahli (Wet deskundige in strafzaken) yang kemudian diatur dalam KUHAP Belanda (WSv). Lebih spesifik, ketentuan 51i WSv bahkan mendelegasikan pengaturan mengenai register saksi ahli dan kualifiasinya dalam suatu keputusan pemerintah.

Di Belanda, saksi ahli dapat melakukan penelitian (deskundigenonderzoek) sebelum perkara dibawa ke pengadilan, bahkan sebelum ditemukan tersangkanya. Praktik yang sama sebenarnya dilakukan juga di Indonesia, misalnya dalam perkara korupsi, penyidik atau bahkan penyelidik dapat meminta keterangan ahli keuangan, akuntan atau auditor. Hanya saja di Belanda, semua saksi ahli diharuskan membuat dan menyampaikan laporan berdasarkan hasil penelitian atau pengetahuan yang dimilikinya, sebaliknya di Indonesia, kecuali hasil pemeriksaan teknis tertentu yang dilakukan ahli, misalnya pemeriksaan perhitungan kerugian negara, atau keterangan hasil visum et repertum yang memang selalu dibuat dalam laporan tertulis, maka sebagian besar keterangan ahli lainnya hanya dicatatkan dalam berita acara yang dibuat oleh penyidik untuk kemudian disampaikan di persidangan.

Praktik yang penting dan juga berpengaruh dalam memastikan objektivitas dan independensi saksi ahli adalah peran dari hakim pemeriksa pendahuluan (examining magistrate) yang ditunjuk untuk mengawasi proses investigasi (pre-trial investigation). Hakim pemeriksa pendahuluan karena jabatannya, atau berdasarkan permohonan penuntut umum maupun permintaan tersangka dapat menunjuk saksi ahli untuk kepentingan penyidikan. Hakim pemeriksa pendahuluan dapat menolak seluruh saksi ahli yang diajukan oleh tersangka atau menunjuk salah satunya jika dinilai bertentangan dengan kepentingan penyidikan (WSv. 227).

Pada bulan Juli 2009, pemerintah Belanda menerbitkan keputusan mengenai Daftar Ahli Pengadilan Belanda (Nederlands Register Gerechtelijk Deskundigen (NRGD). Pemerintah juga membentuk Dewan Ahli Pengadilan (College Gerechtelijk Deskundigen) yang berwenang untuk menilai kompetensi saksi ahli dalam register, selain juga berwenang menunjuk saksi ahli berdasarkan permintaan yang diajukan.

Saksi ahli umumnya dipilih dari register terebut, meski demikian berdasarkan KUHAP Belanda para pihak masih dapat memilih dari luar register saksi ahli sepanjang terdapat alasan mengapa yang bersangkutan harus dipertimbangkan sebagai saksi ahli (WSv. 51k), ini artinya diperlukan justifikasi dan verifikasi lebih jauh terhadap saksi ahli di luar register, untuk memastikan bahwa ahli tersebut kompenten dan layak didengarkan keterangannya. 

Kewenangan NRGD yang juga begitu penting adalah menyusun kode perilaku dan memberlakukannya bagi saksi ahli yang terdaftar. Pedoman tersebut antara lain mengatur bahwa saksi ahli dilarang berprasangka atau bersikap berat sebelah, saksi ahli tidak boleh memiliki benturan kepentingan dalam pemeriksaan yang dilakukannya, dan saksi ahli tidak akan dipengaruhi oleh pihak yang memintanya sebagai saksi ahli atau pihak ketiga manapun dalam melakukan penelitian dan mengambil kesimpulan (NRGD art. 3.3). Pelanggaran pedoman perilaku oleh saksi ahli dapat menyebabkan dikeluarkannya ahli dari register sehingga tidak dapat lagi bertindak sebagai saksi ahli.

Untuk memastikan objektifitas dan independensi saksi ahli, maka remunerasi bagi saksi ahli dibayarkan dengan keuangan pemerintah. Ini juga berlaku bagi saksi ahli yang diajukan oleh tersangka dan disetujui oleh hakim pemeriksa, dengan catatan remunerasi yang diberikan tidak melebihi remunerasi yang dibayarkan kepada saksi ahli dari penuntut umum (WSv.51j).

Pelajaran yang Bisa Dipetik

Beberapa pelajaran penting dapat diambil dari pengaturan saksi ahli di Belanda untuk memperbaiki situasi di Indonesia. Pertama, saksi ahli jelas memiliki fungsi dan kedudukan penting dalam pengungkapan perkara pidana. Kedua, mengingat pentingnya keterangan ahli, maka perlu dibangun satu sistem yang dapat memastikan bahwa keterangan disampaikan oleh ahli yang kompeten, objektif dan independen. Untuk itu, adanya register ahli, pembentukan dewan ahli yang berfungsi untuk menilai kompetensi, menyusun kode etik dan menegakkannya perlu dipertimbangkan untuk diadopsi oleh Indonesia.

Ketiga, untuk menjamin independensi maka pembayaran remunerasi ahli seharusnya dibayarkan oleh pemerintah, apabila hal tersebut belum dimungkinkan, setidaknya perlu ditetapkan standar remunerasi bagi ahli yang berlaku sebagai pedoman baku bagi semua pihak. Dengan cara demikian “mekanisme pasar” direduksi dalam pemberian keterangan ahli.

Perbaikan secara menyeluruh dapat dilakukan melalui revisi KUHAP, namun penetapan standar remunerasi ahli sebagai peraturan pelaksana pasal 229 KUHAP ayat (1) dapat saja diatur lebih dulu dengan peraturan di bawah undang-undang, sedangkan register ahli, kode etik dan dewan ahli untuk sementara dapat disusun dan dibentuk secara mandiri oleh universitas atau misalnya oleh Asosiasi Profesor Indonesia (API), mengingat seringnya permintaan ahli disampaikan juga melalui universitas atau organisasi profesi yang selama ini dianggap otoritatif.

*)Poltak Hutajulu adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Karawang dan Rasamala Aritonang adalah mahasiswa program doktor hukum Universitas Parahyangan dan praktisi hukum.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait