Saatnya Mengingat Kembali Alat-Alat Bukti dalam Perkara Perdata
Fokus

Saatnya Mengingat Kembali Alat-Alat Bukti dalam Perkara Perdata

Hubungan perdata dalam lingkup bisnis makin banyak dibangun dengan basis elektronik. Hukum acara tak mungkin mengabaikan perkembangannya.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi sidang perdata dengan agenda pemeriksaan alat bukti surat. Foto: MYS
Ilustrasi sidang perdata dengan agenda pemeriksaan alat bukti surat. Foto: MYS

Puluhan tahun berpengalaman sebagai hakim, Made Sutrisna telah berulang kali mengadili perkara perdata. Juru Bicara PN Jakarta Selatan itu tak menampik adanya perkembangan teknologi yang mempengaruhi hubungan hukum dalam lingkup bisnis. Tetapi selama ini, alat bukti surat paling menentukan kemenangan para pihak. Proses pembuktian perkara perdata banyak yang mengandalkan bukti surat-menyurat.

 

“Sebetulnya di kasus perdata itu semuanya nampak jelas di dalam surat menyurat itu asal masing-masing pihak bisa menyatakan surat karena di sini bilang begini, di sini tidak, berarti itulah suatu kebenaran, gitu aja,” terang Made kepada hukumonline dalam satu kesempatan perbincangan mengenai perkembangan alat bukti dalam hukum acara perdata.

 

Perkembangan teknologi memang sudah cukup pesat sehingga memudahkan masyarakat dalam melakukan berbagai aktivitas. Ambil contoh saja telepon genggam. Pada awalnya telepon genggam lebih banyak digunakan untuk melakukan komunikasi berupa percakapan langsung atau melalui pesan teks, saat ini telepon genggam bisa digunakan untuk mengirim pesan melalui berbagai aplikasi. Dengan telepon genggam sekarang orang bisa memesan makanan, memesan kendaraan ojek, atau membeli pakaian secara daring. Dunia perbankan juga sudah mempunyai aplikasi yang bisa dipasang para nasabahnya untuk melakukan transaksi baik itu mengecek saldo, mengirim uang, membeli pulsa telepon, hingga pembelian pulsa token listrik.

 

(Baca juga: Era Elektronik, Era Perubahan Cara Berhukum).

 

Masyarakat juga bisa melakukan transaksi jual beli secara online dengan hanya mengirimkan jumlah transaksi dari harga yang disepakati tanpa harus mendatangi toko atau lokasi tempat barang tersebut dijual. Cara ini tentu lebih praktis daripada berbelanja secara konvensional karena dapat menghemat waktu dan tentunya tenaga.

 

Namun perkembangan itu juga punya sisi yang perlu diwaspadai eksesnya. Dalam transaksi jual beli secara daring, pembeli tidak melihat secara langsung kondisi barang sehingga dalam penerimaannya nanti kadangkala ada berbagai kekurangan atau tidak sesuai dengan harapan seperti ukuran yang tidak cocok atau kondisi barang kurang baik. Selain itu yang lebih utama apakah kita yakin jika barang yang dikirimkan itu benar-benar sampai ke tangan konsumen? Bagaimana jika barang yang dijanjikan tidak juga sampai atau kualitas dan kondisinya tidak sesuai dengan yang dijanjikan?

 

Langkah yang pertama dilakukan biasanya meminta penjelasan kepada penjual atau pihak terkait mengapa hal itu terjadi. Namun jika tidak mendapat jawaban yang diinginkan, konsumen juga bisa mengambil langkah hukum dengan melakukan gugatan secara perdata. Tetapi yang jadi pertanyaan apa bukti yang akan kita ajukan jika melakukan gugatan? Apakah alat bukti elektronik dapat diterima dalam pembuktian?

 

Guru Besar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Yohanes Sogar Simamora, menjelaskan mengenai prinsip dasar pembuktian yaitu satu tahapan dalam proses peradilan untuk menilai benar tidaknya dalil-dalil yang diajukan para pihak, penggugat dan tergugat dalam perkara perdata. Prinsip dari pembuktian tersebut adalah barang siapa yang mendalilkan maka dia wajib membuktikan. Cuma, dalam perkara tertentu berlaku sistem pembalikan beban pembuktian, misalnya sengketa konsumen atau lingkungan hidup. Dalam sistem terakhir ini,  bukan Penggugat yang harus membuktikan Tergugat bersalah, melainkan Tergugatlah yang wajib membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

 

Terkait alat bukti elektronik, Prof. Sogar berpendapat sudah menjadi hal wajar dalam dunia peradilan saat ini. “Alat bukti elektronik merupakan hasil kemajuan teknologi yang tak terhindarkan. Harus kita terima dan kita akomodir dalam UU kita,” ujarnya saat dihubungi hukumonline.

 

Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan itu menambahkan, dalam Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) ada lima jenis alat bukti, pertama surat/tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. “Sedangkan alat bukti elektronik dapat dijumpai pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik,” terangnya.

 

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektroni – kini sudah direvisi dengan UU No. 19 Tahun 2016—salah satu pintu masuk pengakuan alat bukti elektronik, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Menurut Undang-Undang ini informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan hasil cetakanya merupakan ‘alat bukti hukum yang sah’. Struk belanja atau hasil cetakan dari mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM), misalnya, sudah bisa dijadikan bukti di persidangan.

 

Made Sutrisna juga menguatkan pandangan Prof. Sogar. “Memang, mau tidak mau (alat bukti elektronik) sudah masuk ke ranah peradilan sebagai alat bukti,” ujarnya.

 

Meskipun alat bukti elektronik sudah lazim dipergunakan dalam dunia peradilan tetapi, kata Made, perlu ada landasan hukum acara khusus yang menguatkannya. Jika dasarnya jelas dan kuat, hakim tak perlu ragu-ragu memutuskan kekuatan suatu alat bukti yang bersifat elektronis.

 

(Baca juga: Bisakah Rekaman Diam-Diam Percakapan Telepon Dijadikan Alat Bukti)

 

Seperti disinggung Made Sutrisna, surat adalah alat bukti tertulis yang sangat penting diperhatikan. Alat bukti surat bisa berupa akta otentik, akta di bawah tangan, atau akta sepihak atau pengakuan sepihak. Dalam praktek pengadilan para pihak lebih banyak mengandalkan alat bukti surat. Menghadirkan alat bukti surat ke pengadilan berhubungan pula dengan masalah dugaan pemalsuan atau memasukkan data yang tidak benar ke dalam akta otentik. Tumpang tindih sertifikat atas suatu lahan, misalnya, menambah pelik pembuktian surat di lapangan.

 

Saksi

Jenis alat-alat bukti dalam hukum acara perdata diatur Pasal 164 HIR, yakni surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dari sistematika, alat bukti surat memang paling kuat. Tetapi tak selamanya alat bukti surat itu menjamin kemenangan perkara jika terjadi sengketa perdata. Bisa jadi, alat bukti itu tidak mencukupi batas minimal pembuktian; atau alat bukti yang dimiliki pihak lawan jauh lebih kuat.

 

Itu sebabnya, dalam proses pembuktian pada perkara perdata kehadiran saksi sangat penting. Pasal 1895 KUH Perdata menyebutkan ‘Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang’. Pertanyaannya, siapakah yang dimaksud dengan saksi? Pada dasarnya, saksi adalah orang yang melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan. Namun Mahkamah Konstitusi sudah memperluas makna saksi, termasuk pula orang yang mengetahui suatu peristiwa dari orang lain.

 

(Baca juga: Saksi dan Bukti Transfer Uang dalam Perjanjian Utang Piutang)

 

Siapapun yang memenuhi kriteria tersebut dapat diajukan menjadi saksi di pengadilan. Tetapi ada beberapa orang yang dikecualikan. Mereka yang dikecualikan antara lain diatur dalam Pasal 145 HIR. Pada umumnya anggota keluarga sedarah bisa ditolak kesaksiannya, dan mereka boleh mengundurkan diri. Namun, mereka tidak dapat ditolak sebagai saksi jika sengketa yang sedang diadili berkenaan dengan perselisihan sesama anggota keluarga sedarah atau semenda. Misalnya, dalam perkara warisan.

 

M. Yahya Harahap, dalam bukunya Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (cetakan 2016), berpendapat bahwa menjadi saksi dalam perkara perdata adalah kewajiban hukum tetapi tidak imperatif dalam segala hal sebagaimana perkara pidana. Yahya merujuk pandangannya pada Pasal 139-143 HIR atau Pasal 165-170 RBg. Pasal 143 ayat (1) HIR menyatakan “tidak seorang pun yang dapat dipaksa datang menghadap pengadilan negeri untuk memberi kesaksian di dalam perkara perdata, jika tempat berdiamnya atau tempat tinggalnya di luar keresidenan tempat kedudukan pengadilan negeri itu”.

 

Berkaitan dengan keterangan saksi sebagai alat bukti, penting untuk memahami kalimat unus testis nullus testis: kesaksian seorang saksi tidak dianggap kesaksian. Pengertian kalimat ini tidak secara harfiah satu orang saksi. Sepuluh orang saksi pun dihitung satu jika saksi yang memenuhi syarat materiil (Pasal 169 HIR) hanya satu orang.

 

Masalah krusial dalam proses pembuktian melalui keterangan saksi adalah jika saksi yang dihadirkan adalah pejabat yang punya kewajiban menyimpan rahasia. Ini disinggung dalam Pasal 146 HIR: ‘semua orang yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang sah diwajibkan menyimpan rahasia’. Yahya Harahap juga mengakui masalah ini ‘sering menimbulkan ketidakjelasan dalam praktek peradilan’.

 

Persangkaan

Alat bukti persangkaan (presumptie, vermoeden) termasuk yang minim dijelaskan dalam HIR, sehingga memerlukan penjelasan lebih detail pada pembentukan hukum acara perdata ke depan. Menurut Pasal 1915 BW (KUH Perdata), persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada persangkaan berdasarkan undang-undang dan ada yang tidak berdasarkan undang-undang. Contoh persangkaan berdasarkan undang-undang adalah setiap anak yang dilahirkan dalam perkawinan memberikan status bapak bagi si suami dalam keluarga. Artinya, suami dianggap sebagai bapak dari bayi yang lahir dalam perkawinan tersebut. Persangkaan hakim memberikan kebebasan kepada hakim untuk mempersangkaan sesuatu asalkan tetap berdasarkan fakta penting.

 

Persangkaan oleh hakim sangat potensial menimbulkan perdebatan di lapangan. Apalagi jika dianut pandangan bahwa alat bukti persangkaan hakim mempunyai kekuatan yang bebas. Kebebasan hakim melakukan persangkaan bukan tanpa syarat. Pasal 1922 BW misalnya mengatur bagaimana cara hakim menarik persangkaan. Pasal ini, plus Pasal 173 HIR, memberi warning kepada hakim agar berhati-hati menarik persangkaan.

 

Putusan Mahkamah Agung No. 1083/K/Pdt/1984 adalah contoh kasus alat bukti persangkaan. Dalam kasus ini pihak penggugat mengajukan fakta-fakta yang terdiri dari pengukuran dan pembayaran retribusi kayu terperkara. Dengan latar belakang tersebut, pengadilan mengkonstruksikan alat bukti persangkaan untuk membuktikan kebenaran tentang hubungan kerja pengelola kayu log di areal konsesi tergugat.

 

Dalam kasus itu, penggugat mendalilkan antara penggugat dan tergugat telah terjadi perjanjian lisan pengolahan kayu log di areal konsesi tergugat sebagai lanjutan dari perjanjian tertulis sebelumnya. Perjanjian lisan itulah yang harus dibuktikan penggugat sedangkan bukti konkret dan pasti untuk itu tidak dimilikinya. Untuk itu penggugat mengajukan fakta berupa berupa pengukuran kayu log, pembayaran retribusi dan perjanjian tertulis sebelumnya. Melalui fakta yang diketahui itu hakim menarik kesimpulan tentang adanya persangkaan konkret mendekati kepastian bahwa antara penggugat dan tergugat telah terjadi perjanjian lisan mengenai kerjasama pengolahan kayu log di areal konsesi hutan tergugat sebagai lanjutan dari perjanjian tertulis yang telah disepakati sebelumnya.

 

Pengakuan

Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR meletakkan pengakuan pada urutan keempat mengenai alat bukti. Pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 1923 BW dan Pasal 174 HIR ialah (i) pernyataan atau keterangan yang disampaikan salah satu pihak kepada pihak lain dalam pemeriksaan suatu perkara; (ii) pernyataan atau keterangan tersebut diucapkan di muka hakim atau dalam persidangan; atau (iii) keterangan itu bersifat pengakuan (confession) bahwa apa yang dilakukan pihak lawan benar untuk sebagian atau seluruhnya.

 

Jika salah satu pihak sudah mengakui fakta tertentu, menurut Yahya Harahap dalam bukunya, hakim tidak lagi dapat dibenarkan untuk memberi pendapat tentang masalah atau objek pengakuan. ‘Hakim tidak boleh lagi menyelidiki kebenaran pengakuan itu’.

 

Pengakuan bisa dilakukan secara lisan atau secara tertulis. Pengakuan yang disampaikan para pihak langsung di depan hakim akan sangat kuat. Tetapi pengakuan lewat kuasa hukum juga dibenarkan. Pasal 174 HIR menyebutkan: ‘Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim cukup menjadi bukti yang memberatkan orang yang mengaku itu, baik yang diucapkan sendiri maupun dengan bantuan orang lain yang khusus dikuasakanuntuk itu’.

 

Pengakuan yang tulus dari salah satu pihak berperkara mengenai objek yang disengketakan tak semudah membalik telapak tangan. Made Sutrisna, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan pengakuan memang merupakan salah satu alat bukti penting dalam proses persidangan. Tetapi dalam kenyataannya sulit sekali orang mengakui apa yang didalilkan oleh para lawannya sebab mereka akan mencoba mempertahankan argumen dalil dari masing-masing pihak. “Pengakuan juga salah satu bukti utama tapi dalam persidangan jarang sekali terjadi. Kalaupun pengakuan, pengakuan sebagian. Punya utang Rp1 juta dia ngaku Rp100 ribu,” kata Made.

 

Sumpah

Meskipun berada pada urutan terakhir alat bukti perkara perdata, sumpah menjadi salah satu alat bukti yang sering menimbulkan pro kontra di masyarakat. Apalagi jika dihubungkan dengan sumpah pocong. Ada pengacara yang mengajak lawannya melakukan sumpah pocong untuk membuktikan suatu hal mengenai objek yang disengketakan.

 

Istilah sumpah pocong sebenarnya tak dikenal dalam HIR dan BW. Tetapi sifat dan hakikat sumpah pocong bisa dihubungkan dengan sumpah pemutus atau sumpah penentu (decisoir eed). Salah satu pihak meminta pihak lain mengucapkan sumpah untuk menggantungkan pemutusan perkara di antara mereka. Jika salah satu pihak bersedia mengucapkan sumpah pemutus, maka dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan perkara. Sumpah itu diikuti dengan pengambilan dan menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar sumpah yang diucapkan.

 

(Baca juga: Pelapor Tantang Kabid BPN Sumpah Pocong)

 

Menerapkan sumpah pemutus tidak mudah bagi para pihak dan hakim yang mengadili perkara. Putusan Mahkamah Agung No. 575K/Sip/1973 menyatakan permohonan sumpah decisoir hanya dapat dikabulkan jika dalam suatu perkara sama sekali tidak terdapat bukti-bukti lain. Dalam penyusunan Hukum Acara Perdata nasional mendatang, sumpah pemutus ini perlu mendapat perhatian.

 

Selain sumpah pemutus, dikenal pula sumpah tambahan (suppletoire eed) dan sumpah penaksir (aestimatoire eed). Sumpah tambahan adalah sumpah yang diperintahkan hakim kepada salah satu pihak untuk mengasngkat sumpah agar dengan sumpah itu perkaranya bisa diputus atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan (Pasal 1940 BW). Dalam sumpah pemutus, yang meminta angkat sumpah adalah pihak yang berperkara; sedangkan dalam sumpah tambahan, hakimlah yang memerintahkan salah satu pihak. Sumpah penaksir adalah sumpah yang diucapkan untuk menetapkan jumlah ganti rugi atau harga barang yang akan dikabulkan. Jika penggugat tidak bisa menyampaikan berapa nilai kerugian riil atau berapa harga barang sebenarnya, dan tergugat pun tak mau membuktikan, maka besarnya nilai ganti rugi atau harga barang bisa ditentukan lewat sumpah penaksir.

 

(Baca juga: Sumpah Palsu dan Pembuktiannya)

 

Persoalan yang mungkin muncul adalah praktek pengadilan yang selalu mengharuskan penggugat membuat rincian detail kerugian. Tuntutan ganti rugi materiil yang tak bisa dirinci dengan benar dan dapat dibuktikan lewat alat bukti surat seringkali ditolak hakim.

 

Apapun jenis alat bukti yang sudah diatur dalam HIR/RBg dan BW, penyusunan Hukum Acara Perdata nasional ke depan tak mungkin mengabaikan pembahasan tentang perkembangan alat-alat bukti di lapangan, termasuk yang disebut tegas dalam perundang-undangan maupun yang sudah pernah diputuskan hakim.

Tags:

Berita Terkait