Saat Menteri Yasonna Bicara Haluan Negara di Hadapan Para Pakar HTN
Utama

Saat Menteri Yasonna Bicara Haluan Negara di Hadapan Para Pakar HTN

Haluan negara sendiri tidak semata-mata GBHN dalam arti perencanaan

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly. Foto: RES
Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly. Foto: RES

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mengungkap sejumlah raihan positif dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia setelh 17 tahun perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini disampaikan Yasonna saat menjadi dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke VI yang diselenggarakan di Jakarta. Selain raihan positif, Yasonna mengungkapkan salah satu evaluasi di mana publik dan komunitas tata negara tidak menaruh perhatian terhadap keberadaan haluan negara.

 

“Haluan negara yang dimaksud merupakan kaidah penuntun (guiding principles) yang berisi arahan dasar (directive principles) tentang bagaimana cara melembagakan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 itu ke dalam sejumlah pranata publik,” ujar Yasonna, di hadapan peserta Konferensi Nasional Hukum Tata Negara, Senin (2/9), di Jakarta.

 

Menurut Yasonna, urgensitas haluan negara bagi para penyelengara adalah sebagai pemandu penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan nasional secara terencana dan terpadu serta berkelanjutan. Keberadaan haluan negara dipandang sebagai pelengkap dari keberadaan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, serta UUD sebagai hukum/norma dasar.

 

Menurut Yasonna, kandungan Pancasila yang mengandung prinsip-prinsip filosofis dan UUD 1945 yang mengandung prinsip-prinsip normatif, harus ditindaklanjuti dengan haluan negara yang mengandung prinsip-prinsip direktif (arahan) tentang kemana pembangunan nasional akan dilaksanakan.

 

“Nilai-nilai Pancasila masih bersifat abstrak, pasal-pasal konstitusi juga kebanyakan mengandung norma-norma besar (legal principle) yang belum memberikan arahan bagaimana cara melembagakannya,” ujarnya.

 

Memang saat ini, keberadaan haluan negara tidak diatur dan bahkan tidak disebut dalam UUD. Namun mengenai haluan negara tersebut diserahkan pengaturan dan penetapannya sebagai materi muatan dalam dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.

 

Yasonna menyebutkan, terdapat berbagai kesulitan yang ditemui jika haluan negara hanya diatur dalam bentu Undang-Undang, -yaitu menyulitkan pelaksanaan RPJP. Hal ini disebabkan oleh baik pemerintah daerah maupun cabang kekuasaan lain memiliki kewenangannya yang otonom sebagaimana diatur secara khusus dalam undang-undangnya masing-masing. Hal ini kemudian berakibat kemungkinan RPJMN (Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional) dan RPJMD (Rencana Pemerintah Jangka Menengah Daerah) yang tidak mengikuti arahan UU RPJP.

 

Oleh karena itu Yasonna menilai, daya jangkau hukum dari ketentuan Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) dan Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (UU RPJPN) malah menciptakan diskonektivitas antar pemerintah daerah dan tidak bersinerginya antar cabang kekuasaan. Kelemahan lainnya menurut Yasonna, undang-undang tersebut dapat dengan mudah diubah jika Presiden yang baru terpilih memiliki visi yang berbeda dengan rencana Presiden sebelumnya.

 

“Inilah yang disebut dengan diskontinuitas pembangunan,” ujar Yasonna.

 

Untuk itu, gagasan menghadirkan haluan negara melalui perubahan terbatas UUD 1945 tanpa menggangu agenda penguatan sistem presidensial dimana pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tetap dilakukan secara langsung serta tanpa ada mekanisme pertanggungjawaban hukum atas pelaksanaan haluan negara oleh Presiden dan lembaga negara lainnya, menurut Yasonna merupakan suatu hal yang layak untuk dipertimbangkan.

 

Ia menilai, menjadikan haluan negara yang awalnya diatur oleh UU menjadi materi yang diatur oleh UUD merupakan sesuatu yang juga memiliki basis argumentasi hukum kuat mengingat hal semacam ini jamak dilakukan di berbagai negara dan merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk UUD.

 

“Untuk itu besar harapan saya kepada asosiasi pengajar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) sebagai wadah berkumpulnya ilmuwan ini untuk dapat turut serta mengkaji gagasan-gagasan baru yang dimaksudkan untuk menyempurnakan konstitusi kita,” pinta Yasonna.

 

Respons Pakar

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM), Oce Madril, mengatakan jika dokumen rencana pembangunan ke depan dituangkan lewan dokumen haluan negara maka bobot yang terkadung di dalamnya mestinya berbeda dari sekadar rencana pembangunan yang sifatnya lebih teknis dan berhubungan dengan kebijakan Presiden. Ia menilai haluan negara dalam arti sesungguhnya merupakan dokumen yang mengandung prinsip filosofis maupun ideologis yang akan menjadi arah dari kebijakan pemerintah.

 

Dengan begitu, bukan kebijakan pemerintah yang dituangkan ke dalam haluan negara tapi di saat bersamaan kebijakan pemerintah yang harus sejalan dengan haluan negara. “Karena haluan negara mestinya dalam bayangan saya dia memuat visi kebangsaan, kemudian landasan yang lebih bersifat ideologis, filosofis. Jadi apakah haluan negara akan terkait dengan kebijakan Presiden? bisa terkait bisa tidak. karena ini visi jangka panjang jadi bisa jadi ada hal-hal yang tidak terkait sama sekali,” ungkap Oce saat diwawancarai hukumonline.

 

Oleh karena itu, Oce menyebutkan perlu ada tindak lanjut dari haluan negara jika nantinya disepakati. Haluan negara mesti diterjemahkan kembali ke dalam tataran yang lebih operasional. Misalnya, diterjemahkan ke dalam perencanaan eksekutif, maupuan perencanaan lembaga peradilan, serta legislatif.

 

Sementara terkait model haluan negara yang akan diusung, menurut Oce masih sangat terbuka untuk didskusikan. Ada perbedaan model haluan negara yang dimaksudkan ketika sebelum reformasi dengan setelah reformasi bergulir. Terutama ketika mengingat kembali kesepakatan-kesepakatan awal saat perubahan konstitusi terjadi. Oce menegaskan, jika disepakati adanya haluan negara melalui perubahan UUD 1945, tidak boleh menyelisihi semangat sistem presidensil yang telah menjadi kesepakatan bersama.

 

“Model haluan negara yang itu sesuai dengan semangat sistem presidensil atau sesuai dengan semangat amandemen kosntitusi dan reformasi,” tegas Oce.

 

Kekhawatiran Akademisi

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti mengungkapkan adanya kekhawatiran sebagian akademisi tentang cakupan perubahan terhadap UUD 1945. Wacana perubahan terbatas terhadap UUD untuk memasukkan substansi tentang garis-garis besar haluan negara harus bisa dipastikan hanya sebatas itu dan tidak lebih. “Akademisi yang tidak setuju itu bukan tidak setuju secara teori tapi mereka khawatir amandemen ini akan dimasuki oleh penumpang gelap,” ujar Susi kepada hukumonline.

 

Kemudian menurut Susi, terlebih dahulu harus ditegaskan, GBHN yang dimaksudkan dalam wacana perubahan terbatas UUD ini adalah GBHN dalam artian perencanaan ataukah GBHN dala artian haluan negara. Karena jika hanya sebatas perencanaan, Susi menilai hal tersebut hanya sebagain dari seluruh substansi haluan negara. “Haluan negara sendiri tidak semata-mata GBHN dalam arti perencanaan itu tadi,” ujar Susi.

 

(Baca: Presiden Jokowi Resmi Buka Konferensi Nasional HTN VI)

 

Selanjutnya secara metode, Susi mempertanyakan jalan untuk menghidupkan kembali GBHN. Ada sejumlah isu yang menurtu Susi harus bisa dijawab.  Pertama, bagaimana status GBHN itu? Apakah GBHN akan dimuat dalam UUD atau diluar UUD. Kedua, bagaimana kekuatan dan efektifitasnya? Menurut Susi, GBHN atau haluan negara tidak memiliki keterkaitan dengan sistem pemerintahan tertentu, baik parlementer maupun presidensil.

 

“Kalau saya melihat GBHN adalah cerminan dari Indonesia sebagai the planning state. Jadi negara yang merencanakan. Mau parlementer ataupun presidensil, kita the planning state. Apa keuntungannnya? Memastikan penyelenggaraan negara dilakukan secara terencana. Kalau haluan negara diputuskan lewat DPR artinya rakyat diikutsertakan dalam perencanaan itu. Jadi perencanaan itu bukan bagian dari pemerintahan semata-mata. Itu tadi, ditetapkan oleh Presiden bersama DPR,” terang Susi.

 

Kedua, Susi menilai GBHN itu bisa dikatakan sebagai antitesis dari liberalisme. Karena GBHN dibuat di DPR, diharapkan mencerminkan gotong royong, musyawarah. Jadi mestinya dilihat dari antitesis liberalism. Ketiga, bagaimana melihat GBHN? Menurut Susi, GBHN dilihat sebagai konstitusional idelism maka itu harus dimasukkan dalam UUD. 

 

Kewenangan Tertinggi

Sementara itu, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan MPR merupakan lembaga yang memiliki kewenangan tertinggi. Dalam hal ini, kewenangan MPR dalam menetapkan UUD 1945. Untuk itu, Bayu mengingatkan agar masyarakat mampu membedakan antara lembaga tertinggi dengan lembaga yang memiliki kewenangan tertinggi.

 

UUD yang mana merupakan sumber dari semua hukum yang ada di Indonesia merupakan produk MPR. Oleh karena itu MPR disebut sebagai lembaga yang memiliki kewenangan tertinggi. Hal ini mesti dibedakan dengan konsep MPR sebagai lembaga tertinggi yang berada di atas lembaga negara lain sehingga setiap saat mampu mengontrol dan mengangkat lembaga lain seperti halnya konsep mandataris.

 

Untuk itu Bayu mengungkapkan, upaya evaluasi terhadap UUD sepanjang didasari suatu basis argumentasi maka terbuka untuk diuji dan dipertimbangkan. “Amandemen itu adalah keputusan politik. Bukan lagi benar salah menurut tata negara. Kalau memang haluan negara tidak ditujukan untuk mengganggu sistem presidensial. (Baru akan) Jadi problem kalau kemudian mengganggu konsensus kita yakni memperkuat sistem presidensial. Cirinya, pilpres langsung dan tidak ada pertanggung jawaban presiden kepada MPR,” ujar Bayu.

 

Tags:

Berita Terkait