RUU yang Mengatur Wajib Militer Belum Saatnya Dibuat
Utama

RUU yang Mengatur Wajib Militer Belum Saatnya Dibuat

"Kalau komponen utama belum baik, untuk apa membicarakan komponen cadangan atau wajib militer?"

Rzk
Bacaan 2 Menit
RUU yang Mengatur Wajib Militer Belum Saatnya Dibuat
Hukumonline

 

Abdillah menambahkan kebijakan Wamil hanyalah bagian kecil dan tidak menjadi prioritas dalam grand design yang harus dipersiapkan Dephan. Dia bahkan yakin apabila Dephan bersikukuh mengajukan RUU Komponen Cadangan, akan mendapat penolakan keras dari DPR, khususnya Komisi I yang membidangi pertahanan. Karena ini hanya kebijakan parsial, sementara yang dibutuhkan sesuatu yang lebih komprehensif, tukasnya.    

 

Beberapa Ketentuan Krusial RUU Komponen Cadangan

Pasal 7

(1)    Setiap warga negara yang telah berusia 18 tahun wajib menjadi anggota Komponen Cadangan.

(2)    Warga negara yang dimaksud dalam ayat 1 meliputi

a.      PNS, karyawan badan usaha milik negara atau daerah dan pegawai swasta yang dipanggil untuk wajib menjadi anggota Komponen Cadangan;

b.      Mantan prajurit TNI dan mantan anggota Kepolisian RI yang memenuhi persyaratan dan secara wajib dipanggil menjadi anggota Komponen Cadangan;

c.       Perseorangan di luar ayat 2a dan b yang memenuhi persyaratan wajib untuk memenuhi panggilan menjadi Komponen Cadangan dapat diangkat menjadi anggota Komponen Cadangan.

 

Pasal 17

(2)    Setiap pemilik, pengelola, atau penanggung jawab sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana yang diperlukan untuk kepentingan Komponen Cadangan wajib mendukung pendayagunaannya.

 

Pasal 42

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun:

a        Setiap orang tanpa alasan yang sah dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban menjadi anggota Komponen Cadangan atau;

b        Setiap orang dengan sengaja melakukan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan yang menyebabkan dirinya ditangguhkan atau tidak memenuhi syarat menjadi anggota Komponen Cadangan.

Sumber: Dirjen Pothan Departemen Pertahanan

 

Kondisi aman

Satu suara dengan kalangan DPR, Imparsial berpendapat penerapan Wamil belum diperlukan saat ini. Argumen utama meraka adalah karena situasi pertahanan dan keamanan Indonesia relatif aman, tidak ada ancaman dari luar negeri. Indonesia belakangan justru tengah dipusingkan dengan berbagai gejolak dalam negeri, seperti di Poso, Papua, maupun Maluku.

 

Untuk mengatasi ancaman dalam negeri, cukup ditangani oleh komponen utama yang sudah ada yakni TNI bekerja sama dengan Polisi. Tidak pada tempatnya kalau Wamil yang notabene sipil dihadapkan dengan orang sipil juga, ujar Direktur Pelaksana Imparsial Rusdi Marpaung.

 

Logikanya, menurut Rusdi, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi (assessment) terlebih dahulu kekuatan komponen utama yang ada, sebelum memutuskan mengadakan komponen cadangan. Tanpa assessment, Rusdi khawatir penerapan Wamil hanya akan membuang-buang anggaran negara. Padahal, selama ini baik Dephan maupun TNI selalu mengeluh soal minimnya anggaran pertahanan. Jika RUU Komponen Cadangan disahkan dan wajib militer diterapkan, ada kemungkinan pemerintah salah mengalokasikan anggaran pertahanan, tambahnya.

 

Agenda reformasi TNI

Selain itu, Rusdi melihat kebijakan Wamil belum tepat untuk diterapkan mengingat masih banyak Agenda Reformasi TNI yang belum ditunaikan oleh Dephan dan TNI. Beberapa diantaranya terkait penertiban bisnis militer yang menjamur pada jaman Orde Baru atau penegasan kedudukan TNI dalam politik, khususnya yang berkaitan dengan hak pilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Belum lagi, RUU Peradilan Militer yang belum kunjung selesai pembahasannya. Saya perkirakan 30% agenda (Reformasi TNI) yang baru tercapai, jadi masih banyak, belum lagi soal implementasinya, jelas Rusdi.

 

Al-Araf, peneliti Imparsial mengatakan unsur masyarakat sipil, seharusnya menjadi pertimbangan terakhir setelah seluruh unsur komponen pembela negara utama dikerahkan. "Kalau komponen utama belum baik, untuk apa membicarakan komponen cadangan atau wajib militer?" katanya.

 

Secara spesifik, Al-Araf menyoroti beberapa hal yang perlu dipertegas dalam penyusunan UU Komponen Cadangan. Hal paling krusial adalah ketentuan yang mengatur tentang kapan dan dalam situasi apa komponen cadangan atau wajib militer akan dikerahkan. Al Araf menegaskan pemerintah hanya boleh menurunkan angkatan sipil jika mendapat ancaman perang dari luar negeri. Komandonya pun tidak boleh dari Panglima TNI, melainkan harus dari Presiden, tukasnya.

 

Rencana pemerintah melalui Departemen Pertahanan (Dephan) menggagas pembentukan UU Komponen Cadangan yang didalamnya memuat ketentuan wajib militer (Wamil), terus mendapat kritik. Berdasarkan penelusuran hukumonline, wacana ini sebenarnya bukan hal baru karena ketika Dephan dipimpin oleh Matori Abdul Djalil, rancangan undang-undang (RUU) ini telah dipersiapkan. Selama empat tahun, wacana wajib militer tenggelam dan baru ‘dihangatkan' kembali oleh Menteri Pertahanan sekarang, Yuwono Sudarsono.

 

Sebagaimana dilansir media Ketua DPR Agung Laksono langsung menyatakan menolak begitu mendengar kabar rencana Dephan mengajukan RUU Komponen Cadangan. Agung berpendapat Indonesia belum membutuhkan Wamil. Selain alasan waktu, Agung juga mempertimbangkan aspek anggaran mengingat penerapan Wamil pasti membutuhkan alokasi dana yang tidak sedikit.

 

Dihubungi via telepon (8/11), Anggota Komisi I Abdillah Toha juga tidak melihat urgensi perlunya RUU Komponen Cadangan pada masa sekarang ini. Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini berharap Dephan berpikir lebih sistematis dan komprehensif. Menurut Abdillah, yang perlu dilakukan Dephan segera adalah merancang desain besar (grand design) kebijakan pertahanan nasional demi menjawab tantangan dan perkembangan yang ada.

 

Kami dalam beberapa kesempatan Raker (Rapat Kerja, red.) selalu mengingatkan dan menagih grand design itu ke Menhan, tetapi tidak kunjung disampaikan, katanya.

Tags: