RUU TKI Harus Lepas Dari Transaksi Politik
Berita

RUU TKI Harus Lepas Dari Transaksi Politik

Agar materinya lebih memaksimalkan perlindungan ketimbang bisnis penempatan.

ADY
Bacaan 2 Menit
RUU TKI Harus Lepas Dari Transaksi Politik
Hukumonline

Koordinator JARI PPTKLN, Nurus S Mufidah, mengatakan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri(PPILN)harus lepas dari kepentingan politik praktis. Menurutnya, hal itu berpotensi terjadi karena para bakal calon anggota legislatif membutuhkan dukungan dalam rangka pemenangan Pemilu 2014. Sebagian anggota dewan saat ini berniat maju dalam Pemilu legislatif 2014.

Mengingat minimnya peran pemerintah dalam mengelola pekerja migran, khususnya sektor domestik, maka diserahkan ke pihak swasta yaitu PJTKI. Dalam RUU PPILN, diatur bagaimana proses penempatan yang dilakukan lewat PJTKI.

Oleh karenanya, perempuan yang disapa Fida itu khawatir kepentingan politik praktis menjelang Pemilu 2014 mempengaruhi berbagai ketentuan dalam RUU PPILN. Sehingga, RUU PPILN tak ubahnya seperti UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKLN) yang minim melindungi pekerja migran dan lebih berpihak pada bisnis penempatan.

Fida melihat anggota dewan tidak fokus lagi melakukan tugasnya di bidang legislasi karena sibuk mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2014. Seperti berkampanye di daerah pemilihannya masing-masing. “Kami tidak mau RUU PPILN dijadikan bahan transaksi oknum DPR dalam rangka pemenangan Pemilu 2014,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (4/9).

Selain itu, pembahasan RUU PPILN di DPR prosesnya sangat lambat. Sejak 26 Februari 2013, panja dan pemerintah baru melakukan lima kali pembahasan dan berkutat di soal judul. Mengingat masa sidang DPR yang waktunya sebentar lagi berakhir, Fida berpendapat tidak logis jika pembahasan RUU PPILN terus dilakukan kemudian dipaksakan untuk disahkan. Ia menghitung waktu efektif DPR sekitar 60 hari lagi.

Menurut Fida, waktu yang tersisa itu dirasa tidak dapat dimaksimalkan membahas RUU PPILN yang mengutamakan perlindungan kepada pekerja migran. Apalagi, seluruh DIM RUU PPILN ada 907 nomor, tapi baru satu yang selesai dibahas yaitu soal judul. Oleh karena itu Fida merasa RUU PPILN masih lemah memberi perlindungan kepada pekerja migran.

Misalnya, konvensi perlindungan pekerja migran beserta keluarganya sudah diratifikasi pada pertengahan 2012. Namun, dalam RUU PPILN, konvensi itu tidak dimasukan dalam hal menimbang. Padahal, Fida berpendapat konvensi tersebut sangat relevan diharmonisasikan dengan RUU PPILN. Oleh karenanya jika RUU PPILN dipaksakan akhir tahun ini disahkan, maka pekerja migran tetap menjadi objek karena perlindungannya lemah.

Atas dasar itu Fida menyebut JARI PPTKLN mendesak pemerintah dan DPR untuk menunda pembahasan dan melanjutkannya kembali setelah Pemilu 2014 berakhir. Jika RUU PPILN akhirnya tiba-tiba disahkan, JARI PPTKLN beserta organisasi masyarakat sipil lainnya siap mengajukan judicial review. “Kalau dipaksakan dibahas dan disahkan, kami bersama jaringan akan berkampanye ke masyarakat untuk tidak memilih kembali anggota dewan yang tergabung di Panja RUU PPILN,” ucapnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Erna Murniaty, mengatakan setiap Pemilu, ada calon legislatif (caleg) yang berkampanye sampai ke negara penempatan pekerja migran. Dalam kampanye itu, sang caleg mengumbar janji politik kepada para pekerja migran. Tapi, ujungnya, janji itu cenderung tidak dipenuhi karena kondisi pekerja migran tidak berubah signifikan dan tetap berada dalam situasi rentan.

Bagi Erna, kampanye di negara penempatan itu kerap dilakukan karena jumlah pekerja migran Indonesia cukup besar bagi sang caleg untuk mendulang suara. Ia memperkirakan jumlah pekerja migran Indonesia mencapai 6 juta orang. “Faktanya ya tidak ada perlindungan untuk pekerja migran sebagaimana janji mereka saat kampanye,” urai mantan pekerja migran sektor domestik yang 10 tahun bekerja di Hongkong itu.

Sedangkan, pengamat politik dari Pol-Tracking Institute, Arya budi, mengatakan kesibukan anggota dewan menghadapi Pemilu 2014 sudah umum terjadi. Mengingat pola kaderisasi partai politik (parpol) yang ada sekarang mayoritas berpegangan pada patronisme, maka parpol menginstruksikan para anggotanya untuk fokus mengamankan Pemilu.

Menurut Arya, hal tersebut mempengaruhi kinerja anggota dewan dalam menjalankan tugasnya, terutama bidang legislasi. Sebab, RUU yang difokuskan anggota dewan pasti berkaitan dengan Pemilu, seperti RUU Pemlihan Presiden (Pilpres). “Jadi, RUU yang tidak relevan dengan pengamanan Pemilu menjadi agenda kesepuluh karena yang utama adalah mengamankan Pemilu, mengamankan patron mereka,” tukasnya.

Sementara Direktur Pemantauan, Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Kebijakan Hukum (PSHK) Ronald Rofiandri, mengatakan pembahasan RUU PPILN terlihat sangat lamban. Sebab, setelah lima kali dibahas, baru berkutat soal judul. Menurutnya, JARI PPTKLN dan koalisinya harus mempertanyakan sejauh mana keseriusan Panja PPILN menyelesaikan rancangan regulasi yang mengurusi pekerja migran itu.

“Karena waktu yang tersisa sangat sedikit, metode pembahasan RUU PPILN tidak bisa dilakukan lewat mekanisme biasa. Tapi harus digunakan terobosan agar anggota Pansus bisa fokus dan konsentrasi penuh bahas RUU PPILN,” usul Ronald.

Ronald mengusulkan agar koalisi mendesak Panja RUU PPILN untuk membuat terobosan dalam melakukan pembahasan. Sebab, jika mengikuti tata tertib pembahasan atau UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) maka waktu yang tersisa dinilai tidak cukup. Jika koalisi menginginkan pembahasan dilanjutkan pada periode anggota dewan mendatang, Ronald memperkirakan kondisinya bakal rumit karena tidak ada kewajiban bagi anggota dewan yang baru untuk melanjutkan RUU PPILN.

Tags: