RUU PPTKLN Masih Abaikan Perlindungan TKI
Berita

RUU PPTKLN Masih Abaikan Perlindungan TKI

Tak mencantumkan ratifikasi Konvensi Buruh Migran sebagai konsideran RUU.

ADY
Bacaan 2 Menit
Porsi perlindungan TKI dalam RUU PPTKLN masih minim. Foto: SGP
Porsi perlindungan TKI dalam RUU PPTKLN masih minim. Foto: SGP

RUU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKLN) yang dirumuskan pemerintah dan sudah diserahkan ke DPR dinilai masih kurang memperhatikan aspek perlindungan TKI. Padahal, sejumlah peraturan, salah satunya Konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya –yang sudah diratifikasi oleh pemerintah- menekankan pentingnya perlindungan bagi TKI dan keluarganya. 

Koordinator Jaringan Advokasi Revisi UU PPTKLN, Nurus S Mufidah menyebut secara umum isi RUU PPTKLN rumusan pemerintah tak jauh beda dengan versi DPR. Kedua RUU itu dinilai tak peka terhadap aspek perlindungan untuk TKI.

Dari segi judul RUU, perempuan yang disapa Fida itu melihat antara RUU PPTKLN dengan UU PPTKLN masih sama. Padahal, dalam berbagai kesempatan, Fida menyebut koalisi selalu mengingatkan pemerintah bahwa UU PPTKLN kurang menekankan pada aspek perlindungan untuk TKI. Alih-alih. Mengutamkan perlindungan, UU PPTKLN dirasa menjadikan TKI sebagai komoditas. Ujungnya, TKI berpotensi besar terus-terusan menjadi korban.

Fida mengingatkan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Sayangnya dalam RUU versi pemerintah hal itu tak dimasukan dalam konsideran, baik dalam konsideran menimbang maupun mengingat. Menurut Fida, pemerintah mestinya menjadikan konvensi ini sebagai dasar dalam merevisi UU PPTKLN. Karena salah satu kewajiban pemerintah paska meratifikasi sebuah instrumen HAM internasional adalah melakukan harmonisasi hukum nasional dengan konvensi tersebut.

Belum lagi soal definisi TKI sebagai pekerja migran, dalam revisi RUU PPTKLN versi pemerintah, Fida menilai pemerintah tak mendeskripsikan serangkaian proses migrasi dengan jelas. Karena, pekerja migran hanya didefinisikan sebatas memenuhi persyaratan tertentu saja. Padahal, konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan keluarganya sangat rinci proses migrasi itu, dari negara asal sampai si pekerja migran itu pulang.

Dengan definisi pekerja migran tersebut, Fida merasa upaya perlindungan yang akan dilakukan pemerintah hanya meliputi masa perekrutan, penempatan dan kembali ke negara asal. Mengacu konvensi Pekerja Migran, perlindungan yang dimaksud lebih dari itu, karena pengingkatan kesejahteraan pekerja migran ketika kembali ke Indonesia juga ikut menjadi perhatian. Sejalan dengan itu, pemerintah perlu melakukan upaya untuk pemberdayaan TKI agar mampu mengelola hasil kerja di luar negeri.

Secara umum Fida melihat revisi RUU PPTKLN versi pemerintah tak sedikit mencantumkan hak-hak untuk TKI. Sayangnya, Fida tak melihat ketentuan yang menegaskan siapa yang bertanggungjawab memenuhi bermacam hak tersebut. Ketidakjelasan itu juga ditemukan dalam pasal yang mengatur soal perekrutan TKI. Walau revisi RUU PPTKLN versi pemerintah itu menyebut adanya proses perekrutan, namun tak dijelaskan siapa yang merekrut, mendaftar dan menyeleksi calon TKI.

Fida mengkritik persyaratan baru yang ditetapkan untuk TKI dalam revisi RUU PPTKLN versi pemerintah. Yaitu TKI wajib memiliki SKPLN (Surat Keterangan Pindah Luar Negeri) dan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) tentang kelakuan baik. Walau syarat KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri) dihapus, tapi Fida menganggap dua persyaratan baru itu tak jelas peruntukannya.  Misalnya soal SKPLN, Fida mengaku bingung apa yang dimaksud dengan dokumen tersebut.

Sedangkan untuk mendapatkan SKCK, Fida khawatir akan menjadi ladang pungli baru yang ujungnya merugikan TKI. Ketidakjelasan itu juga dirasakan dalam hal menyangkut sejauh mana tanggung jawab perusahaan jasa TKI (PJTKI/PPTKIS).

Fida juga mempertanyakan perihal komponen pembiayaan yang harus ditanggung pihak terkait yaitu TKI, pengguna jasa TKI dan pemerintah. Terutama soal berapa biaya pendidikan dan pelatihan, karena hal itu menjadi bagian terbesar dalam komponen biaya keberangkatan TKI. Jika pembiayaan itu tak dijelaskan secara rinci, Fida cemas upah TKI akan dipotong dalam jumlah yang sangat besar. 

Ironisnya lagi, ketentuan menyangkut pendidikan dan pelatihan itu tak diatur khusus dalam revisi RUU PPTKLN versi pemerintah. Oleh karenanya, Fida menilai pemerintah tak menempatkan pendidikan dan pelatihan menjadi bagian penting dalam perlindungan TKI. Mengingat hal itu sangat penting bagi TKI, koalisi menekankan agar pendidikan dan pelatihan dimasukan dalam bab khusus di RUU PPTKLN.

Masih dalam rangka perlindungan, revisi RUU PPTKLN versi pemerintah dinilai luput mengatur tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah. Akibatnya, RUU PPTKLN itu tak menjawab perihal sulitnya koordinasi antara kementerian terkait dan pembagian peran dengan Pemda. Hal serupa juga dijumpai dalam ketentuan yang mengatur soal pengawasan dan pendataan perlindungan hak-hak TKI.

Atas dasar itu Fida mengatakan koalisi mendesak agar pemerintah dan DPR membenahi RUU PPTKLN itu. Mengingat RUU itu sudah memasuki masa pembahasan di DPR, Fida menyebut momen itu dapat digunakan untuk memaksimalkan revisi UU PPTKLN. Tak ketinggalan, Fida menegaskan agar pembahasan itu dilakukan secara terbuka, agar publik dapat mengawal proses pembahasan itu. “Jauhkan (UU PPTKLN,-red) dari kepentingan 'bisnis.' Jadikan konvensi Perlindungan Pekerja Migran sebagai dasar pembahasan revisi UU PPTKLN,” kata dia kepada wartawan di DPR Jakarta, Selasa (26/2).

Usai menghadiri pembahasan revisi UU PPTKLN di DPR, Dirjen Binapenta Kemenakertrans, Reyna Usman, menampik pernyataan yang menyebut konvensi Perlindungan Pekerja Migran tak menjadi pertimbangan dalam RUU PPTKLN versi pemerintah. Menurutnya, dalam DIM yang disampaikan pemerintah kepada DPR awal bulan ini, sudah mengakomodir kepentingan berbagai pihak. 

Tentu saja, berbagai hal yang dirasa kurang menurut Reyna akan diperbaiki dalam pembahasan revisi RUU PPTKLN di DPR. “Ini kan masih awal (pembahasan revisi UU PPTKLN di DPR,-red),” katanya kepada hukumonline di DPR, Selasa (26/2).

Tags:

Berita Terkait