RUU PPRT Tak Kunjung Disahkan, Koalisi Masyarakat Sipil Ancam Mogok Makan
Terbaru

RUU PPRT Tak Kunjung Disahkan, Koalisi Masyarakat Sipil Ancam Mogok Makan

Aksi mogok makan tujuannya mendesak pemerintah dan DPR segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT menjadi UU.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil soal Rencana Aksi Mogok Makan untuk UU PPRT, Minggu (6/8/2023).  Foto: Istimewa
Konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil soal Rencana Aksi Mogok Makan untuk UU PPRT, Minggu (6/8/2023). Foto: Istimewa

Nasib pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pekerja Rumah Tangga (PPRT) berada pada jalan terjal dan berliku yang mesti dilalui. Sempat mangkrak sekian tahun, namun kini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang sudah resmi menjadi usul inisiatif DPR. Namun proses pembahasan RUU PPRT di parlemen tak menunjukan adanya kemajuan siginifikan. Dorongan dari Presiden Joko Widodo agar segera mengesahkan RUU PPRT menjadi UU sejalan dengan koalisi masyarakat sipil.

Koordinator Jaringan Advokasi Nasional (Jala) Pekerja Rumah Tangga (PRT) Lita Anggraini  mengatakan koalisi masyarakat sipil yang terdiri YLBHI, LBH Jakarta, Koalisi Perempuan Indonesia, dan Kalynamitra berencana menggelar aksi mogok makan pada Senin 14 Agustus 2023 mendatang di depan gedung DPR/MPR dan DPRD di berbagai wilayah. Rencana mogok makan pernah dilakukan  sebelumnya beberapa kali dengan tujuannya sama.

Yakni  mendesak pemerintah dan DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT menjadi UU. Tak terhitung selama ini banyak PRT yang menjadi korban perbudakan modern seperti upah tak dibayar, mengalami pelecehan, dan kekerasan serta lainnya. “Itu karena PRT selama ini dianggap warga negara kelas 2, tidak diakui sebagai pekerja yang harus dilindungi hak-haknya,” ujarnya dalam konferensi pers Aksi Mogok Makan untuk UU PPRT, Minggu (6/8/223) kemarin.

Baca juga:

Mengingat profesi pekerja rmah tangga bekerja di sektor domestik, Lita mengatakan selama ini PRT yang mengalami ketidakadilan dan sulit bersuara. Menurutnya, Jala PRT menghitung dalam setahun sedikitnya ada 600 kasus yang menimpa PRT. Mulai dari tak diberi makan, mengalami kekerasan, pelecehan dan penyiksaan, bahkan ada kasus PRT sampai bakar diri karena tak tahan menghadapi penyiksaan.

Selama ini tak disadari PRT berperan penting dalam pembangunan dan perekonomian. Lita menyebut anggota parlemen bisa produktif bekerja karena urusan rumah sudah ditangani oleh PRT. Tapi tak ada perlindungan hukum yang memadai bagi PRT. Pemerintah menerapkan standar ganda yakni menuntut negara lain memenuhi standar untuk pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor domestik, tapi di dalam negeri absen perlindungan PRT.

“Kami mengajak semua kalangan bersolidaritas bersama untuk mogok makan dan merasakan tidak makan rasanya seperti apa dan itu yang dialami PRT,” ujarnya.

Ketua Kalyanamitra, Listyowati mengingatkan pemerintah Indonesia berkomitmen menghapus segala bentuk diskriminasi dan kekerasan sebagaimana konvensi Conventionon The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (Cedaw) melalui UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Cedaw). Pemerintah setidaknya menerima 2 rekomendasi komite Cedaw PBB yakni tahun 2014 dan 2021 untuk segera mengetok RUU PPRT.

Kemudian, pada perhelatan Universal Periodic Review (UPR) berbagai negara mendorong Indonesia segera mengesahkan RUU PPRT.Mengingat sudah ada dorongan dari dalam dan luar negeri, Listyowati menyebut tidak ada alasan lagi bagi pemerintah dan DPR untuk tidak menerbitkan UU PPRT.

“Apa yang ditunggu lagi? korban sudah banyak. Kami mendukung aksi mogok makan in. Semoga bisa membuka pintu hati DPR untuk segera mengesahkan ruu pprt,” usulnya.

Ketua Program Studi Kajian Gender, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) Mia Siscawati, menegaskan PRT bukan pembantu tapi pekerja. PRT memiliki hak yang sama seperti warga negara Indonesia lainnya. PRT perlu perlindungan yang diatur lewat UU khusus yakni UU PPRT yang kini masih berstatu RUU. Organisasi perburuhan internasional PBB, ILO, telah memberikan panduan sebagaimana tertuang dalam Konvensi ILO No.189 tentang PRT.

“Ini artinya pengakuan dan perlindungan terhadapn hak-hak PRT tidak bisa diabaikan atau dianggap tak penting,” ujarnya.

Mengingat PRT itu pekerja, Mia mengusulkan agar diatur batas jam kerja, upah minimum, hari libur, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja (K3), pencegahan diskriminasi, perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan, jaminan sosial. Serta standar PRT tinggal di dalam rumah dan usia PRT anak.

“Kami mendukung upaya advokasi untuk memberikan perlindungan bagi PRT,” tegasnya.

Belum ada komitmen membahas

Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur, menambahkan menjamin perlindungan bagi seluruh warga negara Indonesia, berarti tak terkecuali PRT. Tapi kenapa sampai sekarang tidak ada UU yang khusus melindungi PRT?. Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini pemerintah dan DPR mengabaikan dan membiarkan pelanggaran terhadap hak-hak PRT sebagai pekerja.

Isnur melihat sampai saat ini belum ada komitmen pemerintah dan DPR untuk membahas apalagi mengesahkan RUU PPRT. Sebaliknya untuk UU lain yang diprotes masyarakat sipil seperti omnibus law UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang  Cipta Kerja, dan UU Kesehatan yang baru.

Kemudian UU KPK No19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba yang kesemua UU itu pembahasan dan pengesahannya berlangsung sangat cepat. Tapi RUU PPRT yang sangat dibutuhkan untuk memberi perlindungan hukum bagi PRT malah mangkrak 19 tahun di DPR.

“Ini bukan masalah DPR butuh waktu untuk membahas tapi mereka tidak mau menyelesaikan,” pungkasnya.

Sebelumnya, anggota Badan Legislasi (Baleg) Luluk Nur Hamidah, mengingatkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sudah menunggu hampir 20 tahun untuk segera disahkan. RUU PPRT akan memberi harapan terhadap 5 juta PRT di Indonesia. Luluk mengatakan selama ini PRT kerap mengalami berbagai kasus eksploitasi, dan kekerasan baik fisik dan non fisik.

Dengan begitu, PRT seolah tak pernah mendapat keadilan. Komitmen politik terhadap perlindungan PRT terlihat dari upaya DPR menjadikan RUU PPRT sebagai usul inisiatif DPR. Presiden Jokowi juga telah menerbitkan Surat Presiden dan melalui para menterinya telah memberikan daftar inventarisasi masalah (DIM).

Semua aspirasi menurut politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu sudah dimusyawarahkan dan ditampung dalam RUU PPRT. Tapi kenapa sampai saat ini belum ada kabar baik dari pimpinan DPR untuk pengesahan RUU PPRT. “Sampai sekarang kita belum menerima kabar baik dari pimpinan. Diharapkan Agustus nanti RUU PPRT jadi hadiah terbaik bagi rakyat Indonesia,” ujar anggota Komisi IV DPR itu.

Tags:

Berita Terkait