RUU Pilkada Disahkan, 46 Triliun Melayang
Berita

RUU Pilkada Disahkan, 46 Triliun Melayang

Dua Undang-Undang yang dinilai menandai kemunduran demokrasi.

ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: Facebook
Foto: Facebook
Pasar saham nasional bergejolak begitu DPR dan Pemerintah memberi persetujuan bersama terhadap RUU Pilkada untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Harga saham di pasar modal anjlok. Investor mengalihkan dananya ke luar seraya menunggu perkembangan politik di dalam negeri.

Pengamat ekonomi UI, Berly Martawardaya, mengamati kondisi pasar modal itu beberapa saat setelah RUU Pilkada disetujui bersama. Ia memperkirakan Rp46 triliun dana melayang sehari setelah RUU Pilkada diketuk di Rapat Paripurna DPR.  “Pelaku pasar khawatir atas kekisruhan politik ini,” ujarnya dalam konperensi pers di kantor Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan di Jakarta, Senin (06/10).

Dari sudut pandang ekonomi, RUU Pilkada diyakini akan mengarah pada politik sentralisasi, yang pada akhirnya berpengaruh pada perekonomian. Perekonomian akan dikuasai segelintir orang sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru. Berly mengkhawatirkan kondisi itu, dan berakibat pada larinya investor. Para pemegang saham lebih memilih memarkirkan dana mereka di luar negeri hingga situasi tenang. “Jika kondisi politik tidak stabil, investor bisa mengalihkan investasi mereka ke negara lain. Mereka akan membangun pabrik dan merekrut tenaga kerja disana,” kata Berly.

Kemunduran demokrasi
Pengamat politik Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi, menilai persetujuan pengesahan RUU Pilkada dan RUU MD3 memperlihatkan kemunduran demokrasi di Indonesia.

UU MD3 menjadikan parlemen sebagai lembaga yang punya kekuatan politik tertinggi dan tidak dapat dijangkau. Sehingga, berdampak buruk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih. “UU MD3 memperkuat posisi parlemen (DPR) secara berlebihan. Itu akan menimbulkan ketidakseimbangan kekuasaan politik dan mengarah pada tirani parlemen,” katanya.

RUU Pilkada, Airlangga menilai, mengasingkan rakyat dari hak pilihnya. Sebab, UU Pilkada mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, bukan oleh rakyat lewat Pilkada langsung. Ia yakin Pilkada tidak langsung akan memunculkan kepala daerah yang dihasilkan dari negosiasi elit politik. Akibatnya, kepala daerah yang terpilih akan tunduk pada parlemen, bukan kepada rakyat. Dan ini berarti mengesampingkan sistem presidensil yang berlaku dalam politik pemerintahan di Indonesia.

Padahal, Airlangga melanjutkan, Pilkada langsung dibutuhkan di tengah lemahnya partai politik menjalankan peran sebagai artikulator kepentingan rakyat. Bahkan, Airlangga mengkhawatirkan gagasan Presiden akan dipilih kembali oleh MPR seperti halnya masa Orde Baru.
Tags:

Berita Terkait