RUU Perpajakan Dinilai Solusi Tumbuhkan Ekonomi dan Dunia Usaha
Utama

RUU Perpajakan Dinilai Solusi Tumbuhkan Ekonomi dan Dunia Usaha

Langkah yang diambil pemerintah dalam RUU Perpajakan merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan iklim pajak yang berdaya saing dan pro terhadap bisnis.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Pemerintah tengah menyiapkan Rancangan UU Perpajakan yang baru. RUU ini nantinya akan mengatur tentang ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian, yang mencakup berbagai substansi yang sangat penting. Beberapa poin penting dalam RUU Perpajakan itu adalah memangkas PPh Badan, menghapus PPh Dividen, dan menurunkan denda pajak.

 

Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo berpendapat poin-poin yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait RUU yang akan segera disampaikan ke DPR cukup menjawab kebutuhan jangka pendek pelaku usaha. RUU itu diharapkan dapat menjadi solusi yang memiliki dampak signifikan pada perekonomian dan dunia usaha.

 

Selama ini, lanjutnya, pemerintah didorong untuk terus berkomitmen mengupayakan perbaikan, terutama mengidentifikasi dan menginventarisasi kebijakan/aturan/prosedur yang menghambat perekonomian dan menjadi disinsentif bagi pelaku usaha, terutama pengusaha menengah-kecil. Area lain di luar RUU yang akan dibahas juga mencakup isu Pajak Daerah, PNBP, Kepabeanan, dan prosedur-prosedur yang perlu disederhanakan.

 

“Hal penting yang juga perlu diperhatikan adalah insentif pajak untuk wajib pajak non usahawan yang selama ini berpotensi terbebani pajak yang kurang proporsional, misalnya perlakuan pajak atas istri yang bekerja, tenaga pengajar (dosen/guru), pekerja bebas (termasuk gig economy/pelaku usaha berbasis aplikasi online), dan profesi lainnya,” kata Yustinus, Rabu (4/9).

 

Kebijakan penurunan PPh tersebut dipastikan juga akan menurunkan penerimaan sektor perpajakan. Maka untuk menambal risiko tersebut, pemerintah juga harus segera mencari sumber-sumber baru sebagai basis pajak.

 

Dengan keterbukaan informasi dan dukungan politik yang kuat, Ditjen Pajak diharapkan dapat lebih optimal menyisir potensi pajak baru, termasuk dengan penegakan hukum yang adil dan proporsional, sehingga menjamin sustainabilitas pendapatan negara dan pemungutan pajak yang semakin adil.

 

(Baca: Sejumlah Insentif Dijanjikan dalam RUU Perpajakan Baru)

 

Pengamat pajak lainnya, Darussalam, menilai langkah yang diambil pemerintah dalam RUU Perpajakan tersebut merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan iklim pajak yang berdaya saing dan pro terhadap bisnis. “Sebagai catatan, daya saing memang relevan dalam konteks saat ini yaitu perlambatan ekonomi global dan di sisi lain kompetisi pajak yg semakin intens,” katanya.

 

Meski demikian, Darussalam memiliki catatan terhadap tiga kebijakan yang akan tertuang di dalam RUU Perpajakan tersebut. Pertama, terkait penurunan PPh Badan. Kebijakan ini relevan ketika melihat tarif Indonesia yang sudah berada di atas rata-rata dunia maupun kawasan. Walau demikian implikasinya untuk menarik FDI dan meningkatkan kepatuhan sifatnya belum pasti. Yang pasti, potensi revenue forgone dalam jangka pendek akan semakin meningkat.

 

Kedua, terkait penghapusan pajak dividen. Saat ini korporasi yg mendistribusikan dividen kepada individu pemegang saham akan dikenakan pajak final 10%. Akibatnya, justru terjadi pemajakan berganda yaitu atas penghasilan yang sama dikenakan pajak di tingkat korporasi dan pemegang saham. Adanya penghapusan pajak dividen akan mendorong distribusi dividen, mengurangi praktik laba ditahan, serta mencegah praktik penghindaran pajak dividen.

 

Ketiga, terkait menurunkan denda pajak merupakan satu hal yang positif. Pemerintah berupaya meredesain skema denda dalam prinsip yang lebih proporsional. “Dalam jangka pendek penerimaan pasti turun. Dan Sanksi administrasi pajak harus melihat tingkat kesalahan wajib pajak,” jelasnya.

 

Konsep Omnibus Law

Menariknya, RUU Perpajakan ini bakal menggabungkan beberapa peraturan perpajakan yang selama ini tersebar di beberapa regulasi. Seperti PPh Badan, PPh Dividen, dan sanksi pajak yang akan diatur di dalam satu kesatuan peraturan perpajakan. Konsep ini biasa dikenal dengan omnibus law.

 

Konsep ini juga dikenal dengan omnibus bill yang sering digunakan di Negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat dalam membuat regulasi. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus.

 

Menurut Yustinus, pemerintah menggunakan skema omnibus law dengan mengeluarkan UU terkait insentif perpajakan untuk mendorong perekonomian dan bisnis. Salah satu hal yang ditunggu publik adalah penurunan tarif PPh, yang menurut rencana akan diturunkan dari 25% menjadi 20% pada tahun 2021.

 

Keputusan dan pertimbangan pemerintah memilih skema omnibus law adalah mengingat tantangan perekonomian yang dihadapi membutuhkan solusi yang cepat dan dapat langsung berdampak bagi dunia usaha. Karena di saat bersamaan Indonesia menghadapi kendala berupa kompleksitas regulasi, tumpang tindih kewenangan, dan prosedur perubahan UU dan aturan turunan yang tidak sederhana.

 

“Yang harus dijamin dan dikawal adalah aturan turunan/teknis yang mendukung dapat dituntaskan secara cepat, jelas, dan pasti,” katanya.

 

Yustinus mengapresiasi langkah terobosan pemerintah menggunakan skema omnibus law dalam Rancangan UU ini. Namun demikian, pilihan menggunakan skema omnibus law tentu saja tetap harus diletakkan dalam konteks kedaruratan, kemendesakan, dan sikap cepat tanggap, dengan tetap memperhatikan visi besar dan segala turunannya untuk dapat dituntaskan.

 

Terkait reformasi perpajakan, secara paralel tetap dilanjutkan dan dituntaskan, bahkan juga menyiapkan paket revisi UU Perpajakan yang komprehensif, termasuk agenda-agenda lain yang telah ditetapkan.

 

Seperti diketahui, pemerintah berencana mengajukan RUU Perpajakan yang baru, yang terkoneksi dengan 3 (tiga) Undang-Undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPH), Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, ada beberapa subtansi penting dari RUU Perpajakan yang akan diajukan pemerintah itu, di antaranya penurunan tarif PPh Badan, penghapusan PPh dividen dari dalam dan luar negeri yang diinvestasikan di dalam negeri, dan ketentuan perpajakan bagi perusahaan digital yang tidak berkantor di dalam negeri.

 

“Filosofinya untuk membuat ekonomi Indonesia kompetitif. Apalagi di dalam situasi dimana seluruh perekonomian sekarang mengalami kelesuan ekonomi, kita harus meyakinkan bahwa perekonomian Indonesia tetap memiliki daya dorong pertumbuhan,” kata Sri Mulyani kepada wartawan usai mengikuti Rapat Terbatas tentang Reformasi Perpajakan untuk Peningkatan Daya Saing Ekonomi, di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (3/9) sore.

 

Menkeu menjelaskan, kalau dari sisi global economy sebagaian region mengalami resesi maka di dalam negeri kita harus meyakinkan sumber-sumber perekonomian domestik tetap bisa cukup memiliki daya tahan atau resiliency. “Konsumsi kita jaga, investasi kita tingkatkan, dan bahkan dalam situasi yang global environment susah pun kita tetap akan menjaga ekspor,” jelas Menkeu.

 

Selama ini, lanjut Menkeu, Presiden meminta supaya dilakukan kebijakan di bidang investasi dan perdagangan yang mempermudah kegiatan investasi dan ekspor dari Indonesia. Semua hal yang menghalangi harus diupayakan untuk dihilangkan atau dikurangi.

 

Oleh karena itu, dari sisi perpajakan ini yang dilakukan Kementerian Keuangan, menurut Sri Mulyani, filosofinya adalah membuat perekonomian menjadi zona yang kompetitif. Indonesia means business, Indonesia betul-betul welcome terhadap kegiatan aktivitas ekonomi yang produktif.

 

Untuk perusahaan-perusahaan maupun orang pribadi yang selama ini memiliki income atau sumber daya, menurut Menkeu, mereka diberi pilihan. Kalau dia pakai sumber dayanya untuk investasi mereka akan tidak dipajaki untuk PPh-nya, kalau uang itu dipakai untuk investasi di dalam negeri di Indonesia maka tidak dikenakan PPh-nya. Tapi kalau dia dibiarkan di dalam bentuk penerimaan dalam tabungan atau yang lain maka dia kena PPh.

 

“Ini sebenarnya untuk memberikan signaling bahwa kita pro investasi. Dan oleh karena itu berbagai halangan-halangan investasi tadi kita hilangkan termasuk pajak untuk PPH-nya dan PPN-nya,” terang Menkeu.

 

Sri Mulyani Indrawati berharap RUU Perpajakan ini bisa sesegera mungkin diajukan ke DPR untuk dibahas dan mendapatkan persetujuan. Namun sebelum diajukan ke DPR, hasil dari rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo itu akan difinalkan, kemudian dilakukan konsultasi publik sehingga bisa diselesaikan naskah akademi dan RUU nya untuk disampaikan ke Presiden di DPR.

 

Timeline-nya tentu kita harapkan sesegera mungkin, tentu dengan memahami bahwa sekarang ini DPR sedang dalam masa transisi. Namun kita akan tetap berdasarkan informasi bahwa DPR tetap bisa menjalankan fungsi legislasinya tanpa ada interupsi, maka kita akan tetap melakukan proses tahapan legislasi ini,” pungkas Menkeu. 

 

Tags:

Berita Terkait