RUU Perampasan Aset Mengubah Paradigma Hukum Pidana
Berita

RUU Perampasan Aset Mengubah Paradigma Hukum Pidana

Materi muatan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana lebih revolusioner dalam proses penegakan hukum perampasan aset hasil kejahatan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES

Sejumlah rumusan norma telah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. RUU Perampasan Aset ini tidak berorientasi pada penghukuman badan (pidana penjara) terhadap pelaku kejahatan, tapi lebih menyelamatkan atau upaya mengembalikan aset negara yang dilarikan/disembunyikan pelaku kejahatan.

“RUU Perampasan Aset untuk mengejar aset hasil kejahatan, bukan terhadap pelaku kejahatan. Keberadaan RUU Perampasan Aset telah mengubah paradigma hukum pidana,” ujar Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae dalam webinar bertajuk “2nd PPATK Legal Forum RUU Perampasan Aset Tindak Pidana: Pantaskah Masuk Prioritas?”Kamis (29/4/2021). (Baca Juga: 6 Alasan Mendesaknya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana)  

Dia menerangkan karakter hukum pidana cenderung lebih pada penghukuman badan. Dia menilai materi muatan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana lebih revolusioner dalam proses penegakan hukum perampasan aset hasil kejahatan. Setidaknya terdapat tiga perubahan paradigma dalam penegakan hukum pidana.  

Pertama, pihak yang didakwa dalam tindak pidana, tak hanya subjek hukum pelaku kejahatan, tapi juga aset yang diperoleh hasil kejahatan. Kedua, mekanisme peradilan terhadap tindak pidana yang digunakan adalah mekanisme peradilan perdata. Ketiga, terhadap putusan pengadilan tidak dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan lain.

RUU Perampasan Aset memuat tiga substansi utama yakni unexplained wealth sebagai salah satu aset yang dapat dirampas untuk negara; hukum acara perampasan aset; dan pengelolaan aset. Menurutnya, unexplained wealth merupakan aset yang tidak seimbang dengan penghasilan. Sumber penambahan harta kekayaannya tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah yang diduga terkait aset hasil tindak Pidana.

Sementara Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Yunus Husein paham betul dengan materi muatan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Sebab, Yunus pernah menjadi Ketua Tim Perumus RUU Perampasan Aset pada 2003 silam. Menurutnya, perampasan aset menjadi upaya paksa dari negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan aset hasil tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya

“Perampasan aset berdasarkan Undang-Undang ini tidak didasarkan pada penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana,” ujarnya.

Namun, perampasan aset tak menghapus kewenangan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana dan terhadap aset yang telah dinyatakan dirampas negara tak dapat dimintakan untuk dirampas kembali. Bila penuntutan terhadap pelaku tindak pidana sama dengan objek perampasan aset, maka pemeriksaan permohonan perampasan aset ditunda hingga adanya putusan yang menyatakan aset dirampas negara.

Lantas aset apa saja yang dapat dilakukan perampasan? Menurut mantan Kepala PPATK terdapat aset yang diperoleh secara langsung maupun tidak langsung dari tindak pidana. Termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau korporasi berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi lain.

Kemudian aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah. Tak hanya itu, terdapat aset lain yang sah milik pelaku, sebagai pengganti aset yang telah dinyatakan dirampas oleh negara. Terakhir, aset yang merupakan barang temuan yang diduga kuat berasal dari tindak pidana.

Secara garis besar, RUU Perampasan Aset mengatur tentang kriteria perampasan aset. Kemudian penelusuran, pemblokiran dan penyitaan. Termasuk sejumlah tahapan dalam perampasan aset. Terhadap perampasan aset berdasarkan putusan pengadilan masih dapat diakukan upaya hukum yakni hanya upaya hukum kasasi. Putusan kasasi dalam pengaturan di RUU Perampasan Aset bersifat final dan mengikat.

“Pengajuan kasasi dalam ketentuan ini dilakukan sesuai dengan hukum acara dalam perkara perdata,” tegasnya.

Masalah perampasan aset

Sementara anggota Komisi III Arsul Sani menilai terdapat permasalahan dalam pengembalian keuangan negara melalui perampasan aset. Pertama, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membagi dua kelompok sanksi pidana yakni kelompok pidana pokok dan pidana tambahan. Berdasarkan pembagian tersebut, penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana dimasukkan ke dalam kelompok pidana tambahan dan bukan pidana pokok.

Kedua, penelusuran hasil dan instrumen tindak pidana yang memungkinkan penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana, ternyata belum menjadi bagian penting dari penyidikan tindak pidana dalam KUHAP. Ketiga, kewenangan yang dimiliki penyelidik dan penyidik dalam KUHAP belum memungkinkan para penyelidik dan penyidik melaksanakan penelusuran hasil dan instrumen tindak pidana dengan baik.

“Misalnya wewenang mengakses sumber-sumber informasi yang dilindungi dengan ketentuan kerahasiaan,” kata dia.

Keempat, KUHAP tidak mengatur kemungkinan untuk merampas harta dan instrumen tindak pidana dalam hal terdapat hambatan yang dapat menghalangi beberapa tahapan pelaksanaan. Mulai pelaksanaan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan maupun eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Tags:

Berita Terkait