Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fikar Hajar, berpandangan sasaran dari RUU tersebut adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang menyimpan uang di luar sistem keuangan Indonesia dan jumlahnya memang triliunan. Dari perspektif penegakan hukum dapat diambil negara.
Fikar berpandangan, setidaknya terdapat lima substansi UU. Pertama, menjadi amanat konstitusi. Sayangnya, tidak ada amanat konstitusi pemberian pengampunan pengemplang pajak, begitu pula pelaku korupsi. Kedua, isi dari UU menjadi amanat UU tersebut. Misalnya, dikaitkan dengan UU Perpajakan. Ketiga, pengesahan konvensi internasional. Keempat, perintah Mahkamah Konstitusi. Kelima, kebutuhan masyarakat.
“Menjadi pertanyaan, kebutuhan masyarakat yang mana. Daruratnya ada di DPR. Harus ada penelitian secara akdemis, filosofis dan sosiologis. Pertanyaanya, ada tidak naskah akademik dari RUU ini. Untuk mencerminkan RUU ini ada kebutuhan, kalau tidak ada RUU ini hanya pragmatis saja,” ujarnya.
Lebih lanjut, Fikar berpandangan dalam UU No.31 Tahun 1999tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, pengembalian uang hasil korupsi tidak menghapuskan pidana. “Nah, RUU Pengampunan Pajak jelas bertentangan dengan UU Pemberantasan Tipikor. Karena itu, landasannya perlu dipertanyakan kenapa sebagian orang mengusulkan RUU Pengampunan Pajak,” pungkasnya.