RUU Pengampunan Nasional Timbulkan Pro dan Kontra
Berita

RUU Pengampunan Nasional Timbulkan Pro dan Kontra

Dengan adanya regulasi tersebut, seolah negara mengampuni sesuatu yang dibawa lari dari negara, kemudian pelaku diberikan pengampunan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaedi. Foto: dp.go.id
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaedi. Foto: dp.go.id

Meski lebih menitikberatkan pada masalah perpajakan, wacana  Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional menimbulkan pro kontra. Meski belum disetujui masuk dalam Prolegnas 2015, banyak kalangan dewan yang menentang RUU ini. Pihak pengusul RUU ini dimotori antara lain Fraksi PDIP dan Golkar.

Anggota Badan Legislasi (Baleg), Hendrawan Supratikno, mengatakan Baleg telah menggelar rapat. Setidaknya, terdapat 30 orang anggota dari empat fraksi mengusulkan RUU Pengampunan Nasional masuk dalam Prolegnas 2015.

Menurutnya, wacana pengampunan nasional, berupa pengampunan pajak bukanlah hal baru. Soalnya pemerintah orde lama pernah melakukan pembahasan tax amnesty. Di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono (SBY) dilakukan sunset policy. Sedangkan di era Pemerintahan Joko Widodo menentukan target pendapat negara dari sektor pajak yang sedemikian tinggi.

Meski menuai perdebatan, Hendrawan menyarankan agar RUU tersebut menjadi insiatif pemerintah. Pasalnya, pemerintah lebih mengetahui jumlah wajib pajak yang melaporkan harta kekayaan. Apakah RUU tersebut nantinya terpisah dengan ketentuan umum perpajakan yang sedang direvisi atau sebaliknya, kata Hendriawan, itu urusan lain.

“Kalau inisiatif DPR lebih cepat, kalau dari pemerintah DIM nya harus dari 10 fraksi,” ujarnya.

Anggota Komisi XI itu mengatakan, pengampunan pajak bersifat lebih administratif melalui kebijakan sunset policy. Sedangkan RUU Pengampunan Pajak bersifat strong amnesty. Menurutnya, pengampunan diberikan terhadap mereka (pengusaha) yang tidak membayar pajak dan memiliki uang di luar negeri.

“Kecuali kejahatan pidana yang berhubungan dengan trafficking, terorisme dan narkoba,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Kamis (8/10).

Politisi PDIP itu berpandangan, pengampunan pajak tak saja memberikan kelongaran administratif, tapi juga memberikan ampunan pemidanaan. Sebab, hal itu dipandang dapat merangsang mereka untuk melakukan pembayaran pajak maupun mengembalikan keuangan negara hasil korupsi.

“RUU ini memberikan rangsakan yang luar biasa agar orang berduyun-duyun mensucikan diri mendapatkan pengampunan, untuk mendapatkan pengampunan nasional,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi III Desmond Junaedi Mahesa mengaku menolak adanya RUU Pengampunan Nasional. Ia menilai keberadaan RUU tersebut di Baleg terbilang mengejutkan. Semestinya, kata Desmond, mereka yang melakukan pengemplangan pajak layak diberikan ganjaran selain membayarkan pajak uang negara.

“Jadi wacana nasional wajib pajak yang berhutang itu berapa dan siapa?, dan kenapa harus diampuni? Kalau kebutuhan nasional maka penting yang buat kita bingung ini seolah-olah pengampunan koruptor,” ujarnya.

Desmon berpendapat anggota Baleg dari berbagai fraksi mesti melakukan pengkajian mendalam secara jernih. Ia khawatir pengampunan pajak pun nantinya diberlakukan terhadap pelaku Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).  Dengan regulasi tersebut nantinya seolah negara mendeklarasikan mengampuni sesuatu yang dibawa lari dari negara, kemudian diberikan pengampunan.

“Sama saja orang korupsi kemudian bikin pesantren, uangnya disimpan kemudian jadi kyai atau pendeta,” ujarnya.

Politisi Partai Gerindra itu lebih jauh berpandangan, RUU Pengampunan Naasional demi kepentingan masyarakat miskin bukan tidak mungkin akan mendapatkan persetujuan. Hanya saja, jika diperuntukan demi kepentingan sekelompok orang akan menjadi tanda tanya besar.

“Kalau alasan kondisi krisis, tapi tidak krisis. Kalu kondisi miskin, juga tidak miskin. Ini tidak ketahuan. Ini yang diampuni pengusaha yang kreditnya macet atau orang yang korupsi. Jangan sampai dijustifikasi untuk orang yang melarikan uang BLBI. Jangan-jangan ada hanky-pengkynya di balik RUU ini. Kita harus waspada dan hati-hati saja, jangan sampai kita dibodoh-bodohi,” ujarnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fikar Hajar, berpandangan sasaran dari RUU tersebut adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang menyimpan uang di luar sistem keuangan Indonesia dan jumlahnya memang triliunan. Dari perspektif penegakan hukum dapat diambil negara.

Fikar berpandangan, setidaknya terdapat lima substansi UU. Pertama, menjadi amanat konstitusi. Sayangnya, tidak ada amanat konstitusi pemberian pengampunan pengemplang pajak, begitu pula pelaku korupsi. Kedua, isi dari UU menjadi amanat UU tersebut. Misalnya, dikaitkan dengan UU Perpajakan. Ketiga, pengesahan konvensi internasional. Keempat, perintah Mahkamah Konstitusi. Kelima, kebutuhan masyarakat.

“Menjadi pertanyaan, kebutuhan masyarakat yang mana. Daruratnya ada di DPR. Harus ada penelitian secara akdemis, filosofis dan sosiologis. Pertanyaanya, ada tidak naskah akademik dari RUU ini. Untuk mencerminkan RUU ini ada kebutuhan, kalau tidak ada RUU ini hanya pragmatis saja,” ujarnya.

Lebih lanjut, Fikar berpandangan dalam UU No.31 Tahun 1999tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, pengembalian uang hasil korupsi tidak menghapuskan pidana. “Nah, RUU Pengampunan Pajak jelas bertentangan dengan UU Pemberantasan Tipikor. Karena itu, landasannya perlu dipertanyakan kenapa sebagian orang mengusulkan RUU Pengampunan Pajak,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait